Tasmalinda
Rabu, 24 Desember 2025 | 11:03 WIB
Dilahap Predator, sebuah lukisan dengan pesan agar manusia menjaga rawa dan sungai.Foto Shabir.
Baca 10 detik
  • Dua perupa, Aan Gunawan dan Rahmat Kurniawan, memamerkan lukisan ikan endemik Sumatera Selatan di Palembang.
  • Aan Gunawan menyoroti simbol perjuangan hidup melalui lukisan ikan betok, sementara Rahmat fokus pada ancaman eksploitasi ikan gabus.
  • Pameran "Estetika Psikedelik" menampilkan 54 karya untuk merefleksikan hubungan manusia dengan keberlanjutan ekosistem air tawar lokal.

SuaraSumsel.id - Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan ikan air tawar yang melimpah. Ratusan jenis ikan hidup dan berkembang di sungai, rawa, hingga danau. Namun, kekayaan hayati itu jarang menjadi objek dalam karya seni rupa. Dunia lukis selama ini lebih akrab dengan ikan hias seperti koi, ikan emas, atau cupang.

Kondisi itulah yang coba diterobos dua perupa, Aan Gunawan dan Rahmat Kurniawan. Keduanya menghadirkan ikan endemik Sumatera Selatan, ikan betok (Anabas testudineus) dan ikan gabus (Channa striata), sebagai objek utama lukisan dalam pameran seni rupa Estetika Psikedelik yang digelar di Hotel The Alts Palembang, 19–27 Desember 2025.

Aan Gunawan menampilkan karya berjudul “Survival Insting”, sebuah lukisan akrilik di atas kanvas berukuran 100 x 80 sentimeter. Melalui figur ikan betok, Aan menyoroti naluri dasar setiap makhluk hidup untuk bertahan hidup, bahkan dalam kondisi paling sulit.

“Saya punya ingatan yang kuat tentang ikan betok sejak kecil, saat tinggal di dusun. Ikan ini punya naluri bertahan hidup yang luar biasa. Ketika berada di tanah kering tanpa air, ia akan menggerakkan tubuhnya untuk mencari sumber air,” ujar Aan.

Menurutnya, ikan betok bukan sekadar objek visual, melainkan simbol perlawanan terhadap keputusasaan. “Kalau ikan betok saja mampu bertahan hidup, apalagi manusia yang punya akal dan kesadaran. Lukisan ini bagi saya adalah simbol perjuangan,” katanya.

Rahmat Kurniawan juga menghadirkan lukisan berjudul “Dilahap Predator” di atas kanvas berukuran 130 x 100 sentimeter, juga menggunakan media akrilik. Karya ini langsung mengajukan pertanyaan tajam kepada penikmat seni yakni siapa sebenarnya predator?

“Ikan gabus dikenal sebagai predator puncak di ekosistem air tawar. Ia agresif dan karnivora sejati, memangsa ikan lain, udang, cacing, serangga, hingga katak,” jelas Rahmat.

“Namun, ikan gabus tetap tak berdaya di hadapan manusia sebagai predator sesungguhnya.”

Di Sumatera Selatan, ikan gabus diburu hampir setiap hari. Selain dikonsumsi langsung, ikan ini menjadi bahan utama pempek, makanan khas Palembang yang nyaris hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Baca Juga: Bank Sumsel Babel Dampingi ASN Siapkan Masa Purna Tugas yang Sejahtera

Rahmat mengaku khawatir, jika eksploitasi terus berlangsung tanpa kontrol, ikan gabus berpotensi menjadi langka dalam beberapa tahun ke depan. “Banyak rawa telah berubah menjadi perkebunan. Padahal, rawa adalah habitat utama ikan gabus,” ujarnya.

Melalui lukisan tersebut, Rahmat menyampaikan pesan ekologis yang kuat. “Kalau rawa dan sungai rusak atau hilang, maka ikan-ikan air tawar juga akan hilang. Termasuk ikan gabus,” katanya.

Pameran Estetika Psikedelik sendiri menampilkan 54 karya lukisan dari 23 perupa. Mereka datang dari berbagai daerah, mulai dari Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Timur, Lampung, hingga Yogyakarta. Pameran ini bukan hanya ruang apresiasi seni, tetapi juga menjadi medium refleksi tentang hubungan manusia, alam, dan keberlanjutan ekosistem air tawar.

* Penulis: Mohamad Shabir Al Fikri - Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang 

Load More