SuaraSumsel.id - Udara saat hujan pagi beberapa minggu lalu, sudah tidak lagi sama dengan musim hujan sebelumnya. Udara pagi kala itu, lebih segar tanpa bau udara yang menyengat.
Udara segar pagi kala itu pun membersamai gerakan tangan-tangan pengrajin tempe di kampung tempe tertua di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Aktivitas pengrajin cermat membersihkan, merebus sampai mencuci ulang kacang kedelai. Usaha pengrajin tempe membutuhkan cukup banyak pasokan air nan juga menghasilkan cairan limbah sama banyaknya.
Metode membuat tempe di kampung tempe yang muncul sejak 1952 itu memang ada dua sampai tiga metode dasar berbeda. Perbedaan teknik membuat tempe dipengaruhi asal mula pemilik sekaligus kelompok pengrajin tempenya.
Meski cara pembuatan tempe berbeda, namun limbah cair yang dihasilkan sama, berbau menyengat serta menyebabkan air sungai hitam berbusa busuk.
Selama bertahun-tahun, limbah tempe dibuang ke aliran anak-anak sungai yang berada di kampung tersebut. Saat hujan turun, sungai-sungai yang sudah bercampur limbah tempe meluap hingga berbau menyengat. Air di gorong-gorong yang tertuju ke Sungai juga tampak berwarna hitam.
Kampung padat pemukiman di jalan Asia, Kelurahan Plaju Ulu, Kecamatan Plaju Palembang diawali oleh empat pengrajin sebagai generasi pertama. Mereka berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah.
Saat itu, tempe bukan makanan populer di Palembang seperti saat ini, sebaliknya. Pengrajin tempe generasi ketiga di kampung itu, Junaidi menceritakan tempe pada saat awal dikenalkan malah tidak laku, terbuang sia-sia.
“Masyarakat Palembang awalnya tidak suka makan tempe. Boro-boro paham cara membuat, mereka pun tidak paham cara memasaknya,” ujar Junaidi kepada Suara.com saat medio Oktober lalu.
Situasi mulai berubah karena situasi politik Indonesia tahun 1965 yang membuat warga Palembang akhirnya “menerima” tempe sebagai makanan keseharian.
Baca Juga: Mengulik Benteng Kuto Besak, Cagar Budaya Sumsel Terancam Rusak di Bulan Pahlawan
“Penyebabnya krisis. Saat kebutuhan pokok mahal sehingga mau tak mau, apa yang ada dimakan karena beras mahal. Hanya tempe yang terus diproduksi, hingga akhirnya dimakan oleh wong Palembang,” ungkap Junaidi yang juga pernah menjadi pengurus koperasi primer terbesar sebagai pemegang hak importir kacang kedelai di Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel).
Dari peristiwa kelam itu, masyarakat di kampung tersebut akhirnya bergiat membuat tempe dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. “Tempe dinilai lebih mudah tersedia, dan dikonsumsi. Pengrajin-pengrajin baru tumbuh, baik warga lokal, datangan hingga yang kini masih memilih bertahan,” terangnya.
Kejayaan pengrajin tempe di Palembang berlangsung selama dua dekade, yakni dari tahun 1970 sampai dengan 1980. Namun setelahnya, mulai menurun di tahun 1990-an. Di masa pandemi Covid-19, pengrajin tempe di Palembang kian terpuruk.
Situasi pandemi harus dilalui Ahmad Poco Susilo bersama pengrajin tempe di kampung tempe dengan pasrah. Situasi permintaan tempe yang kian menurun akibat pandemi membersamai harga kacang kedelai yang melambung tinggi.
Situasi sulit yang juga diperberat karena komoditas tempe bukan seperti komoditas lain yang bisa dijual pasar online. Tempe merupakan komoditas yang membutuhkan proses pembuatan selama tiga hari, namun harus laku dijual dalam waktu sehari.
Karena itu, Junaidi dan Poco-panggilan akrab Ahmad Poco Susilo dan pengrajin lainnya, berputar otak tergerak mengembalikan situasi. Asa itu pun terjawab.
Tag
Berita Terkait
-
Istri Bupati Ogan Ilir Bangga HR Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Sebagai Cucu, Terharu Pada Kakek
-
Deklarasi Capres Batal Hari Ini, Pendukung Anies Baswedan Perlu Diberi Penjelasan: Apa Bandar Belum Deal?
-
Tabrak Tiang Listrik PLN Dan Telkom, Angkutan Batu Bara Terbalik Bikin Macet Lalu Lintas
-
Mengulik Benteng Kuto Besak, Cagar Budaya Sumsel Terancam Rusak di Bulan Pahlawan
-
Di Hari Pahlawan, Sumsel Berawan Dengan Potensi Hujan Lebat
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Prabowo Datang ke Bangka, Ratusan Penambang Kepung Kantor PT Timah: Ini Soal Perut!
-
Bunga Bukan Cuma Buat Cewek, Kayu Bukan Cuma Buat Cowok. Bongkar Tren Parfum Genderless
-
Nyesek! Cuma Nunggak Paylater, KPR Ditolak? Ini 5 Cara 'Cuci Nama' di SLIK OJK
-
Masuk ke Night City: Ini Kumpulan Prompt AI untuk Gaya Cyberpunk Neon ala Blade Runner
-
Alih Kelola Smelter ke PT Timah: Solusi Strategis atau Beban Baru bagi BUMN Tambang?