Dalam kegiatan ini, para peserta menggelar pasar gratis untuk warga, pickup sampah di kawasan publik, serta pembagian bibit pohon sebagai upaya restorasi mikro.
Longmarch dengan membawa bola bumi raksasa menjadi simbol bahwa bumi bukan hanya sedang sakit, tetapi juga butuh kita peluk bersama.
“Kita ingin menunjukkan bahwa aksi lingkungan juga adalah aksi sosial. Bahwa perjuangan ekologis tak bisa dilepaskan dari keadilan sosial, dari hak atas air bersih, udara bersih, dan makanan sehat,” ujar perwakilan Suara Mentari.
Tuntutan Rakyat Sumsel untuk Keadilan Ekologis
Baca Juga:Duka Mendalam, Keuskupan Agung Palembang Serukan Doa untuk Paus Fransiskus
Di tengah aksi tersebut, para peserta menyuarakan enam tuntutan yang menjadi inti perjuangan Hari Bumi 2025:
- Hentikan ekspansi industri ekstraktif, khususnya tambang batubara, kelapa sawit, dan HTI.
- Cabut izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan dan mencemari ruang hidup.
- Laksanakan pemulihan ekologis dan sosial dengan melibatkan masyarakat terdampak.
- Hentikan kriminalisasi warga dan beri sanksi kepada korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan.
- Wujudkan reforma agraria sejati, kembalikan tanah dan ruang hidup kepada rakyat.
- Desak kepala daerah untuk menjadikan keadilan ekologis dan gender sebagai prinsip utama dalam pengambilan kebijakan.

Hari Bumi, Bukan Sekadar Tanggal di Kalender
Hari Bumi bagi rakyat Sumsel bukan sekadar seremoni.
Ini adalah perjuangan eksistensial: antara bertahan atau dihancurkan oleh kuasa modal dan negara yang abai.
Dari kota Palembang yang rutin kebanjiran karena rawa-rawa dibeton, hingga desa-desa yang kehilangan sumber air bersih karena tanah mereka digusur untuk tambang—semua merasakan dampaknya.
Baca Juga:Dampak Mengerikan 7 PLTU di Sumatera: Polusi Parah, Ribuan Nyawa Terancam
“Jika lahan terus dikapling untuk tambang dan sawit, jika rawa dan hutan terus dimusnahkan, maka banjir, kebakaran, dan penderitaan rakyat akan jadi keniscayaan. Tapi jika kita bersatu, bumi masih bisa diselamatkan. Sudah saatnya kita berpihak pada bumi dan rakyat, bukan pada modal dan kehancuran,” ujar Febrian.