Hari Bumi 2025 di Sumsel: Seruan Melawan Ketimpangan dan Krisis Ekologis

Langit Palembang pagi itu mendung, tapi semangat perlawanan tak pernah redup.

Tasmalinda
Selasa, 22 April 2025 | 23:42 WIB
Hari Bumi 2025 di Sumsel: Seruan Melawan Ketimpangan dan Krisis Ekologis
hari bumi di Palembang, Sumatera Selatan

SuaraSumsel.id - Langit Palembang pagi itu mendung, tapi semangat perlawanan tak pernah redup.

Ratusan aktivis lingkungan, mahasiswa, komunitas perempuan, dan warga berkumpul dalam satu barisan panjang yang membawa bola bumi raksasa menyusuri jalan-jalan utama kota.

Ini bukan sekadar pawai, ini adalah seruan dari akar rumput: Bumi sedang sekarat, dan kita tidak bisa diam.

Dalam rangka memperingati Hari Bumi 2025, WALHI Sumatera Selatan bersama lebih dari selusin organisasi dan komunitas menyuarakan perlawanan terhadap krisis ekologis yang semakin nyata dan brutal.

Baca Juga:Duka Mendalam, Keuskupan Agung Palembang Serukan Doa untuk Paus Fransiskus

Di antara yang hadir adalah ROTAN, MASOPALA UNSRI, Himpala Dharmapala, Chakti, Solidaritas Perempuan Palembang, Women Crisis Center Palembang, HIMASYLVA UMP, BEM FE UNSRI, BEM FISIP UNSRI, Benah Palembang, Green Heroes Sriwijaya, Suara Mentari, dan Rumah Relawan Peduli.

Kepala Divisi Kampanye WALHI Sumsel Febrian Putra Sopahmenegaskan bahwa peringatan Hari Bumi tahun ini bukan sekadar seremonial, melainkan panggilan untuk menggugat ketimpangan dan ketidakadilan yang telah lama menyandera bumi dan rakyat Sumatera Selatan.

“Bencana ekologis yang kita hadapi bukan lagi semata peristiwa alam. Ini adalah hasil dari kebijakan yang timpang, pengabaian terhadap suara rakyat, dan kerakusan modal,” tegas Febrian saat membuka rangkaian aksi.

154 Kali Banjir, 11.786 Titik Api, dan Rakyat yang Terus Menanggung Derita

Sepanjang tahun 2024, Sumatera Selatan menghadapi 154 kejadian banjir di 14 kabupaten/kota, merendam lebih dari 91 ribu rumah dan mengganggu kehidupan 365 ribu jiwa.

Baca Juga:Dampak Mengerikan 7 PLTU di Sumatera: Polusi Parah, Ribuan Nyawa Terancam

Di musim kemarau, situasi tak kalah parah: 11.786 titik api muncul, sebagian besar di lahan gambut yang telah rusak akibat pembukaan lahan oleh perusahaan. Air minum menjadi langka, udara beracun, tanah tercemar—semua ini bukan kebetulan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini