SuaraSumsel.id - Sastra tutur merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang di Nusantara [Indonesia], termasuk di Sumatera Selatan. Perjalanan sastra tutur di Sumatera Selatan dimulai dari masa Kedatuan Sriwijaya, seperti mantra, hingga di masa Kesultanan Palembang dan kemerdekaan Indonesia, yang berbentuk sastra klasik, baik puisi maupun prosa.
Perwakilan Teater Potlot, Nopri Ismi menjelaskan dari sastra tutur ini juga dipengaruhi situasi lingkungan setempat seperti halnya lahan basah di Sumsel.
Lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan luasnya sekitar tiga juta hektare, yang terdiri dari sungai, rawa lebak, danau, hingga mangrove. Sejumlah permukiman terbentuk di sekitar lahan basah Sungai Musi, dari masa Kedatuan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga Republik Indonesia.
"Sehingga sastra tutur muncul pantun, incang-incang, senjang, andai-andai, jelihim, royat, hiring-hiring, ngandui, serambai, dundai, busik tawe, enduy yading, dan lainnya," ucapnya.
Baca Juga:Video Art Sastra Tutur, Cara Baru Menyajikan Kekayaan Tradisi
Sementara perempuan memiliki peran yang penting dalam mengakses lahan basah.
Perempuan memanfaatkan lahan basah sebagai sumber pangan, papan, sandang, dan ekonomi. Pemanfaatan tersebut melahirkan sejumlah tradisi seperti kuliner dan anyaman. Pada tradisi tersebut terkandung berbagai pengetahuan, seperti kesehatan, hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, hingga kearifan terhadap alam.
"Peranan tersebut membuat perempuan memiliki kuasa di dalam keluarga dan di masyarakat. Perempuan memiliki hak untuk bersuara atau bersikap terhadap berbagai keputusan maupun terhadap sesuatu yang dinilai buruk atau tidak baik," ucap Nopri.
Beranjak dari gambaran tersebut, Teater Potlot yang didukung Danaindonesiana dan LPDP melakukan penelitian tentang hubungan sastra tutur dan perempuan dengan lahan basah Sungai Musi.
Hasil dari penelitian tersebut disajikan dalam sebuah buku berjudul “Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi” yang ditulis Dian Maulina dan Arbi Tanjung. Buku ini diterbitkan Penerbit JBS dan Ladang Publishing Yogyakarta, pada Juli 2024 lalu.
Baca Juga:Video Art Sastra Tutur Teater Potlot: Perpaduan Seni dan Lingkungan nan Menginspirasi
Dijelaskan dalam pengantar buku, kajian di dalam buku ini beranjak dari karya empat maestro sastra tutur perempuan yang hidup di lahan basah Sungai Musi, yang diambil dari enam wilayah penelitian yakni Pedamaran [Kabupaten Ogan Komering Ilir], Desa Bangsal [Kabupaten Ogan Komering Ilir], Desa Gelebak Dalam [Kabupaten Banyuasin], Sungai Keruh [Kabupaten Musi Banyuasin], Desa Muara Penimbung Ulu [Ogan Ilir], dan Tanah Abang [Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir].
Nopri menjelaskan alasan pemilihan wilayah tersebut yakni masih adanya sejumlah tradisi yang diperankan kaum perempuan di lahan basah.
Alasan lainnya ialah wilayah tersebut merupakan permukiman tua, baik dari masa Kedatuan Sriwijaya maupun Kesultanan Palembang.
"Ketiga, wilayah tersebut mengalami degradasi lingkungan lahan basah akibat antropogenik," ucap Nopri.
Keempat maestro sastra tutur perempuan yakni Cik Isa alias Kajut Odon yang berusia 109 tahun [Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir]; Hariya yang akrab Wak Doi yang berusia 60 [Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir]; Rusminah alias Bulat Jawo berusia 66 tahun [Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir]; dan, Murni alias Wak Murni berusia 61 tahun [Desa Kertayu, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin].
Karya yang terkumpul sebanyak 20 tederdiri dari pantun sebanyak 7, incang-incang sebanyak 6, senjang sebanyak 3, dan andai-andai sebanyak 4.
Pembacaan
Ada tiga pembacaan nilai di dalam buku ini. Pertama, hampir semua sastra tutur yang disajikan penutur perempuan di lahan basah Sungai Musi, tidak mengangkat tema istanasentris. Seperti mengisahkan atau menggambarkan kehidupan sultan dan keluarganya, meskipun wilayah permukiman mereka dibentuk atau dikuasai Kesultanan Palembang.
Kisah yang disajikan umumnya dengan tokoh orang biasa, serta tidak berlatar ruang atau kehidupan istana.
Bahkan beberapa karya sastra tutur menunjukkan sikap kritis terhadap perilaku sultan. Kisah penolakan terhadap pinangan sultan untuk menjadikan mereka [perempuan] sebagai isteri [selir].
Kedua, pesan lingkungan. Banyak ditemukan sastra tutur yang berisi pesan mengenai lingkungan. Mulai dari pesan untuk tidak tamak terhadap alam, menjaga alam, hingga protes terhadap pembangunan yang merusak atau memutuskan akses masyarakat terhadap alam.
Ketiga, spiritualitas. Sebagai manusia, perempuan di lahan basah Sungai Musi menyadari bahwa mereka memiliki kefanaan. Oleh karenanya mereka berusaha untuk membangun hasrat terhadap tujuan dan makna yang menjadi pemandu kehidupannya.
Mereka menyakini ada kekuatan di luar dirinya yang mampu mendorong dan mengarahkan agar lebih bermakna. Kekuatan itu juga yang membentuk karakteristik kepribadian mereka dalam menjalankan multi peran [consumers, educators, comunicators, campaigner].
Pilihan tingkah laku spiritual demikian tercermin dalam sastra tutur yang mereka tuturkan. Contohnya terlihat dalam incang-incang yang dituturkan perempuan di Pedamaran:
Kito bagian malang
Tah pacak kenda diri
Bedoa dengan tuhan
Kuatkan iman kami
[Kita tak beruntung
Tak bisa sesuai keinginan
Berdoa kepada Tuhan
Kuatkanlah iman kami]