Teater Potlot Belajar Membaca Jejak Sastra Kedatuan Sriwijaya

Riset dan penulisan buku ini melibatkan akademisi, pekerja sastra, dan pegiat lingkungan.

Tasmalinda
Senin, 15 Juli 2024 | 16:19 WIB
Teater Potlot Belajar Membaca Jejak Sastra Kedatuan Sriwijaya
Kajut Odon, yang berusia 109 tahun adalah maestro sastra tutur di Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan. Foto Yudi Semai

SuaraSumsel.id - Masyarakat yang hidup di Sumatera Selatan (Sumsel) diperkirakan sudah mengenal seni sastra dari masa Kedatuan Sriwijaya. Berdasarkan catatan sejarah, Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-7 memiliki pusat pendidikan bahasa dan sastra Sansekerta, yang terhubungan dengan Universitas Nalanda, Bihar, India.

Pertanyaannya, apakah masih ditemukan jejaknya?

Sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti teks seni sastra dari peninggalan Kedatuan Sriwijaya di Sumatera Selatan.

Tapi beberapa abad setelah kejatuhan Kedatuan Sriwijaya, tradisi seni sastra dan bahasa cukup berkembang pada masyarakat di Sumatera Selatan. Baik menggunakan aksara Brahmi [aksara Kaganga], Arab, maupun Latin.

Baca Juga:Diskusi Video Art Bersenandung di Perahu Kajang: Menjaga Pesan-Pesan Luhur

Salah satu satu seni sastra dari masa lampau yang masih bertahan di Sumsel yakni sastra klasik yang dituturkan yang kemudian dikenal sebagai “sastra tutur” dan mantra.

Apakah isi atau tema dari sastra tutur tersebut mencerminkan nilai-nilai luhur dari masyarakat yang hidup dari masa Kedatuan Sriwijaya?

Beranjak dari pertanyaan tersebut, Teater Potlot mengusung program “Bersenandung di Perahu Kajang: Menjaga Pesan-Pesan Luhur”. Program ini dijalankan dari Januari-September 2024, yang didukung Kemendikbud Ristek melalui Danaindonesiana dan LPDP.

“Program ini upaya membaca seni sastra pada masyarakat di lahan basah Sungai Musi, baik sastra klasik maupun modern. Seni sastra ini dihubungkan dengan berbagai pengetahuan dan kearifan masyarakat, khususnya perempuan, dengan lahan basah,” kata Nopri Ismi, M.Ling, Divisi Program Teater Potlot.

Dipilihnya wilayah lahan basah Sungai Musi, sebab wilayah lahan basah yang berupa rawa, sungai, dan mangrove, sudah didiami masyarakat dari masa sebelum lahirnya Kedatuan Sriwijaya hingga hari ini.

Baca Juga:Gerakan Minum Kopi Serentak di Pinggir Sungai Sumsel Pecahkan Rekor MURI

Wilayah lahan basah adalah supermarket bagi masyarakat; sebagai sumber pangan, sandang, papan, dan ekonomi. Lahan basah pun melahirkan beragam tradisi dan budaya dalam peradaban bahari.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak