Sanjo, tradisi turun-temurun yang menjadi momen sakral untuk mempererat silaturahmi saat Idulfitri, kini menghadapi tantangan di tengah perubahan zaman.
Jika dulu masyarakat dengan antusias berkunjung ke rumah sanak keluarga, tetangga, dan kerabat, kini kebiasaan itu mulai tergerus oleh kemajuan teknologi.
Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda semakin jarang menjalankan sanjo secara langsung, lebih memilih mengirim pesan singkat atau sekadar menyapa lewat media sosial.
Pak Hamzah (65), seorang warga senior dari Desa Mariana, mengungkapkan perubahan yang ia rasakan.
"Dulu, kalau Idulfitri, pagi-pagi kami sudah siap berkunjung ke rumah keluarga besar. Sekarang, anak-anak lebih sibuk dengan HP mereka," ujarnya dengan nada lirih.
Perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berinteraksi, termasuk dalam tradisi sanjo saat Idul Fitri.
Jika dulu sanjo identik dengan kunjungan langsung ke rumah-rumah kerabat, di mana setiap langkahnya mencerminkan kedekatan dan kebersamaan, kini banyak orang lebih memilih menyampaikan ucapan Idul Fitri melalui pesan digital, seperti WhatsApp atau Facebook.
Perubahan ini mengakibatkan berkurangnya interaksi fisik yang dulu menjadi inti dari tradisi tersebut.
Dulu, masyarakat berjalan kaki dari satu rumah ke rumah lainnya, merasakan ikatan yang lebih erat dengan setiap langkah yang ditempuh.
Baca Juga: Debat Paslon PSU Pilkada Empat Lawang Dipindah ke Palembang, Ada Apa?
Namun kini, dengan kemudahan kendaraan bermotor, kunjungan menjadi lebih cepat dan terasa kurang mendalam, seakan kehilangan sentuhan kehangatan yang dulu tercipta melalui interaksi langsung.
Sebuah tanda nyata bahwa modernisasi mulai mempengaruhi cara kita menjaga silaturahmi.
Selain perubahan dalam cara berinteraksi, jenis makanan yang disajikan saat sanjo juga mengalami pergeseran.
Dahulu, saat berkunjung ke rumah kerabat, hidangan tradisional seperti ketupat, opor ayam, dan lemang selalu menjadi sajian khas yang menggambarkan kehangatan dan kebersamaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak keluarga yang kini lebih memilih menyajikan makanan praktis seperti kue kering atau hidangan cepat saji, yang lebih mudah disiapkan namun kehilangan makna budaya yang mendalam.
Penelitian ini menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur dalam tradisi sanjo, agar tidak hilang tergerus oleh modernisasi.
Tag
Berita Terkait
-
Debat Paslon PSU Pilkada Empat Lawang Dipindah ke Palembang, Ada Apa?
-
7 Alasan Lebaran di Palembang Selalu Spesial dan Penuh Keunikan
-
Drama Rendang Willie Salim Memanas: Desak Ratu Dewa Minta Maaf ke Warga
-
Dua Sultan Palembang Berbeda Sikap soal Adat Tepung Tawar untuk Willie Salim
-
Tak Selesai dengan Adat! Kesultanan Palembang Tolak Tepung Tawar Willie Salim
Terpopuler
- Gebrak Meja Polemik Royalti, Menkumham Perintahkan Audit Total LMKN dan LMK!
- Kode Mau Bela Timnas Indonesia, Pemain Keturunan Jawa Rp 347,63 Miliar Diincar AC Milan
- Detik-Detik Pengumuman Hasil Tes DNA: Ridwan Kamil Siap Terima Takdir, Lisa Mariana Tetap Yakin
- Kasih Kode Mau Bela Timnas Indonesia, Ryan Flamingo Kadung Janji dengan Ibunda
- Makna Kebaya Hitam dan Batik Slobog yang Dipakai Cucu Bung Hatta, Sindir Penguasa di Istana Negara?
Pilihan
-
Waduh! Cedera Kevin Diks Mengkhawatirkan, Batal Debut di Bundesliga
-
Shayne Pattynama Hilang, Sandy Walsh Unjuk Gigi di Buriram United
-
Danantara Tunjuk Ajudan Prabowo jadi Komisaris Waskita Karya
-
Punya Delapan Komisaris, PT KAI Jadi Sorotan Danantara
-
5 Rekomendasi HP Tahan Air Murah Mulai Rp2 Jutaan Terbaik 2025
Terkini
-
Benarkah Paham yang Dibawa Laskar Sabililah Mengancam Kultur Moderat Palembang?
-
Skandal Besar di Palembang? Jejak OTT Kejati di Perkimtan Diduga Seret Nama Eks Kadis
-
Karhutla Sumsel Capai 1.416 Hektare Sepanjang 2025, Ini Daerah yang Paling Parah
-
Sinergi KKKS dan SKK Migas Sumbagsel Menyulam Kehidupan, Ikan Tirusan Kembali ke Sungsang
-
Euromoney: BRI Menyelenggarakan 2.037 Sesi Literasi Keuangan untuk Kelompok Terpinggirkan