Tasmalinda
Selasa, 18 Oktober 2022 | 15:52 WIB
Petani sawit di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]

Harapan menanam sawit untuk menggapai kemapanan karena harga sawit yang tengah melambung rupanya hanya mimpi. Tingkat kesejahteraan petani masih minim setelah perkebunan sawit berkembang pesat. Di kabupaten tempat Sugeng berkebun, angka kemiskinan justru semakin tinggi sering kebun sawit yang terus meluas. Tingkat kemiskinan Kabupaten Muba yang awalnya 105,08 persen pada 2017 naik menjadi 105,83 persen pada 2019. Padahal selama rentang 2017 sampai dengan 2019, produktivitas minyak kelapa sawit melambung lebih dari 20 persen.  

Di daerah lain, seperti di Kabupaten Banyuasin, tingkat kemiskinan tidak menurun signifikan pada saat perkebunan sawit meluas dan tingkat produksi melonjak. Selama 2015 hingga 2020, pertumbuhan lahan sawit di kawasan peyangga ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini membumbung empat kali lipat dengan laju produkvitas meroket sekitar 1.200 persen. Tapi tingkat kemiskinan hanya menyusut 4% dari total populasi yang mencapai 836 ribu jiwa.

Di Kabupaten OKU, tingkat kemiskinan justru menanjak saat luas dan produksi sawit berkembang. Tingkat kemiskinan di OKU naik 1,26 poin pada 2020 saat kebun sawit meluas lebih dari 50% dan produksi kelapa sawit membengkak sekitar 30% dibandingkan pada 2015 lalu.

Sugeng mengakui penanaman sawit tidak lantas membikin warga semakin sejahtera. “Berjalannya waktu, menanam sawit memang membutuhkan perawatan, bermodal,” ujarnya.

Baca Juga: Cuaca Hari Ini: Sumsel Potensi Berawan Dengan Hujan Sedang Hingga Dini Hari

Petani di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan [Suara.com/Tasmalinda]

Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Selatan, M. Yunus mengungkapkan banyak petani sawit swadaya di Sumatera Selatan yang berpenghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Para petani swadaya ini umumnya memiliki lahan perkebunan yang tidak terlalu luas.

Dia memperkirakan apabila harga jual tandan buah segar (TBS) di bawah Rp1.000 per kilogram dengan luas perkebunan sawit kurang dari satu hektare dan produksi sekitar tiga kuintal per dua minggu maka hasil yang diterima hanya sekitar Rp500 ribu per bulan. “Dengan produksi akibat lahan sempit, harga jual jatuh, petani langsung rentan miskin,” tegasnya.

Sugeng menghitung petani bisa balik modal bila harga jual TBS sedikitnya sebesar Rp1.500 per kilogram. Bila harga jua TBS sawit berada di bawah harga minimal tersebut, dia yakin petani kebun sawit akan sulit memenuhi kebutuhan operasional seperti pupuk.

Tulisan ini merupakan Fellowship pelatihan "Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.

Baca Juga: Pengusaha Sawit Mularis Djahri Dibebaskan, Anaknya Masih Ditahan Polda Sumsel

Load More