SuaraSumsel.id - Eks Wali Kota Palembang, Harnojoyo, akhirnya memenuhi panggilan penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel), terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pasar Cinde.
Kehadiran Harnojoyo di kantor Kejati Sumsel menandai babak baru dalam pengusutan kasus yang selama ini menjadi sorotan publik, terutama setelah penahanan mantan Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti Agustinda.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Harnojoyo tiba di Gedung Kejati Sumsel sekitar pukul 10.00 WIB, dan langsung menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik.
Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari SH MH membenarkan bahwa hari ini pihaknya memang memeriksa satu orang saksi terkait perkara tersebut.
Baca Juga:Lepas Kemeriahan Lebaran, Emas Digadai Warga Palembang untuk Sekolah Anak
Meski belum diungkap secara detail materi pemeriksaan, kehadiran Harnojoyo sebagai saksi ini menunjukkan bahwa Kejati Sumsel tengah mendalami lebih jauh rangkaian dugaan penyimpangan anggaran dalam proyek revitalisasi Pasar Cinde yang sempat digadang-gadang menjadi ikon baru perdagangan di Kota Palembang.
“Benar dilakukan pemeriksaan sebagai saksi,” ungkap Vanny melansir sumselupdate.com-jaringan Suara.com
Vanny juga menyatakan, pada kemarin 9 april 2025, tim penyidik pidsus juga memeriksa tiga orang saksi atas kasus pasar Cinde.
“Tiga saksi diperiksa EH selaku Ketua Panitia Pengadaan, LP selaku anggota Panitia Pengadaan dan S selaku anggota Panitia Pengadaan, pemeriksaan saksi dilakukan dari jam 12 sampai selesai dengan agenda sebanyak kurang lebih 20 pertanyaan,” tuturnya
Sejak naiknya status ke penyidikan Pidsus Kejati Sumsel telah melakukan pemanggilan dan pemeriksaan beberapa saksi untuk dimintai keterangan.
Baca Juga:Harga Emas Tinggi Dorong Warga Palembang Ramai Gadai untuk Biaya Sekolah
Diantaranya, adalah memanggil dan memeriksa saksi Kadis Perkim Sumsel Basyaruddin Akhmad, Edison SH MH mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang tahun 2019, mantan Sekda Palembang Harobin hingga mantan Walikota Palembang Harnojoyo dan lainnya.
Setelah bertahun-tahun dibiarkan mangkrak tanpa kejelasan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akhirnya mengambil langkah tegas dengan memutus kontrak pembangunan Pasar Cinde bersama PT Magna Beatum Aldiron Plaza Cinde.
Keputusan ini menandai babak baru dari kisah panjang proyek revitalisasi Pasar Cinde yang sempat digadang-gadang menjadi ikon perdagangan modern di pusat Kota Palembang.
Proyek yang diberi nama Aldiron Plaza Pasar Cinde (APC) ini dimulai pada Juni 2018, dengan nilai investasi mencapai Rp330 miliar.
Gagasan awalnya terlihat begitu ambisius: membangun sebuah pusat niaga bertingkat yang tak hanya menampung para pedagang tradisional Pasar Cinde, tetapi juga terintegrasi langsung dengan jalur Light Rail Transit (LRT) sebagai bagian dari pengembangan kawasan terpadu dan modern.
Namun kenyataan berkata lain.
Saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal 2020, pengerjaan proyek APC praktis terhenti.
Sejak saat itu, tak ada lagi aktivitas pembangunan di lokasi. Tahun berganti, tetapi proyek tak kunjung dilanjutkan.
![Tanpak kondisi pasar Cinde Palembang [pemotretan atas]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/06/03/81181-tanpak-kondisi-pasar-cinde-palembang-pemotretan-atas.jpg)
Bangunan yang seharusnya menjadi simbol kemajuan dan kebangkitan ekonomi daerah kini hanya menyisakan dinding seng setinggi dua meter yang mengelilingi lokasi, terkunci rapat dan tak terurus.
Warga yang melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, hanya bisa melihat potret suram dari proyek yang gagal total.
"Kontrak kerja dengan pihak pengembang telah resmi kami putuskan," kata seorang pejabat di lingkungan Pemprov Sumsel.
Ia menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah evaluasi menyeluruh atas kinerja PT Magna Beatum yang dinilai tidak mampu memenuhi kewajiban pembangunan sesuai kesepakatan awal.
Kekecewaan juga datang dari para pedagang asli Pasar Cinde, yang hingga kini belum memiliki tempat usaha tetap. Mereka sempat dijanjikan ruang niaga khusus di lantai-lantai tertentu APC.
Namun, janji tinggal janji. Selama bertahun-tahun, mereka terpaksa berjualan di tempat sementara yang jauh dari layak dan rawan terhadap cuaca serta keamanan.
Sementara itu, dari sisi tata kota, proyek mangkrak ini menjadi ‘luka menganga’ di jantung Palembang.
Letaknya yang strategis di pusat kota, dekat simpul transportasi LRT, menjadikannya simbol yang ironis dari kegagalan perencanaan dan pelaksanaan proyek publik yang melibatkan pihak swasta.
Kini publik menantikan langkah lanjutan dari Pemerintah Provinsi Sumsel.
Apakah proyek ini akan dilelang ulang? Apakah ada audit menyeluruh terhadap dana yang sudah dikeluarkan? Dan yang tak kalah penting, apakah akan ada pertanggungjawaban hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat?
Karena pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah masyarakat—baik pedagang kecil yang kehilangan tempat berjualan, maupun warga kota yang menyaksikan harapan mereka direnggut oleh proyek besar yang gagal terwujud.