Diterangkan Nindi, PKBI merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan keluarga berencana di Indonesia, salah satu fungsi dari PKBI juga turut memberikan pendampingan hukum dan edukasi kepada sejumlah kelompok rentan seperti halnya transpuan.
"Terkadang yang menjadi masalah kenapa transpuan ini sering termarjinalkan ya karena parpol ini sendiri memiliki arah politik yang berbeda dari mereka, yang sama akan ditarik dan yang menarik akan dirangkul, sehingga kan objeknya juga akan berubah-ubah setiap waktu, mereka punya kepentingan masing-masing," katanya.
Maka tidak heran apabila kedekatan yang berlangsung antara parpol dan transpuan diibaratkan seperti fatamorgana yang disampaikannya terlihat begitu nyata namun sebenarnya yang terjadi justru hanyalah silap mata belaka.
Persoalan antara transpuan dan parpol bukanlah menjadi isu baru di Sumsel, meskipun tingkat diskriminasi secara non-verbal terhadap transpuan merosot jauh dibandingkan pada awal tahun 2000an, akan tetapi Nindi mengaku masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa menjadikan hak-hak dasar transpuan sama dengan masyarakat lainnya.
Baca Juga:Gelar Zikir Akbar di Sumsel, Airlangga Hartanto: Semua Partai Ingin Berkomunikasi Dengan Golkar
Terlibat langsung dalam pelaksanaan Kampanye dinilai Nindi tidak menjadi inti permasalahan yang dipusingkan kelompok waria di Sumsel khususnya Kota Palembang, fenomena itu justru terlihat sangat lumrah, bahkan transpuan di Palembang menjadikannya sebagai ladang pendapatan dan penunjang kebutuhan ekonomi yang rata-rata waria di Palembang didominasi warga pendatang dari kota-kota lain.
"Nah, yang dipermasalahkan mereka ini kan lagi-lagi soal bantuan, kadang bukan waria saja, kita yang dianggap mereka (parpol) normal misalnya juga kan ada yang luput dari janji-janji mereka. Artinya, perjuangan transpuan ini sama kok dengan kita, gak ada yang beda. Bantu kebutuhan ekonominya," ungkap dia.
Berdasarkan laporan PKBI selama dua periode pemilu yang terhitung sejak 2014 hingga 2019, hampir setengah dari populasi transpuan di Sumsel memiliki keterlibatan dalam kampanye politik. Sebagian besar proses kampanye tersebut terjadi karena kesepakatan yang dilakukan antara parpol dan transpuan.
Parpol yang melibatkan transpuan sebagai objek kampanye sekaligus partisipan akan memberikan penawaran sesuai keinginan dan kebutuhan dari kelompok tersebut, seperti yang sering dilakukan Partai Golkar sebagai bentuk penetrasi politik yang berbeda dari kebanyakan parpol lainnya.
“Kalau salah satu partai ini malah dia punya sayap partai yang isinya itu transpuan semua, jadi waktu periode sebelumnya latar belakang gubernurnya dari partai tersebut, karena kesepakatan yang dibentuk sebelumnya maka semua kebutuhan transpuan yang tergabung dalam gerakan sayap partai itu akan terpenuhi, seperti bantuan alat salon,” ujarnya.
Baca Juga:Pemilu Dipastikan Derek Inflasi Sumsel, Perlu Langkah Antisipasi
Kolaborasi yang selama ini dilakukan partai politik terhadap kelompok transpuan di Sumsel dalam pemilu dikatakannya tidak sama sekali melanggar aturan, sebab secara praktik saat ini masyarakat sangat banyak yang terlibat kampanye di tahun politik diantaranya lagi-lagi ada peran transpuan.
“Kalau di tahun 2014 lalu teman-teman pernah dimobilisasi, kalau ada acara tertentu mereka dilibatkan juga untuk hiburan. Artinya setiap menjelang Pilkada mereka juga dibutuhkan dan sangat juga dimanfaatkan untuk melakukan kolaborasi itu,” katanya.
Pendekatan seperti itu membuat transpuan terlihat percaya diri, dan dibuat seolah-olah kebutuhan transpuan akan terjamin dalam jangka waktu yang panjang, sementara transpuan yang terlibat dikatakan Nindi masih banyak yang tidak memahami, kalau kebijakan politik itu bersifat dinamis. Semua akan berubah tergantung siapa yang memegang tonggak kekuasaan.
Seperti permasalahan yang masuk dalam laporan transpuan di Sumsel kepada PKBI, kelompok ini seperti tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan hak untuk bisa memperoleh perhatian pemerintah khususnya dari parpol dan caleg. Sebab, selama satu periode terakhir, nasib transpuan yang tergabung dalam komunitas sayap Partai Golkar yang telah disebutkan Nindi sebelumnya, nampak terengah-engah untuk bisa melakukan elaborasi kepada pemerintah dengan latar belakang partai berbeda.
Salah satu perjuangan transpuan, lanjutnya, bagaimana agar bisa mendapatkan bantuan, mereka juga ingin ada usaha mandiri dengan bantuan atau modal dari pemerintah khususnya yang pernah mengajak mereka dalam berkegiatan kampanye. Hal ini tentu mendorong PKBI untuk mendorong kesejahteraan mereka.
“Jadi selain bantuan cash transfer, mereka (transpuan) ini sangat butuh pelatihan peningkatan kapasitas sesuai dengan bidang kerja yang mereka lakukan, missal yang bergerak di bidang fashion dan kecantikan, mereka butuh mengikuti kelas-kelas intensif, seharusnya daripada menjanjikan bantuan alat, mereka akan lebih butuh ini. Karena pesaing mereka sekarang kan banyak yang mengikuti pendidikan kecantikan internasional, dan ini membuat mereka jadi tidak seimbang dalam bersaing,” tutupnya.