SuaraSumsel.id - Sidang dugaan korupsi di tubuh BUMD, Perusahaan Daerah (PD) Perhotelan Swarna Dwipa terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Kasus korupsi dengan dugaan kerugian miliaran rupiah ditafsir menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah.
Dari pertanyaan hakim, diketahui prosedur penganggaran pembangunan bersumber dari dua pos anggaran, yakni penyertaaan modal sekaligus dana pos anggaran operasional hotel.
Saksi Weliyan mengatakan saat itu dirinya menjabat sebagai akuntan bidang keuangan PD Perhotelan Swarna Dwipa. Adapun masing-masing menggunakan dana operasional sekitar Rp5,7 miliar tahun 2015 sebagai pembayaran muka, pada termin pertama memakai penyertaan modal Rp20 miliar di tahun 2016, selain itu pada termin kedua Rp20 miliar pada tahun 2018.
“Tiga termin 2015-2018, namun saya tidak tahu mengapa 2017 tidak mendapatkan penyertaan modal dari provinsi,” ujarnya.
Baca Juga:Dewan Pengupahan Sumsel Rekomendasi UMP 2023 Naik Rp 27 Ribu, Buruh Menolak
Setiap penyertaan modal itu seyogianya dilakukan permohonan terlebih dahulu dari PD Perhotelan meskipun kurang mengetahui secara persis mekanismenya seperti apa.
“Pembayaran terakhir dibayarkan 53 persen sementara progres volume pengerjaan sudah 80 persen lebih, pada pekan ke 42, itu karena uang terbatas dan tahun 2017 tak cair. Semua ini menurut laporan yang saya terima pak,” ujarnya di hadapan hakim.
Pada kesempatan tersebut, ia memastikan dalam pembangunan yang bergulir 2016-2017 itu semua pendanaannya dilaporkan kepada dewan pengawas dan diketahui pula oleh terdakwa Augie selaku pimpinan.
Setiap dana yang masuk ke rekening PD Perhotelan langsung dilakukan pembayaran kepada KSO kontraktor pembangunan dan manajemen konstruksi atau MK.
Saksi Junaidi mengatakan saat itu dirinya menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif PD Perhotelan Swarna Dwipa sekaligus staf ahli administrasi dalam kegiatan pembangunan fasilitas hotel.
Baca Juga:Tambang Batu Bara Ilegal di Lahat Sumsel Ditertibkan, Modus Operasinya Begini
Para terdakwa hadir secara langsung untuk mendengarkan keterangan delapan orang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Palembang, diketuai Hakim Sahlah Effendi, atas kasus yang disangkakan kepada para terdakwa.
Para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi tersebut yakni Augie Bunyamin selaku mantan Direktur Utama PD Perhotelan Swarna Dwipa Sumsel, dan Ahmad Tohir selaku Kuasa PT. Palcon Indonesia-PT. Sayopi Karyatama KSO kontraktor pembangunannya.
Hakim Sahlan Effendi mencecar beberapa pertanyaan terkait prosedur penganggaran pembangunan fasilitas perhotelan milik pemerintah daerah setempat dalam sidang yang berlangsung di ruang utama PN Tipikor Palembang itu.
Masing-masing yakni pejabat PD Perhotelan Swarna Dwipa Junaidi, Weliyan, Dedy Aryanto, Kepala BPKAD Sumsel Ahmad Mukhlis, dan saksi dari Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Toni Aguswara, Ardiyanto, Yudistira, dan Edy Gabribali.
“Jelaskan seperti apa prosedur penganggaran, dan kelengkapan berkasnya yang saudara saksi ketahui,” kata hakim menanyakan secara bergilir kepada para saksi.
Sebelum dilakukan pencairan dana pihaknya telah melakukan verifikasi dokumen dari kontraktor pekerjaan pembangunan. Setiap dokumen tersebut, pihak yang bersangkutan melampirkan surat tagihan pengerjaan, surat jaminan, hingga surat laporan pajak ke tim verifikator.
Meskipun memang Junaidi mengaku, dalam proses verifikasi tersebut tidak menemukan lampiran proposal melainkan hanya pengajuan dana.
“Seingat saya ada permohonan pengajuan dana, ya itu pengajuan dana, bukan proposal. Apa yang saya sampaikan ini sama seperti di BAP, hanya ada surat permohonan saja yang mulia,” ujarnya meyakinkan.
Keterangan saksi yang menyebutkan terkait keberadaan proposal pengerjaan pembangunan tersebut mendapat bantahan dari terdakwa Augie Bunyamin.
Augie menyatakan surat proposal tersebut ada dan menjadi rujukan untuk dilakukan proses pemeriksaan oleh badan pengawas.
Adapun diketahui dalam persidangan tersebut pernyataan dari Augie dibenarkan oleh saksi Ahmad Muklis yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Badan Pengawas, sehingga turut melakukan pemeriksaan.
“Jadi ada proposalnya, kalau tidak, ya, tidak mungkin diproses di badan pengawas, kemudian jadi rujukan sampai ke Gubernur, dibahas di TAPD lalu dilakukan rapat banggar DPRD kemudian pencairan,” kata Augie, didampingi penasihat hukumnya dalam persidangan.
Melansir ANTARA, Augie menjelaskan, pekerjaan pembangunan Sport Hotel Injuries and Therapy merupakan hasil rapat teknis PD Perhotelan Swarna Dwipa bukan semata perintah dari pengguna anggaran.
Bahkan, lanjutnya, pembangunan tersebut sudah disampaikan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dari 2015-2017.
“Lalu meskipun dana belum ada, tapi dalam kontrak kami cantumkan tetap mengacu pada ketersediaan dana kas hotel Swarna Dwipa, kalau belum memenuhi maka pembayaran bisa dipending dan dibenamkan pada bayaran berikutnya,” kata dia meyakinkan.
Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi tersebut, majelis hakim menutup persidangan dan akan dilanjutkan hari Selasa, 22 November 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi kembali.
Adapun berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sumsel diketahui sekitar tahun 2016-2017 Augie Bunyamin selaku Direktur Utama PD Perhotelan Swarna Dwipa melakukan rehabilitasi pembangunan hotel menggunakan dana dari pagu anggaran senilai Rp37 miliar.
Pelaksanaan pembangunan tersebut kemudian diberikan kepada pihak kontraktor yakni PT. Palcon Indonesia yang kuasa pimpinannya dipegang oleh Ahmad Tohir.
Dari hasil penyelidikan jaksa terhadap beberapa saksi dan ahli diketahui volume bangunan yang direhabilitasi hanya mencapai 42 persen.
Tim ahli dari BPKP Provinsi Sumsel juga mencatat dari kekurangan volume bangunan tersebut menimbulkan kerugian negara mencapai senilai Rp3,6 miliar, lalu sekaligus mendapati penunjukan PT Palcon Indonesia sebagai kontraktor diduga tanpa melalui proses lelang, atau tidak sesuai dengan peraturan BUMD yang berlaku saat itu.
Para terdakwa dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP tentang tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sumsel.