Surat Terbuka untuk Gubernur Sumsel: Hutan Kian Tertekan, Warga Desak Penguatan Mitigasi

Dalam surat tersebut itu, Ketua Persaudaraan 98 Sumatera Selatan, Dhio D Shineba mengurai sejumlah data yang tidak banyak terdengar dalam pernyataan resmi

Tasmalinda
Senin, 01 Desember 2025 | 20:43 WIB
Surat Terbuka untuk Gubernur Sumsel: Hutan Kian Tertekan, Warga Desak Penguatan Mitigasi
Ilustrasi hutan tropis di Sumatera Selatan (pexels.com/mali maeder)
Baca 10 detik
  • Surat terbuka dari Persaudaraan 98 Sumsel kepada Gubernur Herman Deru mengungkap kondisi hutan yang bertentangan dengan narasi resmi.
  • Kawasan hutan Sumsel banyak berubah menjadi HTI monokultur dan tambang IPPKH, mengurangi daya serap air tanah.
  • Warga mengusulkan sistem "Alarm Rakyat" terintegrasi karena solusi pemerintah dianggap hanya menargetkan dampak hilir.

SuaraSumsel.id - Sebuah surat terbuka yang dilayangkan kepada Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru, memunculkan data mengenai kondisi ekologis di provinsi ini. Yang menarik, surat tersebut tidak hanya mengekspresikan kegelisahan, tetapi juga memaparkan rangkaian temuan lapangan yang bertentangan dengan narasi optimisme mengenai kesehatan hutan Sumsel.

Dalam surat tersebut itu, Ketua Persaudaraan 98 Sumatera Selatan, Dhio D Shineba mengurai sejumlah data yang tidak banyak terdengar dalam pernyataan resmi. Di saat pemerintah percaya hutan Sumsel masih dalam kondisi baik dan mitigasi banjir dapat dibantu melalui pembangunan kanal, warga justru mencatat sebaliknya.

Mereka mengungkapkan bahwa sebagian besar kawasan hutan Sumsel telah beralih fungsi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) monokultur, suatu sistem yang tampak hijau di citra satelit, namun kehilangan fungsi ekologisnya sebagai penyerap air.

Sementara itu, kawasan hulu sungai disebut semakin “berlubang” akibat praktik tambang melalui skema Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dua pola pemanfaatan tersebut dinilai menghasilkan satu konsekuensi besar: hilangnya daya spons bumi.

Baca Juga:Bank Sumsel Babel Meraih Platium Rating Asia Sustainability Reporting Rating (ASRRAT) 2025

Investigasi ekologis warga menilai masalah banjir bukan terjadi tiba-tiba. Ketika tanah kehilangan kemampuan menyerap air, limpasan hujan diperkirakan bergerak lebih cepat ke hilir sambil membawa sedimen lumpur.

Begitu arus air sampai ke kawasan pemukiman, kanal sebesar apa pun akan kesulitan menahan laju dan volume kiriman dari atas. Ini yang membuat gagasan kanalisasi dipandang sebagai solusi hilir yang tidak menyentuh akar persoalan di hulu. Analogi lantai dipel tanpa memperbaiki atap bocor menjadi gambaran paling gamblang dalam surat terbuka tersebut.

Surat itu juga menyinggung pola penanganan bencana yang selama ini terkesan hanya seperti apel siaga, rapat koordinasi, dan pernyataan kesiapan pemerintah. Warga juga mempertanyakan efektivitas langkah-langkah tersebut ketika bantuan dan logistik sering kali terlambat karena pendistribusian baru dilakukan setelah akses jalan terputus akibat banjir.

Mereka mengungkap gagasan “Alarm Rakyat” berbasis komunikasi hulu–hilir yang selama ini belum terintegrasi dalam sistem mitigasi resmi pemerintah. Mereka menginginkan model sederhana ini dinilai dapat menyelamatkan nyawa ketika detik-detik menuju banjir sangat menentukan.

Lebih jauh, surat itu menyinggung persoalan yang paling sensitif yakni izin tambang dan perkebunan di kawasan resapan air. Tidak ada satupun tuduhan langsung yang dilontarkan, tetapi pertanyaan yang ditinggalkan jelas menyiratkan panggilan transparansi.

Baca Juga:Bank Sumsel Babel Night Run 2025 Berlangsung Meriah, Ribuan Peserta Padati JSC Malam Ini

Mengapa izin eksploitasi di kawasan penyangga ekologis masih terus berjalan ketika kapasitas hutan untuk menahan air menurun drastis? Mengapa perusahaan yang tidak menjalankan reklamasi tidak terdengar kabarnya dalam daftar sanksi publik? Dua pertanyaan itu muncul berkali-kali di forum warga dan media sosial setelah surat terbuka ini beredar.

Meskipun nada kritik tegas dan tajam, penutup surat itu justru berisi harapan. Publik meminta agar pemerintah provinsi menjadikan surat tersebut sebagai peringatan dini, bukan ancaman politik. Mereka mengingatkan bahwa bencana ekologis tidak mengenal hierarki jabatan, tidak membedakan rakyat dan pejabat, dan sama sekali tidak bernegosiasi.

“Alam hanya merespons apa yang kita lakukan padanya,” demikian kutipan yang menjadi penutup.

Surat ini ditandatangani atas nama Rakyat Sumatera Selatan yang Menolak Tenggelam. Namun jauh di balik tanda tangan itu, ada yang lebih penting yakni pertanyaan besar tentang masa depan lingkungan hidup Sumatera Selatan.

*SURAT TERBUKA UNTUK GUBERNUR SUMATERA SELATAN*

Perihal: *Optimisme Bapak Tidak Bisa Menahan Banjir, Hutan Kita Sedang "Sekarat"*

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak