Sawit Belum Memakmurkan Petani Bumi Sriwijaya

Komoditas kelapa sawit belumlah mampu memakmurkan petani di bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan (Sumsel).

Tasmalinda
Selasa, 18 Oktober 2022 | 15:52 WIB
Sawit Belum Memakmurkan Petani Bumi Sriwijaya
Petani sawit di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]

SuaraSumsel.id - Industri perkebunan sawit selalu dianggap mampu mensejahterakan petani. Realitanya berbeda jauh dengan apa yang ditonjolkan selama ini. Di Sumatera Selatan, provinsi penghasil kelapa sawit terbesar keenam di Indonesia, petani kelapa sawit belum mampu keluar dari kemiskinan.

Dalam sepuluh tahun terakhir hingga 2020, ekspansi kebun sawit di Bumi Sriwijaya tak terbendung. Hamparan tegakan sawit telah mencapai 1,2 juta hektare (ha) pada 2020 lalu atau 13 persen dari total luas Provinsi Sumatera Selatan. Di tahun sebelumnya, hamparan sawit di daratan selatan Pulau Sumatera ini malah sudah mencapai 1,5 juta ha.

Ada enam kabupaten/kota yang menjadi lumbung sawit di Sumatera Selatan. Daerah produsen sawit itu adalah Ogan Komering Ulu (OKU), Ogan Komering Ilir (OKI), Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin (Muba) dan Banyuasin. Di antara enam kabupaten tersebut, Kabupaten Musi Banyuasin yang mencatat ekspansi luasan sawit paling agresif sejak 2015 hingga 2019.

Pada 2015, luasan sawit di Muba hanya seluas 95.099 ha. Setahun kemudian wilayah perkebunan sawit melonjak hampir empat kali lipat menjadi 356.165 ha. Ekspansi perluasan lahan sawit tertahan pada 2017. Itu karena luas perkebunan sawit ini sudah mencapai sepertiga kawasan Muba.

Baca Juga:Cuaca Hari Ini: Sumsel Potensi Berawan Dengan Hujan Sedang Hingga Dini Hari

Perluasan besar-besaran juga terjadi di Kabupaten Banyuasin. Luasan perkebunan sawit di Banyuasin telah mencapai 202.756 ha pada 2019. Perluasan yang tercatat tinggi jika dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya, di 2016 yang hanya 54.418 ha.

Pertumbuhan luasan kebun sawit yang drastis dimulai pada 2017. Saat itu, luasan sawit Banyuasin meningkat mencapai 216.225 ha. Pada 2020, lahan kebun sawit sudah terhampar hampir 20 persen dari daerah Banyuasin yang dikenal sebagai kabupaten perairan tersebut.

Perkembangan kebun sawit di OKI juga pesat sejak 2018. Kini, tegakan kebun sawit telah menutupi hampir 21 persen dari luas daerah OKI yang sekitar 1,9 juta ha.

Masifnya perkebunan sawit tak lepas dari mimpi untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Banyak petani Sumatera Selatan yang selama ini menanam karet dan tanaman holtikura kemudia menyulap lahan mereka menjadi kebun sawit.

Sawit di kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]
Sawit di kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]

Peralihan lahan pertanian ini seiring dengan harga minyak mentah kelapa sawit di pasar internasional yang tengah naik daun. Apalagi pada 2011 hingga 2016, harga jual karet menurun drastis hingga menyentuh Rp4.000 per kilogram. Harga ini bak bumi dan langit ketika karet sedang menikmati masa jayanya pada era 90-an di mana harganya bisa mencapai belasan ribu rupiah per kilogram.

Baca Juga:Pengusaha Sawit Mularis Djahri Dibebaskan, Anaknya Masih Ditahan Polda Sumsel

Motivasi lain yang mendorong petani beralih ke perkebunan sawit karena adanya program peremajaan sawit rakyat (PSR). Program ini menjangkau kelompok-kelompok tani sawit di Sumatera Selatan supaya memperbaiki kualitas tanaman.

Ketika itu, pada 2016 sampai 2018, pemerintah menyalurkan subsidi Rp25 juta yang kemudian disertai pembiayaan tambahan sekaligus bimbingan pertanian. “Misalnya biaya peremajaan butuh Rp50 juta, Rp25 juta sudah diberi negara dan sisanya kredit dengan agunan lahan,” kata Analisis Prasarana dan Sarana Pertanian Ahli Madya Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Apriadi.

Dengan semakin banyaknya yang beralih ke tanaman sawit pada waktu itu, Rudi mengatakan banyak petani yang ikut-ikutan beralih baik dalam bentuk kemitraan perusahaan, plasma ataupun swadaya.

“Siapa yang tidak tertarik dengan pembiayaan saat harga karet jatuh dan sawit pada saat itu terus dibicarakan di pasar global,” katanya.

Tawaran program kemitraan dari perusahaan yang sudah membuka lahan sawit terlebih dahulu juga ikut mendorong petani menanam kelapa sawit. Ini juga didukung kondisi lahan yang lebih cocok bagi tananam kelapa sawit. “Pernah sebelumnya warga juga menanam hortikultura, padi dan lainnya tetapi tanahnya tidak cocok, butuh pengairan,” ujar Sugeng Apriyadi, warga Desa Sumber Jaya, Kecamatan Muba yang ditemui dua pekan lalu.

Harapan menanam sawit untuk menggapai kemapanan karena harga sawit yang tengah melambung rupanya hanya mimpi. Tingkat kesejahteraan petani masih minim setelah perkebunan sawit berkembang pesat. Di kabupaten tempat Sugeng berkebun, angka kemiskinan justru semakin tinggi sering kebun sawit yang terus meluas. Tingkat kemiskinan Kabupaten Muba yang awalnya 105,08 persen pada 2017 naik menjadi 105,83 persen pada 2019. Padahal selama rentang 2017 sampai dengan 2019, produktivitas minyak kelapa sawit melambung lebih dari 20 persen.  

Di daerah lain, seperti di Kabupaten Banyuasin, tingkat kemiskinan tidak menurun signifikan pada saat perkebunan sawit meluas dan tingkat produksi melonjak. Selama 2015 hingga 2020, pertumbuhan lahan sawit di kawasan peyangga ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini membumbung empat kali lipat dengan laju produkvitas meroket sekitar 1.200 persen. Tapi tingkat kemiskinan hanya menyusut 4% dari total populasi yang mencapai 836 ribu jiwa.

Di Kabupaten OKU, tingkat kemiskinan justru menanjak saat luas dan produksi sawit berkembang. Tingkat kemiskinan di OKU naik 1,26 poin pada 2020 saat kebun sawit meluas lebih dari 50% dan produksi kelapa sawit membengkak sekitar 30% dibandingkan pada 2015 lalu.

Sugeng mengakui penanaman sawit tidak lantas membikin warga semakin sejahtera. “Berjalannya waktu, menanam sawit memang membutuhkan perawatan, bermodal,” ujarnya.

Petani di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]
Petani di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]

Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Selatan, M. Yunus mengungkapkan banyak petani sawit swadaya di Sumatera Selatan yang berpenghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Para petani swadaya ini umumnya memiliki lahan perkebunan yang tidak terlalu luas.

Dia memperkirakan apabila harga jual tandan buah segar (TBS) di bawah Rp1.000 per kilogram dengan luas perkebunan sawit kurang dari satu hektare dan produksi sekitar tiga kuintal per dua minggu maka hasil yang diterima hanya sekitar Rp500 ribu per bulan. “Dengan produksi akibat lahan sempit, harga jual jatuh, petani langsung rentan miskin,” tegasnya.

Sugeng menghitung petani bisa balik modal bila harga jual TBS sedikitnya sebesar Rp1.500 per kilogram. Bila harga jua TBS sawit berada di bawah harga minimal tersebut, dia yakin petani kebun sawit akan sulit memenuhi kebutuhan operasional seperti pupuk.

Tulisan ini merupakan Fellowship pelatihan "Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini