SuaraSumsel.id - Video art sastra tutur yang diproduksi Teater Potlot, memberikan rasa gelisah bagi penikmatnya terhadap kondisi lahan basah Sungai Musi, yang terus mengalami degradasi, seperti kebakaran hutan dan lahan, ekspansi perkebunan monokultur, dan nasib perempuan yang kehilangan sumber pangan dan tradisinya.
“Penggabungan ragam media, seperti video, foto, dan audio, sangat menggugah rasa dan pikiran, sehingga yang menonton video art dari Teater Potlot ini menjadi gelisah,” kata Ahmad Rizki Prabu, dari Ghompok Art Kolektif dalam diskusi dan pemutaran video art oleh Teater Potlot dan Ghompok Art Kolektif pada kegiatan Musi Fotografis Festival] 2024 di Gedung Kesenian Palembang, beberapa waktu lalu.
Prabu menambahkan kegelisahan terkait perubahan lingkungan hari ini harus menjadi kegelisahan bersama. Setiap pengkarya, tidak hanya penting menarik sebuah fenomena ke dalam dirinya, namun juga harus kontekstual dengan fenomena global saat ini. Dengan kata lain, karya tersebut tidak hanya bernilai personal, tetapi juga harus relate dengan berbagai fenomena global hari ini.
“Sebuah karya juga harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan memori kolektif akan lingkungan masa kecil yang mungkin sudah hilang dan dirindukan banyak orang. Entah itu sungai, rumah, kampung, hingga pengetahuan yang hilang. Ini menjadi salah satu cara seorang pengkarya untuk membangun kesadaran kolektif terkait kondisi lingkungan yang mengalami perubahan sangat cepat," ucapnya.
Baca Juga:Pilkada, Kemiskinan Dan Dampak Teknologi Bikin Palembang Rawan Kriminalitas
Dian Maulina, narasumber dari UIN Raden Fatah Palembang, menyinggung keberadaan generasi muda [Gen Z] saat ini. Menurutnya, banyak generasi muda yang kehilangan memori atau pengetahuan luhur yang arif terhadap lingkungan. Ini merupakan muara dari kerusakan bentang alam, serta hilangnya peran perempuan sebagai campaigner dan terganggunya proses transformasi pengetahuan, khususnya pada masyarakat di lahan basah Sungai Musi.
“Seperti kita lihat hari ini, ada banyak campaign lingkungan yang memenuhi ruang media sosial. Namun dampak di lapangan, kami lihat masih sangat minim. Kami berharap, dengan adanya keterlibatan langsung masyarakat lokal selama proses penggarapan video art ini dapat mengembalikan kesadaran lingkungan yang sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang pada masyarakat kita sejak ratusan tahun lalu," ujarnya.
Pesan yang disampaikan para pelestari sastra tutur di lahan basah Sungai Musi, memiliki kemampuan untuk merekam setiap perubahan lingkungan sekitar. Karena, perempuan, dalam kesehariannya mengakses penuh setiap relung ekologi atau bentang alam, baik itu sungai hingga kebun.
Dalam membentuk kesadaran lingkungan, peran perempuan atau sosok ibu sangat penting.
"Misalnya, sejak kecil kita tentu pernah diajak ibu pergi ke kebun, sungai, memancing ikan, mengayam tikar, dan lain sebagainya. Memori inilah sebenarnya yang sangat penting di masa depan, memori inilah yang akan menjadi trigger atau pemicu kita untuk kembali mengingat betapa pentingnya alam bagi kehidupan kita," ujarnya.
Baca Juga:Sekda Edward Candra: Laporkan ASN yang Gunakan Kendaraan Dinas untuk Liburan