Pembacaan
Ada tiga pembacaan nilai di dalam buku ini. Pertama, hampir semua sastra tutur yang disajikan penutur perempuan di lahan basah Sungai Musi, tidak mengangkat tema istanasentris. Seperti mengisahkan atau menggambarkan kehidupan sultan dan keluarganya, meskipun wilayah permukiman mereka dibentuk atau dikuasai Kesultanan Palembang.
Kisah yang disajikan umumnya dengan tokoh orang biasa, serta tidak berlatar ruang atau kehidupan istana.
Bahkan beberapa karya sastra tutur menunjukkan sikap kritis terhadap perilaku sultan. Kisah penolakan terhadap pinangan sultan untuk menjadikan mereka [perempuan] sebagai isteri [selir].
Baca Juga:Video Art Sastra Tutur, Cara Baru Menyajikan Kekayaan Tradisi
Kedua, pesan lingkungan. Banyak ditemukan sastra tutur yang berisi pesan mengenai lingkungan. Mulai dari pesan untuk tidak tamak terhadap alam, menjaga alam, hingga protes terhadap pembangunan yang merusak atau memutuskan akses masyarakat terhadap alam.
Ketiga, spiritualitas. Sebagai manusia, perempuan di lahan basah Sungai Musi menyadari bahwa mereka memiliki kefanaan. Oleh karenanya mereka berusaha untuk membangun hasrat terhadap tujuan dan makna yang menjadi pemandu kehidupannya.
Mereka menyakini ada kekuatan di luar dirinya yang mampu mendorong dan mengarahkan agar lebih bermakna. Kekuatan itu juga yang membentuk karakteristik kepribadian mereka dalam menjalankan multi peran [consumers, educators, comunicators, campaigner].
Pilihan tingkah laku spiritual demikian tercermin dalam sastra tutur yang mereka tuturkan. Contohnya terlihat dalam incang-incang yang dituturkan perempuan di Pedamaran:
Kito bagian malang
Baca Juga:Video Art Sastra Tutur Teater Potlot: Perpaduan Seni dan Lingkungan nan Menginspirasi
Tah pacak kenda diri
Bedoa dengan tuhan
Kuatkan iman kami
[Kita tak beruntung
Tak bisa sesuai keinginan
Berdoa kepada Tuhan