Dia mengungkapkan kekuatan adat masih sangat mengikat sampai saat ini. Salah satu yang paling dilarang ialah mengambil tumbuhan (merambah) hutan adat untuk keperluan perseorangan (diperdagangkan). Warga hanya diperbolehkan mengambil kayu hutan untuk membangun rumah dan terdapat kewajiban kembali menanam pohon yang diambil. Kayu hutan juga boleh diambil untuk keperluan bangunan publik, seperti rumah ibadah mushola dan infrastuktur desa.
“Siapapun harus patuh pada aturan ini, warga harus patuh pada hukum adat ini. Larangannya ialah mengambil, menjual, merambah, itu menjadi pantangan” ucapnya.

Sampai kekinian warga desa sangat patuh atas hukum adat tersebut. Mereka meyakini adat menjaga hutan ialah menjaga kehidupan warga dan desa. “Merusak hutan adat, berarti merusak desa,” sambung Budiono yang sudah berusia kepala lima ini.
Keyakinan menjaga alam dan lingkungan hutan sangat rasional, karena hutan adat menyimpan sumber kehidupan warga, yakni sumber mata air.
Baca Juga:Eks JI Sumsel Evaluasi Paham Radikalisme, Komitmen Kembali ke NKRI
Hutan adat Tebat Benawa ialah sumber mata air bagi Sungai Lematang. Sungai yang dikenal sebagai salah satu bagian dari Batanghari Sembilan, yakni 9 sungai terbesar di Sumsel.
Peran Sungai Lematang setidaknya menghidupi dengan mengalir melintas pada lima kota dan kabupaten di Sumsel, yakni dari Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, kota Prabumulih dan kabupaten Muara Enim.
Budiono mengungkapkan luasan hutan adat Tebat Benawa mencapai 336 hektar (ha). Nama Tebat Benawa berasal dari kata Tebat atau danau kecil yang terdapat di hutan tersebut, sementara Benawa adalah nama pohon endemik yang hanya bisa dijumpai di hutan tersebut.
“Pohon Benawa ini diceritakan secara turun temurun, jumlahnya hanya ada 1 dengan usia berpuluh tahun dan ukurannya sangat besar,” ucapnya.
Di hutan adat ini terdapat tiga mata air, yakni mata air Ringkeh, Ayek Puding dan Basemah, yang kemudian ketiganya mengalir ke Sungai Lematang. Hutan adat Tebat Benawa yang berada di kaki Bukit Patah disebutkan sejak tahun 1940 an sampai 1950 an mulai ditata untuk dialirkan ke pemukiman warga dusun.
Baca Juga:Fraksi-fraksi DPRD Prov Sumsel Sampaikan Pandangan Umum Raperda APBD TA 2025
“Di Tebat (danau kecil), warga memelihara ikan, yang diperbolehkan diambil warga untuk dimakan,” ujarnya.