Dalam persidangan sebelumnya, pihak penggugat sudah membeberkan kerugian materil dan imateril–yang berangkat dari rasa sakit emosional serta hilangnya hak atas kesehatan dan udara bersih.
Saksi fakta lain yang dihadirkan dalam persidangan adalah Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist dari Greenpeace Indonesia, yang turut menjadi penggugat intervensi dalam perkara ini.
Dalam kesaksiannya, Sapta mengungkap fakta mencengangkan tentang kondisi ekosistem gambut di area konsesi tiga perusahaan tergugat.
Ia menjelaskan bahwa lokasi konsesi tersebut berada dalam Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL), sebuah kawasan yang seharusnya tetap basah untuk mencegah kebakaran.
Baca Juga:Jadwal Buka Puasa Kota Palembang, Banyuasin, dan Ogan Ilir pada 20 Maret 2025
Namun, temuan Greenpeace menunjukkan adanya kanal-kanal drainase yang mengeringkan lahan gambut, membuat lanskap tersebut semakin rentan terhadap kebakaran berulang.
Selain itu, Sapta juga memaparkan luas area terbakar yang terjadi di dalam konsesi ketiga perusahaan, menyoroti bagaimana praktik pengelolaan yang buruk telah berkontribusi terhadap bencana kabut asap yang merugikan masyarakat luas.
Kesaksiannya menjadi salah satu kunci dalam mengungkap keterkaitan antara kebakaran lahan dan aktivitas perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut.

Dalam kurun 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL.
Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.
Baca Juga:Kilang Pertamina Plaju Bangun Dermaga untuk Konservasi Gajah Sumatera, Begini Manfaatnya
Namun, ia urung bersaksi lantaran pihak kuasa hukum tergugat menolak kehadiran Sapta selaku saksi fakta, serta menyatakan akan meninggalkan ruang persidangan.