Kini, warga tak lagi membuka hutan sembarangan. Penebangan hanya dilakukan untuk kebutuhan dasar, seperti kayu bakar atau bahan rumah panggung. Kesadaran ini tumbuh seiring hadirnya mangrove yang bukan hanya menahan abrasi, tapi juga melahirkan kembali kehidupan laut.
Kisah Sungsang IV adalah pengingat bahwa energi dan alam bisa dipersatukan. Di balik deru mesin pengeboran minyak dan gas, ada denyut halus kehidupan yang lahir dari hutan mangrove.
Ketika ikan tirusan kembali berenang di air yang dulu tandus, itu bukan sekadar kabar gembira bagi nelayan. Itu adalah pertanda bahwa bumi selalu memberi kesempatan kedua jika manusia mau merawatnya.
Sungsang IV kini tak hanya dikenal sebagai desa nelayan di tepian Banyuasin, tapi juga sebagai contoh bagaimana kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan korporasi bisa menenun kembali harmoni antara manusia dan alam.
Baca Juga:Semangat Kemerdekaan! SKK Migas Sumbagsel Gelar Upacara HUT RI ke-80 di Tengah Laut
Peran Jurnalis dalam Merawat Ingatan
Kebangkitan Sungsang IV tidak hanya direkam oleh mata warga desa, tetapi juga oleh para jurnalis Sumatera Selatan yang ikut serta dalam Media Field Trip SKK Migas–KKKS.
Mereka hadir bukan sekadar mencatat angka penanaman mangrove, melainkan menyaksikan langsung bagaimana ribuan batang kecil itu menjelma menjadi sabuk hijau yang menahan abrasi sekaligus memanggil kembali ikan-ikan endemik.
Bagi jurnalis, perjalanan ini adalah bagian dari merawat ingatan kolektif.
Mereka menjadi saksi sekaligus penyampai kabar, bahwa Sungsang bukan hanya kawasan perairan, tetapi juga ruang hidup yang sedang dipulihkan agar publik tahu bahwa ada denyut alam, ada harapan yang kembali tumbuh.
Baca Juga:Kenapa Pelabuhan Tanjung Carat Banyuasin Jadi Proyek Strategis yang Dikebut Sumsel?