SuaraSumsel.id - Pembuktian dalam sidang gugatan kabut asap yang diajukan oleh sebelas warga Sumatera Selatan terhadap sejumlah perusahaan terus bergulir di Pengadilan Negeri Palembang.
Dalam sidang pemeriksaan pekan ini, para penggugat menghadirkan tiga saksi ahli yang mumpuni di bidangnya.
Kehadiran mereka menjadi sorotan penting karena membawa perspektif akademik yang kuat atas dugaan pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan gambut.
Ketiga ahli yang memberikan kesaksian ialah Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Iman Prihandono, guru besar sekaligus dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Azwar Maas, ahli lahan gambut dan guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Baca Juga:Duka di Sungai Musi: 2 ABK Tugboat Tewas dalam Kecelakaan Kerja Tragis
Dalam kesaksiannya, mereka mengulas secara mendalam keterkaitan antara lemahnya pengawasan perusahaan dan dampak masif yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar akibat kabut asap dari kebakaran di lahan konsesi milik PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, serta PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries.
Ketiga perusahaan ini merupakan bagian dari jaringan usaha kayu yang berada di bawah kendali raksasa industri pulp dan kertas, Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).
Melalui sidang ini, para penggugat berupaya menunjukkan bahwa bencana kabut asap bukan semata soal kerusakan lingkungan tetapi juga menyangkut pelanggaran hak hidup sehat, kelalaian korporasi, dan tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.
Dalam persidangan yang sarat dengan nuansa akademik dan tanggung jawab moral tersebut, saksi ahli Andri Gunawan Wibisana tampil memukau dengan membeberkan konsep penting dalam hukum lingkungan, yakni strict liability atau pertanggungjawaban mutlak.
Guru besar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa prinsip tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diperkuat melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 yang menjadi pedoman pengadilan dalam mengadili perkara lingkungan.
Baca Juga:Tertipu Jasa Tukar Uang Bodong, IRT Palembang Kehilangan Rp 21,6 Juta untuk THR
Dalam konteks gugatan yang diajukan sebelas warga Sumatera Selatan, Andri menegaskan bahwa kebakaran lahan gambut yang menyebabkan kabut asap harus dilihat melalui relasi kausalitas yang erat dengan aktivitas perusahaan tergugat.
Ia mengungkapkan, pengeringan lahan gambut melalui pembangunan kanal merupakan bentuk dangerous activity, aktivitas berbahaya yang meskipun dilakukan dengan kehati-hatian tetap menyimpan risiko tinggi terhadap terjadinya kebakaran.
“Dengan prinsip strict liability, para tergugat bisa tetap dimintai pertanggungjawaban meskipun tidak terbukti lalai secara langsung. Cukup dibuktikan bahwa kebakaran termasuk risiko dari usaha mereka, maka kerugian yang dialami warga harus ditanggung,” ujarnya dalam sidang.
Penjelasan ini memperkuat argumen para penggugat bahwa bencana kabut asap tidak hanya merupakan bencana ekologis, melainkan juga hasil dari praktik usaha yang lalai mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Dalam kesaksiannya yang disampaikan secara virtual, Azwar Maas, ahli gambut sekaligus guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada mengungkapkan fakta ilmiah yang menjadi kunci dalam memahami akar persoalan kebakaran lahan gambut.
Ia menegaskan bahwa lahan gambut sejatinya bersifat hydrophilic, atau suka air, dan secara alami tidak akan mengering begitu saja.

Namun, kata Azwar, persoalan mulai muncul ketika manusia membuka lahan gambut untuk saluran air.
"Begitu kanal-kanal dibuka, maka air yang menjadi bagian dari struktur alami gambut akan menguap perlahan. Akibatnya, karakteristik gambut berubah menjadi hydrophobic atau takut air, yang justru berbahaya karena membuat lahan gambut sangat mudah terbakar," jelasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika lahan gambut sudah dalam kondisi kering dan terbakar, maka proses pemadamannya akan menjadi sangat sulit karena api bisa terus menjalar di bawah permukaan tanah dan nyaris tak terdeteksi.
Penjelasan Azwar ini memperkuat tudingan terhadap para tergugat dalam perkara kabut asap, bahwa tindakan membuka kanal dan mengeringkan lahan gambut adalah bentuk aktivitas yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengundang bencana ekologis berskala besar yang dampaknya dirasakan oleh jutaan warga.
Saksi Andri Gunawan Wibisana membeberkan tentang pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam penegakan hukum lingkungan, yang juga telah tertuang dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Dalam perkara ini, para penggugat menuntut pertanggungjawaban mutlak atas kerugian mereka akibat aktivitas para tergugat yang ditengarai memicu kabut asap berulang.
Andri mengatakan, kabut asap yang dipersoalkan lewat gugatan ini perlu dilihat dalam relasi kausalitas dengan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Ia juga menjelaskan tentang aktivitas berbahaya (dangerous activity) yang ditengarai telah dilakukan para tergugat sebagai penyebab kebakaran.
“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya. Pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya bahkan dengan tindakan kehati-hatian, karena menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran,” ujar Andri.
Saksi lainnya, Iman Prihandono, menerangkan tentang tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia (HAM). Ini merupakan salah satu pilar dalam prinsip-prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).
“Pilar kedua UNGPs mengatur bahwa perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM. Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman, yang mendalami topik hukum internasional serta bisnis dan HAM.
Konsesi perusahaan kayu PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada di ekosistem Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL).
Dalam kurun 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL.
Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.
Alih fungsi lahan gambut menjadi kebun hutan tanaman industri (HTI) jelas berdampak mengikis keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, yang ujungnya berdampak memperparah pemanasan global.
“Di dalam gugatan, kami menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar, menimbulkan karhutla dengan dampak asap yang berbahaya, meluas dengan durasi yang lama dan bagaimana kasus kabut asap akibat karhutla ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatera Selatan. Kesaksian ahli, dan para pakar hukum yang kredibel serta independen, makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata Sekar Banjaran Aji, salah satu tim kuasa hukum penggugat.
Bersama dengan saksi ahli, sejumlah penggugat dan anggota koalisi Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) juga hadir untuk mengawal jalannya persidangan kasus gugatan asap ini.
Kompak mengenakan baju bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap”, mereka kembali menunjukkan solidaritas untuk para korban asap di ruang sidang.
Selepas persidangan, belasan orang dari kelompok mahasiswa dan komunitas di Sumatera Selatan membentangkan banner bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap” dan sejumlah poster di depan Pengadilan Negeri Palembang, sebagai bentuk dukungan untuk mengawal gugatan ini.
Dalam perkara ini, Greenpeace Indonesia menjadi penggugat intervensi dan meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka.
Organisasi ini juga memohon hakim memerintahkan para tergugat untuk menjamin bahwa pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari dalam dan sekitar areal izin mereka tak akan terjadi lagi di masa depan.