SuaraSumsel.id - Sudah menjadi sebuah tradisi di kota Palembang, Sumsel perlombaan perahu bidar digelar untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI setiap tahunnya. Namun belakangan diketahui semenjak pandemi Covid-19 melanda, perhelatan tersebut sudab vakum sejak dua tahun yang lalu.
Sehingga di tahun 2022, momen peringatan Hari Kemerdekaan RI di ibukota Provinsi Sumsel tersebut sukses menjadi hiburan yang sangat dinantikan oleh masyarakat di kota Palembang.
Terlihat dari pantauan SuaraSumsel.id di lapangan, masyarakat memadati pelataran Benteng Kuto Besar (BKB) pada hari Minggu, (21/8/22).
Masyarakat rela berdesak-desakan demi melihat perlombaan perahu bidar yang baru diadakan lagi sejak peraturan terkait covid-19 sudah dilonggarkan.
Baca Juga:Cadangan Gas Baru Ditemukan di Sumsel, Sumur Eksplorasi Sungai Rotan Milik Pertamina
Pada acara yang digelar oleh pemerintah daerah setempat, masyarakat dimanjakan dengan banyaknya atraksi yang digelar di Sungai Musi mulai dari lomba perahu bidar, parade perahu hias, atraksi dari paramotor dan paralayang.
“Saya jauh-jauh dari Talang Kelapo ke BKB hanya untuk menonton lomba bidar, karena sudah lama tidak ada lomba bidar sejak Covid. Pas 17 Agustus tuh rasanya sepi sekali, pemerintah tidak mengadakan acara atau kegiatan apa gitu tahun kemaren,” kata Hartina, salah seorang warga yang datang bersama keluarga untuk menonton perlombaan perahu bidar.
Salah satu Budayawan kota Palembang yaitu Kemas AR Panji menjelaskan asal usul perlombaan perahu bidar, dirinya menyebutkan bahwa asal usul perlombaan perahu bidar tersebut dimulai dari cerita rakyat yaitu Dayang Rindu atau Dayang Merindu.
“Ada legenda rakyat jaman dulu namanya Dayang Rindu atau Dayang Merindu. Jadi ada dua ksatria atau dua laki-laki yang ingin menikahi Dayang Rindu, karena Dayang Rindu suka dengan keduanya dan tidak mampu menentukan pilihan maka Dayang Rindu memutuskan untuk menyuruh kedua pria tersebut untuk lomba dayung perahu. Namun karena kelelahan, maka keduanya tidak ada yang menang,” tutur Kemas AR Panji.
Penamaan bidar sendiri ditujukan untuk perahu yang panjang dengan rata-rata panjang perahu berkisar 25 hingga 30 Meter yang di dayung oleh lebih dari 20 orang secara bersamaan.
Baca Juga:Akhir Pekan di Sumsel, Palembang Diguyur Hujan Sore Hingga Sore Hari
“Perahu bidar menjadi budaya kota Palembang yang sudah ada sejak jaman kerajaan Sriwijaya maupun Kesultanan Palembang. Dulu disebut perahu Pencalang, yang dimanfaatkan untuk transportasi pada jaman kerajaan dan ditengah ada atap untuk raja,” kata Kemas.
Penyebutan untuk lomba perahu bidar juga telah mengalami perubahan, dari lomban, kenceran hingga sata ini menjadi bidar.
“Setelah jaman kolonial, Belanda juga pernah menginstruksikan untuk diadakan lomba bidar ini setiap tahun. Namun momennya adalah untuk merayakan hari ulang tahun sang ratu Belanda yaitu Wilhelmina yang berulang tahun pada tanggal 31 Agustus,” jelasnya.
Budayawan tersebut menegaskan bahwa perlombaan bidar sudah ada sejak jaman dulu dan bukan diciptakan oleh orang-orang Belanda.
“Nah itu perlu dicatat, bahwa Belanda itu hanya meneruskan karena mereka berpikir bahwa perahu bidar ini menjadi hiburan yang menarik untuk digelar itu tahun 1920,” tegas dia.
Meski diadakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang juga diadakan pada bulan Agustus, dikatakan Kemas AR Panji bahwa bukannya tidak bergeser hanya momennya yang berubah.
“Saat sudah merdeka, masyarakat kita bingung mau merayakan hari kemerdekaan ini dengan apa maka dilanjutkanlah lomba perahu bidar tersebut. Bulannya tidak bergeser hanya momennya saja yang berubah, jadilah itu tradisi masyarakat Palembang yang berjalan setiap tahunnya dan menjadi pesta rakyat,” tambahnya.
Perkembangan jaman dan saat pandemi Covid-19 melanda, perkembangan perlombaan perahu bidar semakin menurun setiap tahunnya.
Dikatakan Kemas AR Panji bahwa terjadi kemerosotan dalam perlombaan perahu bidar setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dengan semakin sedikitnya keberadaan perahu bidar dan ditambah dengan vakumnnya perlombaan tersebut sejak tiga tahun terakhir akibat Covid-19.
“Perawatan perahu bidar ini tidak murah, kalau tidak diurus maka kerusakannya akan sangat parah yang menyebabkan perahu tidak layak pakai. Apalagi sudah tiga tahun tidak diadakan, sehingga mereka pemilik perahu bidar maupun pendayung juga bingung mau diapakan perahu ini,” tuturnya.
Keberadaan perahu bidar ini sangat memerlukan perhatian dari pemerintah setempat agar kelestariannya tetap terjaga dan dapat menjadi sarana untuk menciptakan atlet-atlet dayung yang bisa berlaga di kancah nasional maupun internasional.
Ukuran perahu bidar yang diselenggarakan pada Minggu, (21/8/22) yaitu panjang 29 Meter, lebar 1,5 Meter, tingginya 0,8 Meter.
Kontributor: Siti Umnah