Krisis ini, menurut WALHI, adalah gejala dari luka yang lebih dalam: ketimpangan penguasaan ruang. Dari total 8,3 juta hektar daratan di Sumatera Selatan, lebih dari 3,3 juta hektar telah dikuasai oleh perusahaan tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Rakyat dipinggirkan, tanah diambil, dan hutan-hutan dijadikan komoditas.
“Ketika hutan diganti HTI, rawa-rawa dijadikan perumahan elit, dan sungai menjadi saluran limbah tambang, maka wajar jika bencana datang tanpa henti,” kata perwakilan Benah Palembang.
Longmarch Bola Bumi, Pasar Gratis, dan Bibit Pohon: Simbol Harapan dan Perlawanan
Baca Juga:Duka Mendalam, Keuskupan Agung Palembang Serukan Doa untuk Paus Fransiskus
Aksi di Palembang ini tidak hanya menghadirkan orasi dan protes, tetapi juga menghadirkan wajah lain dari perlawanan: solidaritas dan harapan.
Dalam kegiatan ini, para peserta menggelar pasar gratis untuk warga, pickup sampah di kawasan publik, serta pembagian bibit pohon sebagai upaya restorasi mikro.
Longmarch dengan membawa bola bumi raksasa menjadi simbol bahwa bumi bukan hanya sedang sakit, tetapi juga butuh kita peluk bersama.
“Kita ingin menunjukkan bahwa aksi lingkungan juga adalah aksi sosial. Bahwa perjuangan ekologis tak bisa dilepaskan dari keadilan sosial, dari hak atas air bersih, udara bersih, dan makanan sehat,” ujar perwakilan Suara Mentari.
Tuntutan Rakyat Sumsel untuk Keadilan Ekologis
Baca Juga:Dampak Mengerikan 7 PLTU di Sumatera: Polusi Parah, Ribuan Nyawa Terancam
Di tengah aksi tersebut, para peserta menyuarakan enam tuntutan yang menjadi inti perjuangan Hari Bumi 2025: