SuaraSumsel.id - Hidungnya terasa semakin basah oleh lendir dengan kotoran yang kian menebal. Bernafas pun sudah semakin ngos-ngosan, menjelang tengah malam itu.
Udara malam yang dingin di akhir pekan seolah sudah tidak lagi sebanding dengan sesak nafas yang dialami Alex. Meski sudah menggunakan masker kain dari kaos yang dililit di hidung sampai leher, Alex harus menerobos kabut asap demi menyelesaikan orderan (pesanan) penumpangnya.
Tidak hanya hidungnya yang ‘bermasalah’, matanya pun mulai berair sebagai reaksi asap yang membuatnya perih. Padahal kerja mata masih harus maksimal, karena jarak pandang yang makin menurun, yang juga disebabkan lapisan asap.
Sebagai pengemudi (driver) ojek online ia terpaksa menyelesaikan kewajiban pada hari itu demi raihan rupiah yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Dia harus menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer dengan mengantarkan penumpang seorang pria dari arah Bukit ke Lemabang.
Baca Juga:Breaking News, Agus Fatoni Dilantik Sebagai PJ Gubernur Sumsel
Dalam perjalanan tersebut, keduanya terus mengutuk udara bercampur asap yang membuat sulit bernapas, dan mata kian perih.
Beberapa kali, Alex harus mengusap matanya, karena perih yang tidak tertahankan. Ini bukan bahan polusi (polutan) pada umumnya. Partikel ini ialah polusi yang bercampur debu, abu, serta kandungan partikel seperti batu.
Benar, ini ialah hasil pembakaran yang terjadi pada lahan-lahan di wilayah di Palembang dan kabupaten tetangga.
Derasnya angin yang menuju ke arah timur (ke bagian atas provinsi Sumsel) membuat terbangan hasil pembakaran itu bercampur udara di Palembang dan daerah sekitarnya.
Sejak partikel asap (Sumsel) bercampur udara di Palembang, Alex merasakan hidupnya makin terasa sulit, terutama memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Baca Juga:Berikut Lahan-Lahan Konsesi Perusahaan di Sumsel Sumbang Hotpsot, Belum Ditindak?
Dia membenarkan, udara yang kotor asap seperti saat ini membuat orang lebih memilih di rumah. Mereka mengurangi beraktivitas sekaligus bepergian. Pilihan warga ini pun secara langsung mempengaruhi jumlah pesanan yang masuk ke akun Alex.
“Apalagi malam seperti Sabtu kemarin. Sudah udaranya asap-an, nafas sesak mata perih, penumpang sepi. Cocok sudah,” ujarnya mengimpal.
Bapak tiga anak ini menceritakan bagaimana pengeluaran di rumahnya pun harus bertambah karena asap. Dia mengungkapkan ketiga anaknya sudah terserang penyakit infeksi saluran atas (ISPA).
Anaknya yang paling kecil masih bayi di bawah usia lima tahun (balita) setidaknya sudah dua kali ke klinik dekat rumahnya. Sedangkan anak kedua dan pertama, juga terserang batuk dan pilek, namun hanya dibelikan obat sirop di apotik, tanpa berobat ke tenaga medis.
“Ada lebih dari empat kali beli obat, karena pilek, batuk. Kita saja orang tua sesak, apalagi anak-anak yang masih kecil (rentan),” ucapnya.
Meski menggunakan jaminan kesehatan Pemerintah yang disubsidi, warga Lorong Jaya Sukamto memastikan membutuhkan pengeluaran tambahan bagi anak-anaknya guna menjaga kondisi kesehatan tubuh mereka tetap sehat.
“Karena saran dokter juga disuruh beli susu dan vitamin, agar kuat di situasi asap ini. Tambahan susu dan vitamin, tidak ditanggung Pemerintah, jika berobat saja gratis, selebihnya butuh biaya lagi,” akunya.
Alex pun memastikan lebih harus mengencangkan ikat pinggangnya berhemat di keadaan pelik seperti saat ini. “Tentu menyulitkan, bukan soal kesehatan saja, pastinya kebutuhan ekonomi,” sambung Alex menceritakan keluh kesahnya.
Warga asli Palembang ini pun berharap situasi karena asap seperti ini dapat segera berakhir.
Terjang Asap Demi Keluarga
Cerita yang sama disampaikan Fikri nan juga driver ojek di kawasan yang sama dengan Alex. Fikri yang mengaku tetap keluar rumah meski asap menebal di pagi hari, meski merasa was-was.
Sebagai yang baru berumah tangganya, ia dan istri membutuhkan banyak pengeluaran.
Fikri yang baru satu tahun memilih profesi driver ojek ini menceritakan bagaimana ia tetap keluar rumah pada pukul 07.00 pagi, meski udara di jam-jam tersebut bercampur asap tebal.
“Sudah gak mikir asap lagi mbak, anak dan istri butuh makan,” akunya lirih.
Meski ia mengakui, berada di udara penuh asap membuat parunya sangat sesak. Selain itu, jika kondisi tubuhnya sedang tidak fit, makin terasa pusing, demam dan meriang.
Fikri merasa lebih beruntung karena hanya menanggung dua orang di rumah ketimbang Alex.
Diakui Fikri, situasi udara buruk seperti saat ini lebih banyak berimbas pada kaum ekonomi rakyat kecil.
“Karena bagi seorang driver, jika tidak bekerja, maka tidak punya penghasilan. Jika tidak punya penghasilan, bagaimana mau makan, membeli obat, susu atau lainnya. Itu kebutuhan yang harus dipenuhi, belum misalnya kita butuh juga tambahan kipas angin menghalau udara tidak masuk ke rumah demi anak-anak,” ujarnya blak-blakan.
Potret suram pun diceritakan pedagang sayur di pasar KM 5 Palembang, Asmina yang juga terpaksa menerjang asap saat harus berjualan di subuh hari.
Pasar KM 5 Palembang merupakan salah satu pasar pagi di kota Metropolitan ini. Aktivitasnya dimulai pada pukul 02.00 wib dini hari. Pada umumnya, aktivitas pasar pagi diperuntukkan bagi pedagang yang akan menjual sayur dalam partai besar.
“(terjang asap) demi anak saja sekarang, asap, gelap, dingin, sudah tidak dihiraukan. Anak butuh makan, sekolah, itu tidak bisa ditunda,” ujar Asmina, ibu tiga anak ini.
Asmina pun mengaku sudah dua kali ke klinik hanya untuk berobat karena pilek, batuk dan meriang. Dengan kebutuhan sekolah anak yang terus meningkat, asap pun menambah pengeluaran keluarganya.
Asap Ancam Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsri, Dwi Septiati menjelaskan kualitas udara yang baik sangat diperlukan bagi manusia saat bernapas.
Lalu udara yang bagaimana dikatakan sehat agar bisa bernapas dengan baik?
Dijelaskan Dwi, udara yang diciptakan di bumi agar manusia bisa bernapas dengan baik, yakni yang berkomposisi 78 persen merupakan hidrogen, 20 persen merupakan oksigen dan sisanya adalah campuran gas lainnya, bisa jadi CO2.
Saat Palembang diselimuti asap, maka kandungan CO2 sudah melebihi batas yang sehat tersebut, sehingga dikategorikan sebagai udara yang berpolutan atau berbahaya bagi pernapasan manusia.
“Dengan komposisi CO2 lebih banyak yang kemudian juga bercampur debu, partikel abu, dan lainnya, padahal batas maksimal partikel campurannya itu hanya 150 mikrogram meter per kubik,” ujarnya menjelaskan.
Berdasarkan PP nomor 41 tahun 1998 yang kemudian diubah pada Permenkes 2 tahun 2023, jika melampaui maka kualitas udara tersebut sudah tergolong buruk.
“Jika kandungan polutan ini terhirup atau masuk ke saluran hidung, maka akan mengganggu fungsi pernapasan seperti faring, laring, atau batang tenggorokan. Gejalanya sepert pilek, bersin, sampai batuk-batuk,” ujar Dwi.
Untuk partikel polutan dengan ukuran lebih kecil seperti halnya 2,5-1 mikron masuk saluran pernapasan bagian bawah. Jika partikelnya lebih kecil kurang dari 1 mikron terus menerus masuk akan membentuk polutan yang masuk ke organ paru-paru.
Di organ paru-paru yang merupakan organ tempat bertukarnya oksigen dan CO2 yang kemudian juga akan mengalir dalam darah. Polutan ini menyebabkan senyawa met hemoglobin di darah.
“Penyakitnya mulai akan muncul, tergantung partikel ini akan berhenti di terminal / organ mana di dalam tubuh. Jika di otak, itu penyebab kenapa orang sering merasakan sakit kepala, karena terjadi radang pada organ otaknya. Jadi titik sakitnya, di mana polutan tertinggal setelah dibawa oleh darah,” kata Dwi menerangkan.
Bahayanya jika polutan asap tersebut dihirup oleh ibu hamil secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Dengan aliran darah yang masuk plasenta janin, juga akan membawa polutan yang mengalir bersama darah. Polutan ini akan tertinggal di janin. Kondisi ini akan membuat janin tumbuh kurang ideal.
Kondisi tidak ideal janin ini berpotensi akan terbawa sejak ia lahir sampai mengalami pertumbuhan.
“Itu kenapa dalam penelitian S3 saya, juga menguji kerusakan organ pada janin akibat kandungan polutan berbahaya. Jika ini terakumulasi, tumbuh kembang bayi tidak maksimal, yang nantinya akan berpengaruh pada kecerdasan sekaligus indeks pembangunan manusia di suatu daerah,” ujarnya.
WHO sendiri menyatakan 60 penyakit yang disebabkan polusi, menyerang saluran pernapasan, menimbulkan penyakit paru dan selebihnya penyakit jantung dan pembuluh darah.
Udara Palembang Memburuk
Asap yang menyelimuti kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), kian memburuk. Pada dua pekan terakhir, angka ISPU sudah melebihi 300 yakni dalam katagori berbahaya.
Angka ISPU yang merupakan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU digunakan menggambarkan mutu udara ambien di suatu lokasi tertentu yang didasarkan pada dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menyediakan keseragaman informasi ISPU tersebut. Pada tahun 2020, KLHK mengeluarkan peraturan nomor 14 tahun 2020 mengenai ISPU.
ISPU memiliki 7 parameter yakni unsur PM10, PM 2,5, NO2, CO, O3, dan HC. Terdapat 2 parameter yakni HC dan PM 2,5 terhadap kesehatan manusia.
Hasil perhitungan ISPU parameter PM2,5 yang disampaikan kepada publik dengan standar kesehatan pernapasan manusia. KLHK membagi standar ISPU yang baik sampai berbahaya.
KLHK menyatakan jika udara baik jika ISPU berada di angka 1-50, yakni baik bagi pernapasan manusia, dengan simbol warna hijau.
Saat ISPU sudah melebihi 300, maka dinyatakan udara yang berbahaya yang dilambangkan dengan warna hitam. Peringatan warna hitam ini berarti berbahaya bagi pernapasan sehingga membutuhkan penanganan yang serius.
Kawasan Gambut yang Membara
Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan Provinsi dengan luasan atau kawasan gambut yang tergolong besar. Luasan gambut Sumsel mencapai hampir 1,3 juta hektar (Ha) yang tersebar di 6 wilayah kota dan kabupaten di Sumsel.
Permasalahannya ialah lahan-lahan gambut yang seharusnya dijaga karena merupakan kawasan nan kaya karbon sekaligus keragaman hayati, cenderung terbebani izin konsesi perusahaan baik komoditas sawit, tebu maupun hutan kayu (HTI)
Kawasan gambut ini pun beragam kedalaman, semakin dalam kawasan tersebut maka kandungan senyawa karbonnya makin besar. Komposisi karbon yang besar menyebabkan kebakaran di kawasan tersebut sulit dipadamkan, sekaligus menghasilkan asap nan pekat.
Semakin dalam kawasan gambut, akan semakin besar kandungan karbon yang menjadi bahan/sumber api. Meski di kawasan gambut tipis juga menjadi kawasan yang mudah terbakar.
Idealnya kawasan gambut yang terbeban izin konsesi pun dijaga. Perusahaan-perusahaan yang sudah ‘kepalang’ mendapatkan izin di kawasan kubah-kubah gambut harus melakukan upaya perlindungan.
Pemerintah provinsi pun sebenarnya sudah membuat peraturan daerah (Perda) perlindungan gambut. Sehingga jika terjadi pelanggaran terhadap perlindungan gambut seharusnya bisa ditindak secara hukum.
Saat musim kemarau ini, kebakaran tidak hanya di lahan gambut. Di lahan non gambut, juga memiliki bahan penyulut api yang akan mudah terbakar. Adapun jenis penyulut api, termasuk suhu udara panas dan kering tersebut atau dikenal efek El Nino.
HaKi setidaknya mencatat bulan September menjadi peristiwa karhutla terparah di Sumsel. Pada bulan setidaknya terdapat lebih dari 2.000 titik api (hotspot).
Pada bulan September terdapat 2471 hotspot yang paling banyak ditemukan di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 1834 hotspot. Selain OKI, kabupaten Musi Banyuasin (Muba) yang menyumbang 129 hotspot, kabupaten Banyuasin sebanyak 113 hotspot serta kabupaten Ogan Ilir sebanyak 110 hotspot,
Selain OKI, juga ada 13 kota dan kabupaten di Sumsel sumbang hotspot.
Sebanyak 130 hotspots tersebut berasal lahan yang terbeban konsesi hutan kayu (HTI) yang tersebar di OKI, Muba dan Ogan Ilir (OI). Berikut sederet perusahaan yang paling besar sumbang hotspot pada bulan tersebut di antaranya BMH, BAP, SBB, dan PML.
Sedangkan hotspot berasal dari lahan terbebani perkebunan juga berasal dari kabupaten OKI dan Muba, yakni WAJ, KS dan LI.
Direktur Haki, Deddy Permana mengungkapkan kebakaran lahan di Sumsel terus berulang setiap kemarau. Dengan karakter provinsi seperti Sumsel ini, seharusnya sudah bisa memetik pelajaran dari pengalaman kemarau sebelumnya.
Pembukaan kawasan yang masif sejak tahun 1980-1900 an, membuat lapisan gambut makin terbuka dan makin rentan terbakar apalagi menghadapi musim kering yang seharusnya sudah diantisipasi lebih jauh hari.
Hasil pemantauan satelit hotspot tersebut, lahan yang terbakar pernah terbakar di musim-musim kemarau tahun lalu.
“Kebakarannya seperti berulang di musim kemarau, karena itu butuh kolaborasi dan antisipasi antar pihak, terutama kawasan yang rentan terbakar. Ini butuh komitmen antar banyak pihak, menjaga kawasan yang rentan terbakar tersebut,” ujarnya beberapa waktu yang lalu.