Tasmalinda
Rabu, 20 Agustus 2025 | 15:18 WIB
Safe’i, Kepala Departemen Formalitas dan Kehumasan SKK Migas Sumbagsel,

SuaraSumsel.id - Siapa sangka, dari akar-akar mangrove yang baru dua tahun ditanam di pesisir Sungsang IV, Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) lahir kembali kehidupan yang hampir punah.

Nelayan setempat dikejutkan dengan kemunculan ikan tirusan, spesies endemik bernilai ratusan juta rupiah per kilogram yang selama bertahun-tahun tak pernah terlihat lagi.

Bagi masyarakat pesisir yang hampir seluruhnya menggantungkan hidup pada laut, kemunculan ikan itu bukan sekadar tanda alam yang ramah. Ia adalah bukti nyata bahwa ekosistem yang sempat rusak, kini mulai pulih kembali.

Mangrove yang Menyulam Harapan

Kebangkitan ini berawal dari program penanaman mangrove yang digagas SKK Migas Sumbagsel bersama 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah Sumbagsel.

Sejak 2024, mereka menanam 31 ribu pohon mangrove di kawasan pesisir Sungsang IV, bekerja sama dengan kelompok masyarakat LDPHD setempat.

Di antara KKKS itu, ada PHR Regional 1 Zona 4, PHE Jambi Merang, Medco E&P Indonesia, Medco E&P Grissik Ltd, Seleraya Merangin Dua, Sele Raya Belida, Tately N.V., Repsol Sakakemang BV, Odira Energi Karang Agung, Tiarabumi Petroleum, SSY Petroleum Pte Ltd, hingga Tropik Energi Pandan.

Manager Field Relations & CE Medco E&P Indonesia Hirmawan Eko Prabowo mengisahkan bahwa inisiatif ini lahir dari kajian akademis. “Mangrove memiliki kontribusi besar dalam mereduksi karbon. Karena itu kami memulai program ini pada 2024 dengan menanam puluhan ribu bibit,” jelasnya.

Setahun berselang, mangrove itu bukan hanya tumbuh, tapi juga menghidupkan kembali denyut ekosistem pesisir. Masyarakat ikut serta menanam dan merawat, sembari menyadari bahwa menjaga hutan berarti menjaga masa depan mereka sendiri.

Baca Juga: Semangat Kemerdekaan! SKK Migas Sumbagsel Gelar Upacara HUT RI ke-80 di Tengah Laut

Kepala Desa Sungsang IV, Romi Adi Candra, menegaskan bahwa desa mereka mendapatkan kepercayaan mengelola 500 hektare kawasan hutan desa berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023.

Letaknya strategis yakni berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sembilang dan hampir seluruh wilayahnya merupakan hutan lindung serta hutan produksi.

“Desa kami ibarat pintu gerbang pesisi. Dengan adanya mangrove, kami bukan hanya menjaga alam, tapi juga menghidupkan desa,” ujarnya.

Dulu, pembukaan lahan secara serampangan sempat membuat wilayah ini kritis.

Banyak ikan menghilang, termasuk ikan tirusan yang menjadi primadona nelayan.

Namun sejak masyarakat mulai merawat mangrove, hutan kembali menghijau, air laut lebih jernih, dan perlahan, ikan-ikan endemik kembali ke perairan Sungsang.

Romi tak bisa menyembunyikan rasa bangganya melihat wajah desanya yang kini perlahan berubah.

“Sekarang, Sungsang mulai tumbuh menjadi ruang hidup yang beragam, dari hutan mangrove, ekowisata, sampai produk unggulan masyarakat,” ucapnya.

Kebangkitan itu terasa semakin lengkap ketika, di musim tertentu, burung-burung migran kembali singgah di tanah timbul Sungsang.

Setiap akhir tahun, tepatnya mulai November, ribuan burung dari Siberia datang mencari hamparan pasir dan rawa yang subur untuk beristirahat. Pemandangan ini kian populer dan menjadikan Kabupaten Banyuasin sebagai salah satu tujuan wisata burung migran di Indonesia.

Desa Sungsang IV pun terus menata diri. Kini telah ada penginapan sederhana, jalur eduwisata mangrove, hingga rencana besar membuat masterplan kawasan hutan tanah timbul Tanjung Carat.

Dari sisi ekonomi, masyarakat tak lagi sekadar menjual hasil tangkapan laut. Mereka kini mengembangkan produk unggulan khas Sungsang: pempek udang, sabun cuci tangan berbahan mangrove, dodol dan sirup mangrove, hingga olahan segar dari mangrove pedade yang dikenal lebih sejuk di lidah.

Tirusan: Emas dari Laut yang Kembali

Puncak kebahagiaan warga datang ketika seorang kepala dusun menemukan ikan tirusan di perairan sekitar mangrove yang baru tumbuh.

Ikan ini bukan sembarang ikan. Ia bernilai ekonomi sangat tinggi, terutama bagian gelembung renangnya (swim bladder) yang dihargai ratusan juta rupiah per kilogram di pasar ekspor.

“Dua ekor ikan saja bisa mencukupi kebutuhan hidup nelayan selama dua sampai tiga bulan,” sambung Romi.

Kemunculan kembali ikan ini menjadi simbol bahwa alam memberi balasan bagi manusia yang merawatnya.

Dulu, Sungsang nyaris kehilangan identitas lautnya karena pembukaan lahan dan penebangan liar. Kini, perlahan tapi pasti, ekosistem kembali memeluk mereka.

Kepala Departemen Formalitas dan Kehumasan SKK Migas Sumbagsel Safe’i menegaskan bahwa program ini bukan hanya soal produksi energi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan.

“Ini sejalan dengan nawacita Presiden Prabowo dalam mewujudkan kemandirian energi, namun kami juga memastikan ekosistem tetap lestari. Penanaman mangrove adalah warisan hijau untuk generasi berikutnya,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa tahun kedua dan ketiga program ini akan diperluas. Udara di Sungsang akan terasa lebih segar, kawasan pesisir lebih rindang, dan yang terpenting, masyarakat semakin sadar untuk menjaga alam.

Kini, warga tak lagi membuka hutan sembarangan. Penebangan hanya dilakukan untuk kebutuhan dasar, seperti kayu bakar atau bahan rumah panggung. Kesadaran ini tumbuh seiring hadirnya mangrove yang bukan hanya menahan abrasi, tapi juga melahirkan kembali kehidupan laut.

Kisah Sungsang IV adalah pengingat bahwa energi dan alam bisa dipersatukan. Di balik deru mesin pengeboran minyak dan gas, ada denyut halus kehidupan yang lahir dari hutan mangrove.

Ketika ikan tirusan kembali berenang di air yang dulu tandus, itu bukan sekadar kabar gembira bagi nelayan. Itu adalah pertanda bahwa bumi selalu memberi kesempatan kedua jika manusia mau merawatnya.

Sungsang IV kini tak hanya dikenal sebagai desa nelayan di tepian Banyuasin, tapi juga sebagai contoh bagaimana kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan korporasi bisa menenun kembali harmoni antara manusia dan alam.

Peran Jurnalis dalam Merawat Ingatan

Kebangkitan Sungsang IV tidak hanya direkam oleh mata warga desa, tetapi juga oleh para jurnalis Sumatera Selatan yang ikut serta dalam Media Field Trip SKK Migas–KKKS.

Mereka hadir bukan sekadar mencatat angka penanaman mangrove, melainkan menyaksikan langsung bagaimana ribuan batang kecil itu menjelma menjadi sabuk hijau yang menahan abrasi sekaligus memanggil kembali ikan-ikan endemik.

Bagi jurnalis, perjalanan ini adalah bagian dari merawat ingatan kolektif.

Mereka menjadi saksi sekaligus penyampai kabar, bahwa Sungsang bukan hanya kawasan perairan, tetapi juga ruang hidup yang sedang dipulihkan agar publik tahu bahwa ada denyut alam, ada harapan yang kembali tumbuh.

Load More