Bank Indonesia Terbitkan Buku Oedjan Mas di Bumi Sriwijaya, Potret Kejayaan

Sebuah buku dihadirkan Bank Indonesia Institute yang memotret bagaimana kejayaan sekaligus perkembangan ekonomi Pulau Sumatera bagian selatan pasca kolonial.

Tasmalinda
Kamis, 11 Maret 2021 | 12:28 WIB
Bank Indonesia Terbitkan Buku Oedjan Mas di Bumi Sriwijaya, Potret Kejayaan
Sampul buku Oedjan Mas di Bumi Sriwijaya

SuaraSumsel.id - Bank Indonesia institute menerbitkan buku yang memotret bagaimana kejayaan Pulau Sumatera bagian selatan masa peralihan kolonial dan setelahnya.

Pada peluncuran oleh Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Selatan, buku ini dikupas oleh penulis sekaligus sejarahwan, Rabu (10/3/2021).

Buku seri sejarah yang berjudul ‘Oedjan Mas’ di Bumi Sriwijaya: Bank Indonesia dan ‘Heritage’ di Sumatra Selatan menjadi kajian sejarah ekonomi dengan konteks kelokalan, namun memiliki nilai strategis di tingkat nasional.

Sumatera Selatan yang sudah sejak dahulu menjadi daerah penting dalam perdagangan, perkebunan sekaligus penambangan, menjadi sebuah keuntungan ekonomi yang digambarkan menjadi Oedjan Mas atau Hujan Mas.

Baca Juga:Ikut KLB Deli Serdang, 7 Pengurus Partai Demokrat Sumsel Ini Dipecat

Dengan perkembangan tersebut, maka pantas jika Palembang mendapatkan julukan state of production, commerce and trade, bagkan de groote handelstand van Sumatera atau kota perdagangan terbesar di Sumatera.

Pesatnya perkembangan ekonomi kota mendorong hadirnya kantor- kantor bank di awal abad ke-20, salah satunya adalah pendirian kantor cabang De Javasche Bank (DJB) Agentschap Palembang pada tanggal 20 September 1909.

DJB adalah bank milik pemerintah yang membawa mandat dari Pemerintah Belanda untuk menjadi bank sirkulasi dengan tugas penting yakni mengeluarkan 

DJB memiliki tugas penting di antaranya mengeluarkan uang kertas, memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri, memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan, menjadi kasir pemerintah dan memberikan uang muka tanpa bunga kepada pemerintah Hindia Belanda, serta menyelenggarakan kliring antar bank.

Pembukaan kantor cabang DJB juga menandai arti penting perekonomian kota Palembang bagi pemerintahan Hindia Belanda.

Baca Juga:Tetap Tolak KLB, DPD Partai Demokrat Sumsel juga Gelar Apel Siaga

Kiprah DJB sebagai bank sirkulasi digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) di masa pendudukan militer Jepang dalam kronik Perang Dunia II.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, DJB sempat kembali dibuka oleh pemerintahan NICA namun semangat kemerdekaan dan nasionalisme dari pendiri negara memunculkan gagasan akan pentingnya arti kedaulatan di bidang ekonomi dengan memilik sebuah bank sentral yang lepas dari Belanda.

Cita-cita memiliki bank sentral baru terwujud dengan dinasionalisasikannya De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada tahun 1951 dan dikukuhkannya UU No. 11 tahun 1953 pada 1 tanggal Juli 1953.

Dengan demikian DJB Agentschap Palembang merupakan cikal bakal kantor yang sekarang bernama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Selatan.

Kehadiran Bank Indonesia di wilayah ini melanjutkan tugas penting sebuah bank sentral sejak dahulu dalam menjaga kedaulatan ekonomi, namun kini telah berkembang dengan fungsi-fungsi sebuah bank sentral di era modern.

Bank Indonesia selalu bersinergi dengan pemerintah pusat dan daerah dalam mengawal pembangunan ekonomi regional, khususnya Provinsi Sumatra Selatan.

Salah satu penulis buku, Dedi Irwanto mengungkapkan buku ini mengenalkan konsep kejayaan Sumatera Selatan, interdependensi ulu dan ilir sebagai ibu kota . Sebagai pusat perdagangan yang sudah dikenal sejak masa lampau, penguasaan sungai yang bermuara ke Sungai Musi di ilir dapat mengendalikan masyarakat ulu.

Relasi yang tercipta merupakan hubungan saling membutuhkan antara ilir dan ulu dalam ikatan kesatuan sosial masyarakat berbentuk sistem kekerabatan, persaudaraan, dan rasa tunduk tanpa penaklukan kekerasan.

Kekuatan utama ilir mampu mengontrol seluruh aktivitas kehidupan ulu yang, salah satunya, dilakukan lewat aktivitas ekonomi uang. Namun, kontrol tersebut tidak mematikan kreativitas masyarakat ulu yang sebaliknya segala wujud kemakmuran dan kemajuan di ilir akan berdampak sama terhadap ulu.

"Kantor cabang (agentschap) DJB Palembang didirikan pada awal abad ke-20, atas usul direktur DJB Pusat, A. Z. N. Zeilinga usai kunjungannya," kata ia.

Menurutnya, kantor cabang DJB Palembang seharusnya sudah dibuka sejak lama mengingat potensi ekonomi daerah Sumatera bagian selatan yang luar biasa.

Meskipun tidak mendukung dalam hal pendanaan pembangunan gedung dan fasilitas, pemerintah pusat dan direksi DJB di Batavia menyetujui usul Zeilinga. Pada 20 September 1909, kantor cabang DJB Palembang resmi dibuka di atas lahan dan rumah sewa milik Kapiten Cina, Tjoa Ham Hien, di Schoolweg.

"Selain memotret mengenai kejayaan ekonomi, buku juga mengambarkan budaya ekonomi masyarakat mengenai aktivitas perdagangam sifat konsumtif, kebijakan perdagangan, dan munculnya mata uang kala itu," terang ia.

Secara geo-ekonomis keberadaan gedung DJB Palembang di Schoolweg mampu menopang Pasar 16 Ilir sebagai urat nadi ekonomi Kota Palembang dan Sumatra Selatan serta menjadi sirkulasi bangunan fisik gedung-gedung kolonial lain sehingga daerah itu menjelma sebagai pusat ekonomi baru di Kota Palembang.

Demikian pula ketika gedung DJB dipindahkan ke Jalan Sudirman sebagai kantor cabang Bank Indonesia Palembang, posisi fisik bangunan turut menopang tiga daerah jalur utama, Jalan Sudirman, Jalan A. Rivai, dan Jalan Veteran, yang tumbuh sebagai pusat ekonomi dan politik baru di Kota Palembang.

Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Selatan, Harri Widodo mengungkapkan Bank Indonesia mempersembahkan buku berjudul ‘Oedjan Mas’ di Bumi Sriwijaya: Bank Indonesia dan ’Heritage’ di Sumatra Selatan agar menjadi bagian dari pelestarian institutional memory sebuah bank sentral.

"Namun juga kental dengan cerita sejarah ekonomi kota yang diwarnai aliran cerita kemakmuran wilayah Sumatera bagian selatan sejak masa silam," ungkap Harri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini