Tasmalinda
Sabtu, 20 September 2025 | 20:01 WIB
festival teater Sumatera
Baca 10 detik
  • Teater Potlot akan menampilkan karya “Puyang: Minyak Goreng dan Tisu Toilet” di Festival Teater Sumatera III di Palembang pada 24–25 Agustus 2025.
  • Lewat pertunjukan ini, Teater Potlot mengajak publik merenungkan dampak hilangnya hutan di Sumatera akibat perkebunan sawit, HTI, tambang, dan infrastruktur.
  • Menurut riset Taufik Wijaya, populasi harimau sumatera kini tersisa di bawah 600 individu.

SuaraSumsel.id - Teater Potlot kembali memberi warna segar dalam dunia seni pertunjukan Sumatera dengan karya terbaru berjudul “Puyang: Minyak Goreng dan Tisu Toilet” yang akan dipentaskan pada Festival Teater Sumatera III, di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, 24–25 Agustus 2025.

Pertunjukan yang disutradarai Salwa Pratiwi ini dijadwalkan tampil pada Kamis (25/9/2025) pukul 16.00 WIB. Karya ini ditulis oleh T. Wijaya atau Taufik Wijaya. 

Mengambil judul yang tak biasa, “Puyang: Minyak Goreng dan Tisu Toilet” seakan mengajak publik untuk menyelami dua benda sehari-hari yang diam-diam menyimpan persoalan besar: dari deforestasi, krisis ekologis, hingga sikap konsumtif masyarakat modern.

“Pertunjukan ini merupakan respon tubuh manusia dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) terhadap minyak goreng dan tisu toilet,” kata Salwa, Jumat (19/9/2025). Baginya, tubuh bukan sekadar medium estetis, melainkan ruang perlawanan dan perenungan atas jejak-jejak krisis ekologis.

Yang membuat karya ini semakin menarik adalah deretan performer muda yang terlibat. Nama-nama seperti Solehatul Munika, Kira Tafida Azzahra, Nayra Putri Alika, Mutiara Fryscha Chrisytha Larumunde, Nabila Asifa, dan Ariadi Damara akan menjadi penggerak utama panggung.

Mereka adalah generasi baru yang diajak untuk tidak hanya tampil, tetapi juga merasakan langsung bagaimana tubuh bisa menjadi alat komunikasi kritis terhadap lingkungan.

“Krisis lingkungan tidak hanya diwariskan, tetapi juga harus dilawan bersama. Mereka harus merasakannya di tubuh mereka sendiri,” ujarnya.

Dijelaskan Salwa, hutan sebagai ruang hidup harimau sumatera di Pulau Sumatera, khususnya di Sumatera Selatan, terus mengalami kerusakan atau hilang. Penyebabnya oleh aktifitas perkebunan skala besar, seperti perkebunan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta pertambangan, infrastruktur, dan lainnya.

“Dampak dari hilang atau rusaknya hutan tersebut, membuat harimau sumatera kehilangan sumber makanan, sebab berbagai satwa sebagai sumber makanan harimau sumatera turut menghilang bersama hilangnya hutan.”

Baca Juga: Mulai 13 September, Palembang Kini Punya Rute Langsung ke Malaysia Bersama Malindo Air

Bukan hanya harimau sumatera yang kehilangan makanan, manusia yang hidup di sekitar hutan juga kehilangan sumber pangan dan obat-obatan.

“Semua kerusakan dan kehilangan hutan tersebut demi memenuhi kebutuhan minyak goreng, kosmetik, sabun mandi, dan tisu toilet bagi jutaan manusia, yang sebagian besar berada di luar Indonesia,” kata Salwa.

Taufik Wijaya menjelaskan naskah Puyang dtulisnya berdasarkan hasil riset mengenai kondisi harimau sumatera di Pulau Sumatera, yang populasinya terus menurun, akibat kehilangan ruang hidup atau habitatnya, perburuan, dan konflik dengan manusia.

Puyang sebelumnya dipentaskan Teater Potlot pada South Sumatra Landscape Festival di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, tahun 2018 lalu.

“Berdasarkan data dari sejumlah organisasi atau lembaga yang peduli dengan harimau sumatera, populasi kucing besar tersebut pada saat ini di bawah 600 individu.  Penyebab utamanya karena habitatnya rusak atau hilang.”

Padahal, katanya, hampir semua suku atau masyarakat tua di Sumatera, mulai dari Aceh hingga Lampung, sangat menghormati harimau sumatera. Selama berabad-abad mereka hidup harmonis, berbagi ruang hidup. Harimau sumatera disebut sebagai leluhur atau “puyang”.

Load More