SuaraSumsel.id - Sumatera Selatan pada Juni hingga September ini mengalami musim kemarau dengan puncaknya yang terjadi pada akhir Juli hingga Agustus nanti.
Pada periode ini, Sumatera Selatan atau Sumsel lebih dingin pada pagi hari. Fenomena udara dingin ini jika di Pulau Jawa dikenal sebutan Bediding. Karena itu banyak yang menyebutkan fenomena Bediding.
Kepala Stasiun Klimatologi Palembang, Wan Dayantolis menjelaskan fenomena bediding dalam konteks klimatologi merupakan peristiwa yang normal, karena memang proses fisisnya berkaitan dengan kondisi atmosfer saat musim kemarau.
"Musim kemarau umumnya jarang terjadi hujan di mana tutupan awan berkurang, sehingga panas permukaan bumi akibat radiasi matahari lebih cepat dan lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang," katanya.
Baca Juga:Jumat Besok, Sumsel Gelar Melangitkan Doa agar Pandemi Sirna
Dengan curah hujan yang kurang maka kelembapan udara juga rendah yang berarti uap air di dekat permukaan bumi juga sedikit.
"Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan maka panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar, kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi," katanya.
Kondisi ini umum terjadi pada wilayah Indonesia berada dekat khatulistiwa hingga bagian utara.
"Pada wilayah ini, meski pagi hari cenderung lebih dingin namun pada siang hari udara akan terasa lebih panas," sambung ia.
Hal ini karena ketiadaan awan dan juga kurangnya uap air saat musim kemarau menyebabkan radiasi matahari akan lebih banyak mencapai permukaan bumi.
Baca Juga:Pekan Ini, Pasien COVID 19 Sumsel Terbanyak selama Pandemi
"Pada wilayah selatan Indonesia seperti Sumatera Selatan, Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB pada siang hari suhu udara juga akan lebih rendah dari suhu udara periode bulan lainnya," ujarnya.
- 1
- 2