Pengakuan Pilu, Pekerja Tambang Batubara llegal Hanya Diupah Rp 1.500/Kg

Penambangan illegal memperkerjakan warga dengan upah rendah.

Tasmalinda
Jum'at, 23 Oktober 2020 | 13:06 WIB
Pengakuan Pilu, Pekerja Tambang Batubara llegal Hanya Diupah Rp 1.500/Kg
Lokasi titik penambangan di Muaraenim Sumatera Selatan (dok Walhi Sumsel)

SuaraSumsel.id - Peristiwa longsor galian tambang batubara di Desa Tanjung Lalan Selasa (20/10/2020) menewaskan 11 orang pekerja. Para pekerja diketahui ialah warga setempat dan tiga korban lainnya ialah warga luar Provinsi Sumatera Selatan.

Usai peristiwa tersebut, aktivitas tambang di Desa Tanjung Lalan dihentikan. Baik wakil rakyat senanya, gubernur hingga kapolda telah meninjau lokasi penambangan illegal tersebut.

Penambangan batubara illegal diketahui telah lama berlangsung.

Kepala Desa Tanjung Lalan, Edi Anwar mengatakan ia selama menjadi kepala desa telah mengetahui penambangan tanpa izin tersebut.

Baca Juga:Tahun Depan, Sampah Pasar dan Komersial di Palembang Dikelola Sendiri

Selama tujuh tahun terakhir, mengetahui masyarakat menambang secara illegal di lahan yang padat dengan batubara tersebut.

Upaya penindakan telah sering dilakukan, namun menghadapi dilema masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.

Setiap harinya pekerja tambang mengeruk batubara yang berada di dinding tanah dan perbukitan.

“Mereka mengeruk batubara dengan peralatan seadanya. Setiap karung berukuran 40 kg, mereka hanya dibayar Rp60.000-Rp80.000. Sekirannya mereka dibayar sekitar Rp1.500/kg,” ujarnya kepada suarasumsel.id, Jumat (23/10/2020).

tambang batubara milik rakyat di kabupaten Muaraenim (dok.Walhi)
tambang batubara milik rakyat di kabupaten Muaraenim (dok.Walhi)

Para pekerja biasanya diperkerjakan oleh mereka yang mengelola lahan. Mereka yang mengelola lahan banyak berasal dari luar wilayah Muaraenim.

Baca Juga:Alex Noerdin: Batubara Illegal di Muaraenim Ditampung di Lampung dan Jabar

“Masalahnya, masyarakat lebih banyak menjadi pekerja saja. Pemilik lahan biasanya menyewakan lahan untuk dikelola oleh orang luar. Kebanyakan demikian, dan titik-titik penambangan juga illegal. Jumlahnya banyak yang illegal,” terang ia.

Selama tujuh tahun menjadi kades, ia pernah mengupayakan agar penambangan ditutup karena  merupakan aktivitas melawan hukum. Kekinian, ia pun tidak mengetahui jalur perdagangan batubara tersebut.

“Permasalahannya kompleks. Di satu sisi, lahan ini banyak dikelola oleh orang luar, sedangkan warga hanya menjadi pekerja. Sedangkan warga membutuhkan pekerjaan karena kondisi ekonomi saat ini,” ungkap ia.

Ia pun menghimbau saat penghadiri pengajian warga yang tewas akibat longsor beberapa hari lalu, jika pemerintah desa sangat ingin aktivitas tersebut dihentikan karena akan berdampak baik pada lingkungan terutama pada para pekerja sendiri.

Areal tambang yang longsor di Muaraenim, Rabu (21/10/2020) (dok.BPBD Sumsel)
Areal tambang yang longsor di Muaraenim, Rabu (21/10/2020) (dok.BPBD Sumsel)

“Pendapatan mereka ini tidak menentu, tergantung seberapa banyak batubara yang bisa dikarungkan. Jika sedang kuat tenaga, biasanya pendapatannya besar, tapi sebaliknya. Memang sulit,” ujar kades yang juga merupakan penduduk setempat.

Ia berharap pemerintah terutama pemerintah kabupaten dapat mencarikan solusi kepada masyarakat yang menambang karena alasan membutuhkan pekerjaan. Apalagi, wilayah desa sangat berdekatan dengan proyek-proyek pemerintah dan perusahaan penambangan.

“Pemerintah bisa juga menjalin kerjasama dengan PT. Bukit Asam bagaimana menjawab persoalan ini,” harapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini