SuaraSumsel.id - Palembang bukan sekadar kota tua di tepian Sungai Musi. Di balik hiruk pikuk modernisasi dan deru kendaraan, kota ini menyimpan jejak heroik perjuangan bangsa yang masih terasa di setiap jengkal tanahnya.
Kini, sejarah itu tak lagi sekadar tersimpan di buku pelajaran, tapi bisa dijelajahi langsung lewat Tur Wisata Sejarah Palembang, program yang tengah naik daun di kalangan wisatawan lokal maupun mancanegara.
Dari Benteng Kuto Besak hingga Rumah Limas Palembang, dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II hingga Kampung Al-Munawar, setiap lokasi membawa kisah keberanian, budaya, dan perjuangan yang membentuk identitas kota tertua di Nusantara ini.
Tur biasanya dimulai dari kawasan Benteng Kuto Besak (BKB), benteng megah di tepi Sungai Musi yang menjadi saksi bisu perlawanan rakyat Palembang melawan pasukan Belanda pada abad ke-19.
Baca Juga:Terungkap! 5 Pahlawan Tanpa Nama dari Sumsel yang Diam-Diam Ubah Arah Sejarah
Dari sinilah pengunjung bisa membayangkan dentuman meriam dan kobaran semangat perjuangan para prajurit Kesultanan Palembang.
Tak jauh dari BKB, perjalanan berlanjut ke Museum SMB II, yang menyimpan artefak perang, naskah kuno, serta foto-foto langka masa kolonial. Di ruang utama museum, terpajang lukisan besar Sultan Mahmud Badaruddin II, sosok pemimpin yang memilih berjuang hingga akhir demi mempertahankan kedaulatan Palembang.
Tur sejarah ini juga menelusuri peran para ulama dan tokoh lokal yang kerap luput dari narasi besar sejarah nasional. Di kawasan 3 Ilir, misalnya, wisatawan diajak mengunjungi Makam Kiai Haji Abdul Karim, ulama yang memimpin perlawanan spiritual selama Perang Palembang.
Bagi banyak peserta tur, momen hening di area makam ini sering menjadi refleksi pribadi tentang arti perjuangan dan pengabdian.
“Dulu saya hanya tahu Palembang dari pempek dan Jembatan Ampera. Tapi setelah ikut tur ini, saya sadar kota ini punya jiwa yang sangat kuat,” kata Rina Puspita, peserta tur asal Jakarta.
Perjalanan berlanjut ke Kampung Arab Al-Munawar, kawasan pemukiman tua di tepian Sungai Musi yang masih dihuni keturunan asli Arab Palembang sejak abad ke-18.
Baca Juga:5 Inspirasi dari Puncak HUT ke-68 Bank Sumsel Babel: Wujudkan Semangat Change to Accelerate
Di sini, rumah-rumah kayu bergaya arsitektur Timur Tengah berdiri gagah di antara lorong sempit yang penuh warna. Para wisatawan bisa mendengar kisah bagaimana leluhur mereka ikut berperan dalam perdagangan, dakwah, hingga perjuangan kemerdekaan.
Menariknya, program Tur Wisata Sejarah Palembang kini juga menjadi penggerak ekonomi kreatif lokal.
Warga sekitar membuka kafe tematik, menjual suvenir berdesain historis, hingga menggelar pertunjukan musik tradisional di malam hari. Beberapa kelompok pemuda bahkan menghadirkan tur tematik malam hari bertajuk
“Palembang Under the Moonlight” — pengalaman menjelajahi bangunan tua dengan lentera dan cerita mistis yang dikemas edukatif.
Tur ini bukan sekadar wisata, tapi juga gerakan pelestarian identitas.
Pemerintah Kota Palembang bersama komunitas sejarah berkomitmen menjaga bangunan bersejarah agar tidak hilang di tengah pembangunan modern.
Sejumlah situs seperti Rumah Bari, Masjid Lawang Kidul, dan Jembatan Ampera kini masuk daftar prioritas revitalisasi dengan pendekatan wisata budaya.