Menilik Masjid Suro Palembang, Menyimpan Memori Perjuangan Umat Muslim Beribadah di Masa Kolonial

Selama hampir 30 tahun, umat muslim di Palembang, Sumatera Selatan dilarang menggelar salat berjamaah.

Tasmalinda
Selasa, 19 April 2022 | 12:47 WIB
Menilik Masjid Suro Palembang, Menyimpan Memori Perjuangan Umat Muslim Beribadah di Masa Kolonial
Masjid Suro Palembang [Suara.com/Melati Putri Arsika]

SuaraSumsel.id - Keberadaan Masjid di Palembang Sumatera Selatan atau Sumsel menjadi bagian dari peradaban Islam di Bumi Sriwijaya ini. Salah satunya masjid legendaris, yakni Masjid Besar al-Mahmudiyah atau lebih populer dengan Masjid Suro.

Pemberian nama Masjid Suro dikarenakan letaknya yang berada di Kampung Suro, tepatnya persis di pertigaan Jalan Kirangga Wira Sentika dan Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir Kecamatan Ilir Barat II. Nama tersebut melekat dikalangan masyarakat dahulu hingga sekarang. 

"Kalau untuk nama Masjid al-Mahmudiyah ini karena diambil dari belakang nama pewakaf tanah masjid ini, yakni Kiai Haji Khatib Mahmud," ujar Pengurus Masjid Suro, Abdul Rasyid Naning kepada Suara.com, Selasa (19/4/2022).

Sang pewakaf tanah, kata Abdul, Kiai Haji Khatib Mahmud dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Kampung Suro. Ia menginginkan tanah miliknya diwakafkan untuk didirikan masjid. 

Baca Juga:Atlet Senam Sumsel Fajar Abdul Rohman Batal Berlaga di Sea Games, Karena Kemenpora Tak Ada Anggaran

Tibalah pada peletakkan batu pertama tahun 1310 Hijriah atau 1889 Masehi. Saat itu kondisi Indonesia masih diduduki Kolonial Belanda.

Hal itu pula membuat pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. "Masjid ini dulu belum permanen, dindingnya dari batu dan papan," ucap Abdul serambi menunjuk bagian dalam masjid.

Berdirinya Masjid Suro diprakasai oleh Kiai Haji Abdurrahman Delamat atau Kiai Delamat usai menyelesaikan belajar di Mekkah. Diceritakan Abdul, saat usia muda Kiai Abdurrahman Delamat mendapatkan kesempatan dari Sultan Mahmud Badaruddin II untuk menempuh pendidikan di Mekkah bersama Kiai Marogan.

"Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu melihat kedua pemuda ini berbakat sehingga dikirim ke Mekkah. Setelah selesai belajar, keduanya kembali pulang ke Palembang," lanjutnya.

Kiai Delamat dan Kiai Marogan bekerja keras menyebarkan ajaran agama Islam di Palembang. Kiai marogan berfokus di wilayah Ulu, sementara Kiai Delamat daerah Kampung Suro. 

Baca Juga:Pamit Ingin Jajan ke Warung, Tiga Balita di Sumsel Tewas di Kolam Renang Fibelia Tirta

Saat itu, kondisi penyebaran Islam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi sebab Belanda menjaga dengan ketat. Bahkan lebih dari 30 tahun setelah berdiri, aktivitas salat Jumat di Masjid Suro tidak diperbolehkan Belanda.

Pemerintah Belanda khawatir dengan adanya aktivitas tersebut membuat masyarakat Palembang melakukan pemberontakan. "Setelah 30 tahunan, Belanda akhirnya memperbolehkan salat Jumat. Dari situ masjid ini diperbaiki sedikit demi sedikit," papar Abdul.

Kendati begitu, tidak berlaku untuk aktivitas mengaji. Abdul mengatakan, saat itu pembelajaran dan tadarus al-Qur'an masih dilakukan secara diam-diam.

Masjid yang sudah berdiri 133 tahun ini ditetapkan pemerintah Sumsel sebagai cagar budaya. Mulanya, luas lahan masjid dikatakan Abdul hanya 17 meter x 17 meter atau setengah dari bagian tengah masjid.

Saat ini, Masjid Suro terbagi menjadi tiga bagian yakni tengah, sisi kanan dan kiri. Untuk bagian tengah menjadi lokasi utama ketika salat atau sebagai tempat imam dan saf laki-laki. 

Sementara bagian kanan menjadi lokasi berbuka puasa, dan sisi kiri sebagai saf perempuan. "Sisi kanan dan kiri ini dulunya belum ada. Baru tahun 1950an lahan mulai di lebarkan," imbuh Abdul 

Walau sudah satu abad lebih berdiri, beberapa ornamen Masjid Suro masih terjaga keaslinya. Seperti tiang penyangga atau sokoguru, mimbar imam, dan kolam wudu laki-laki. 

Tiang penyangga Masjid Suro terbuat dari kayu yang dibawa sang pendiri masjid, Kiai Delamat dari tanah kelahirannya yakni Musi Banyuasin. 

Hingga saat ini, kondisi tiang penyangga ada yang masih bertahan walau dimakan rayap, dan ada juga yang sudah diganti dengan tiang dari semen. "Ini cikal bakal berdirinya masjid, kayunya sudah 100an tahun," pungkas Abdul.

Kontributor: Melati Putri Arsika

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini