SuaraSumsel.id - Klub Sriwijaya FC memang punya keunikan tersendiri. Meski merupakan klub yang dibeli dari klub yang juga sempat terpuruk di tanah jawa, namun Sriiwjaya FC sempat menoreh keberhasilan yang membanggakan.
Jika menelisik sejarahnya, Klub Andalas ini berasal dari sebuah klub yang sempat tersingkir dalam pertarungan di Pulau Jawa.
Laskar wong kito ini awalnya bernama Persijatim Jakarta Timur yang berdiri di tahun 1976 sebagai Perserikat sepak bola di Jakarta Timur.
Selama 11 tahun, Persijatim memulai kompetisi Perserikat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1987.
Baca Juga:Achmad Yakub: Cegah Karhutlabun Butuh Kolaborasi Melibatkan Petani di Sumsel
Pada awal karir tersebut, Persijatim mampu promosi dari Kompetisi Perserikat 1987 atau Divisi II menuju Divisi I Perserikat 1988.
Keberhasilan Persijatim ternyata tidak seharum klub kebanggan Jakarta lainnya, seperti Persija.. Klub Persijatim tersisih dari perhatian Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta.
Di tahun 2001 Persijatim mencoba beralih haluan dengan memboyong home base pindah ke Solo sehingga berubah nama menjadi Persijatim Solo FC. Tiga tahun berjalan di Solo, kiprah Persijatim Solo FC berakhir di tahun 2004 sehingga diambil alih oleh Pemprov Sumsel.
Pengambilalihan tidak lain guna mengoptimalkan fasilitas seperti halnya Stadion Gelora Sriwijaya yang telah dibangun guna menyambut PON XVI agar tidak terbengkalai.
Pengalihan Sriwijaya FC menjadi klub milik Pemprov Sumsel berawal ditetapkan pada tanggal 23 Oktober 2004 yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Sriwijaya FC secara resmi.
Kemenangan perdana Sriwijaya FC pada tahun 2008 setelah 4 tahun diambil alih. Saat itu, klub kebanggaan masyarakat Sumsel berhasil menyabet juara Liga Djarum Indonesia.
Baca Juga:Sumsel Ekspor Puluhan Ribu Kilogram Paha Kodok Senilai Rp2,3 Miliar ke Prancis
Di tahun yang sama, Sriwijaya FC juara Piala Indonesia atau Copa Indonesia. Keberhasilan tersebut membuat Sriwijaya FC bergelar penghargaan rekor MURI sebagai tim sepakbola pertama di Indonesia dengan meraih double winner di satu musim.
Kekinian klub ini memiliki tiga kelompok suporter yang terus mendukungnya, yakni Ultas Palembang, Singa Mania, Sriwijaya Mania.
Ketiganya punya massa yang nyata terlihat saat klub Sriwijaya FC menjamu atau sebelumnya menjelani laga away yang boleh dihadiri oleh kelompok pendukung.
Tampaknya pasang surut sebagai klub dengan masa pendukung besar tampak sebagai bagian dari perjalanan yang dinamis.
Apakah kelompok massa yang besar ini pun tidak mendapatkan lirikan secara politik. Jika mengacu pada sejumlah pemilihan kepala daerah (Pilkada) Sumatera Selatan (Sumsel) belakangan.
Dukungan pada Sriwijaya FC tak menyokong secara langsung kemenangan calon kepala daerah.
Misalnya saat Presiden Sriwijaya FC yang sempat dipegang Dodi Reza Alex yang kemudian maju pada Pilkada Sumsel pun tidak signifikan.
Dodi Reza Alex kalah dalam dua kali Pilkada Sumsel. Apakah benar klub bermassa besar ini tidak bernilai politik pada dinamis politik di daerah?
Kekinian mantan Presiden Sriwijaya FC Hendri Zainuddin pun melepas secara sukarela saham yang dimiliki. Padahal beradasarkan pengakuan komisari PT Sriwijaya Optimis Mandiri atau PT SOM, yakni perusahaan yang menaungi klub Sriwijaya FC, jika politisi tersebut mengantongi setidaknya 92-96 persen saham klub.
Setelah menjadi tersangka korupsi kasus di tubuh KONI Sumsel yang sempat dipimpinnya, Hendri diakui Cafo Tifoso Ultras Palembang, Qusoi akan melepas saham secara sukarela.
Apakah ini makin mempertebal kenyataan jika Sriwijaya FC sudah tak bertaji lagi secara politis?