Mau Lindungi Siapa? Aturan Baru KPU: Ijazah & SKCK Capres Kini Jadi Rahasia Negara

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali membuat gebrakan yang memicu perdebatan sengit dan kontroversi di tengah masyarakat.

Tasmalinda
Selasa, 16 September 2025 | 13:39 WIB
Mau Lindungi Siapa? Aturan Baru KPU: Ijazah & SKCK Capres Kini Jadi Rahasia Negara
Ilustrasi aturan baru KPU RI [ANTARA]
Baca 10 detik
  • KPU menuai kontroversi jelang Pilpres 2029 usai merilis aturan baru yang merahasikan 16 jenis data pribadi capres-cawapres,
  • Aturan KPU terbaru membuat publik tidak lagi bisa mengakses dokumen penting calon presiden dan wakil presiden, mulai dari SKCK, ijazah, hingga LHKPN.
  • Keputusan KPU untuk menutup akses publik terhadap 16 dokumen krusial capres-cawapres dianggap sebagai blunder.

SuaraSumsel.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali membuat gebrakan yang memicu perdebatan sengit dan kontroversi di tengah masyarakat.

Melalui sebuah aturan baru yang dirilis menjelang Pemilihan Presiden 2029, KPU memutuskan untuk merahasiakan sebanyak 16 jenis data pribadi dari para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Keputusan ini sontak menjadi "bom" di jagat maya. Publik yang selama ini menuntut transparansi penuh dari para calon pemimpinnya, kini justru merasa aksesnya untuk mengetahui rekam jejak dan integritas para kandidat dibatasi secara signifikan.

Salah satu data yang paling disorot karena kini tidak bisa lagi diakses oleh publik adalah ijazah para calon.

Baca Juga:Viral Taiwan Resmi Larang Indomie Soto Banjar Usai Temukan Kandungan Berbahaya

Aturan ini mengubah total tradisi keterbukaan yang selama ini menjadi standar dalam setiap kontestasi politik. Jika sebelumnya publik bisa dengan bebas memeriksa keabsahan riwayat pendidikan, catatan kriminal, hingga ketaatan pajak para calon, kini semua itu akan menjadi informasi yang "terkunci" dan hanya bisa diakses oleh KPU dan lembaga terkait.

Data Apa Saja yang Kini Menjadi Rahasia?

Berdasarkan unggahan yang viral, terdapat 16 dokumen krusial yang kini dikecualikan dari informasi publik. Dokumen-dokumen ini mencakup hampir seluruh aspek kehidupan seorang calon, mulai dari identitas dasar hingga catatan hukum dan finansial.

Berikut adalah beberapa di antara 16 data yang kini dirahasiakan:

  • Identitas Dasar: Fotokopi KTP elektronik dan akta kelahiran.
  • Catatan Kriminal: Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Mabes Polri dan Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak pernah dipidana.
  • Riwayat Pendidikan: Bukti kelulusan seperti fotokopi ijazah dan surat tanda tamat belajar.
  • Kesehatan: Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk KPU.
  • Finansial: Tanda terima Laporan Harta Kekayaan (LHKPN) ke KPK, surat keterangan tidak pailit, dan bukti lapor SPT Pajak selama 5 tahun terakhir.
  • Ideologi dan Afiliasi: Surat pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945, serta surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G30S/PKI.
  • Status Profesional: Surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota TNI, Polri, PNS, atau karyawan BUMN/BUMD.
  • Komitmen Politik: Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan kesediaan untuk dicalonkan.
    Publik Meradang, Transparansi Dipertanyakan

Keputusan KPU ini sontak "dirujak" habis-habisan oleh netizen.

Baca Juga:'Kok Pak Teddy Terus Dicari?' Viral Canda Prabowo, Sadar Pesonanya Kalah dari Sang 'Ajudan'

Banyak yang menuding aturan ini adalah sebuah langkah mundur dalam demokrasi dan justru berpotensi melindungi calon-calon yang bermasalah.

"Kok aneh? Justru data-data ini yang paling penting buat kita tahu. Kalau dirahasiakan, kita milih kucing dalam karung dong?" tulis seorang warganet geram.

"Ijazah aja dirahasiakan, nanti kalau ada yang pakai ijazah palsu gimana KPU mau tanggung jawab ke publik?" timpal yang lain, menyoroti salah satu isu paling sensitif dalam politik Indonesia.

Kini, publik menuntut penjelasan yang logis dan transparan dari KPU di balik lahirnya aturan kontroversial ini.

Di saat kepercayaan publik terhadap institusi politik sedang berada di titik rendah, keputusan untuk mengurangi transparansi dianggap sebagai sebuah blunder fatal yang justru akan semakin menggerus legitimasi dari proses pemilu itu sendiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak