Waspada Kibul Parpol Terhadap Transpuan di Tahun Politik

Keberadaan transpuan di musim politik termasuk di Sumatera Selatan masih terpinggirkan sekaligus dianggap hanya penghibur.

Tasmalinda
Minggu, 19 Februari 2023 | 18:07 WIB
Waspada Kibul Parpol Terhadap Transpuan di Tahun Politik
Dek Wan, transpuan di Palembang [dok: Mita R]

SuaraSumsel.id - “Kamu pasti akan dapat bantuan peralatan salon kalau kamu mau mengajak seluruh teman-teman sesama bencong di dusun sini untuk memilih pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1,”

Begitulah kalimat persuasif yang ditirukan Irawan atau lebih akrab disapa Dek Wan dari tetangganya yang juga dikenal sebagai tim sukses salah satu calon bupati di Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumsel.

Waktu itu dirinya diminta untuk berpartisipasi dalam Pilkada 2020 sebagai pelecut bagi kelompok waria di desanya agar mau mendukung dan memilih pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1 kala itu. Dengan iming-iming kelompok ini akan menerima bantuan usaha berupa peralatan salon bila pasangan calon yang dimaksud memenangkan kompetisi perebutan kursi kepala daerah di sana.

Sekitar pukul 18.00 WIB, tepat satu minggu sebelum pilkada bupati di Kabupaten Ogan Ilir diselenggarakan, Dek Wan dikejutkan dengan kehadiran TL yang mengaku hendak memangkas rambut dengan menggunakan jasa Dek Wan, transpuan yang sejak lima tahun terakhir mendirikan usaha salon secara mandiri di Desa Tanjung Pinang II Kecamatan Tanjung Batu, Ogan Ilir.

Baca Juga:Gelar Zikir Akbar di Sumsel, Airlangga Hartanto: Semua Partai Ingin Berkomunikasi Dengan Golkar

Menggunakan kemeja rapi dipadukan dengan setelan celana chinos yang tidak sepenuhnya menutupi kaki, usia TL, 23 tahun waktu itu meminta agar rambutnya sedikit dirapikan oleh Dek Wan.

Meskipun Dek Wan merasa tidak ada yang perlu diubah dari penampilan surai pria dengan tinggi badan berkisar 170 cm tersebut, tetapi dia tetap saja diminta membentangkan kain kep kip ke tubuh pelanggan keempatnya di hari itu.

“Mau dipotong bagaimana rambut ini, perasaan aku ini sudah rapi,” pertanyaan demikian masih jelas diingat Dek Wan hingga sekarang, meskipun peristiwa tersebut sudah dilaluinya dua tahun lalu.

Tidak sedikitpun menjawab pertanyaan yang dilemparkan Dek Wan kepadanya, TL justru dengan volume suara yang cukup rendah tiba-tiba meminta Dek Wan untuk duduk di sampingnya dengan alibi mau mengajaknya melakukan pekerjaan yang dapat menunjang kesejahteraan bagi usaha salon Dek Wan.

Kecurigaan Dek Wan terhadap TL yang tidak betul-betul ingin mengubah penampilan rambutnya seketika terjawab dengan ajakan untuk menjadi partisipan pemenangan calon bupati dan wakil bupati yang telah disinggung berkali-kali oleh TL kepada Dek Wan pada lima hari sebelumnya.

Baca Juga:Pemilu Dipastikan Derek Inflasi Sumsel, Perlu Langkah Antisipasi

Momen seperti itu bukan kali pertama bagi transpuan kelahiran tahun 1979 ini. Dia mengaku sering mendapatkan tawaran untuk mencoblos sejumlah nama dari calon legislatif (caleg), partai politik (parpol), calon bupati, calon gubernur, bahkan hingga calon presiden. Entah apa yang mereka pandang dari Dek Wan yang sampai saat ini ditegaskannya tidak memiliki peran begitu besar di desa yang dia tinggali, hanya saja permintaan serupa terus mengalir kepadanya.

“Aku itu gak tahu ya kenapa mereka ini terus-terusan datang ke sini, kayaknya mereka sudah tidak punya malu untuk mengajak saya jadi tim pemenangan berkali-kali. Sebelumnya saya tertipu sama mulut manis mereka ini,” kata Dek Wan yang ditemui di kediamannya, (19/01/2023).

Begitulah keluh-kesah Dek Wan yang mengaku geram dengan sikap tim sukses dan calon pemimpin daerah yang kerap membual dengan janji-janji palsu yang mereka jual kepada kelompok waria di desanya. Dia pun mengaku, di desa itu saja ada sedikitnya tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ogan Ilir yang juga pernah berjanji akan memberikan jaminan kesejahteraan ekonomi terhadap waria di sana asalkan mereka mau menghimpun suara untuk kemenangan mereka.

Namun janji tinggallah janji, hingga kini Dek Wan hanya bisa menelan semuanya sebagai pelajaran penting agar tidak mudah terpancing dengan rayuan para politikus yang dia sebut hanya memanfaatkan hak suaranya saja.

“Kami ini apalah, kalau sudah habis kemauan mereka, mereka pasti lupa lah sama janjinya,” ujar dia sembari melemparkan ekspresi kesal mengarah ke gawai yang ada di genggaman tangannya.

Padahal sebelum itu ada banyak sekali program yang akan diusung mereka dengan mengatasnamakan kesetaraan hak bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir termasuk hak transpuan. Hanya saja, masih ada kesenjangan hak laki-laki, perempuan, dan transpuan.

“Kalau pun mereka jadi, paling janji bantuan sebelumnya akan diutamakan untuk para perajin yang ada di sini seperti penenun songket, pandai besi, pandai emas, pandai tikar. Alasannya karena mereka masyarakat binaan yang bisa menunjang pendapatan daerah, apalagi bagi penenun songket. Kalau hanya usaha salon seperti saya, mungkin mereka akan mikir timbal balik apa yang bisa kami kasih ke daerah,” sambung dia.

Janji Tak Terpenuhi, Transpuan Tarik Diri dari Politik

Menjadi komoditas politik menjelang pemilu saja, membuat Dek Wan akhirnya memutuskan menarik diri dari aktivitas politik apapun, termasuk menggunakan hak suaranya dalam momentum pemilu maupun pilkada. Dia mulai apatis dengan pesta rakyat yang umumnya dilaksanakan setiap lima tahun sekali itu, mengingat perlakuan politisi beserta tim sukses yang hanya membuat dirinya trauma.

Penolakan demi penolakan terlibat dalam aksi kampanye kecil-kecilan yang biasa dilakukannya dahulu, mulai dia sampaikan kepada siapapun yang berdatangan ke rumahnya, namun ternyata keputusan itu justru membuat dia harus menerima perlakukan diskriminatif.

“Waktu itu saya pernah nolak, tapi mereka malah menyebarkan isu yang tajam soal waria, misalnya membuat narasi bahwa waria ini aib dan akan menjadi dosa besar bagi siapa saja yang membiarkan waria tinggal di suatu tempat. Tentu karena mereka punya jabatan, itu semua telah menjadi stigma yang terus tumbuh disini,” cerita dia kepada Suara.com sembari sedikit meluruskan kakinya.

Anggapan negatif yang lahir dari mereka pun membuat Dek Wan sempat merasa terancam apabila harus tinggal lama di desa yang didominasi oleh masyarakat dengan pekerjaan sebagai pandai besi dan penenun kain songket khas Sumsel ini.

“Saya kan tetap rutin melakukan ibadah salat jumat di masjid sini. Nah tidak lama dari itu, saya sering sekali dicibir kalau banci itu salat nya pakai mukena, bukan sarung sama peci. Waktu itu pas khotbah ustaz nya juga membawakan materi soal waria. Katanya kehadiran waria itu hanya akan merusak generasi anak muda di sini, gak akan ada kesudahan pokoknya kata dia,” terangnya dengan sedikit mengingat-ingat kembali kejadian itu.

Peristiwa-peristiwa inilah yang membuat Dek Wan begitu alergi saat mendengar kata politik, meskipun dia sadar perbuatannya itu akan menghambat efektivitas pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ia tetap saja kekeh untuk tidak lagi menuangkan pikiran dan tenaganya dalam rangkaian politik seperti apapun.

“Kalau yang terbaru di tahun 2020, sehari sebelum pemilihan TL itu datang lagi untuk memberikan uang kepada saya, kalau tidak salah itu Rp 300 ribu isinya, tapi saya diminta untuk coblos nama calon yang dia sebutkan. Waktu itu langsung saja saya bilang tidak mau, dengan alasan saya tidak datang ke TPS,” bebernya.

Ajakan yang diberikan kala itu bak buah simalakama baginya, sebab diwaktu yang sama dia betul-betul membutuhkan tambahan modal untuk meningkatkan kebutuhan peralatan salon, akan tetapi di sisi lain apabila pemberian itu diterima, tentu praktik politik uang akan semakin panjang umurnya dan akan memperbesar peluang bagi para politikus bersama tim suksesnya untuk terus menjadikan dia sebagai objek kampanye.

Beberapa kali pun dia juga didesak oleh pelanggan untuk bisa menghadirkan layanan baru pada salonnya. Kalau hanya mengandalkan rias dan potong rambut saja, maka penghasilan yang dia dapatkan tentu tidak seberapa.

“Saya menolak karena saya yakin ada jalan lain untuk saya bisa mengumpulkan modal,” ungkapnya.

Saat disinggung mengenai tuntutan kepada para caleg dan tim sukses yang pernah melibatkannya  dalam kegiatan politik, dia justru mengaku sampai saat ini belum pernah bertemu kembali dengan caleg-caleg tersebut. 

“Selepas urusan mereka kemarin, saya tidak mendapat kesempatan untuk menuntut banyak dari caleg, kalaupun ada waktunya, kami tahu permintaan kami tidak akan mendapat solusi apapun. Mereka pastinya hanya akan mengatakan beragam alasan untuk tidak memfasilitasi itu atau bahkan kami hanya akan mendapat hinaan saja sebagai banci dusun,” pungkas dia.

Foto Dek Wan, transpuan di Palembang [Dok. Mita R]
Foto Dek Wan, transpuan di Palembang [Dok. Mita R]


Jadi Partisipan Langganan Kampanye, Transpuan Hanya ‘Tukang Hibur’

Berlokasi di salah satu desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), JW (43) terlihat begitu sibuk merapikan alat-alat cukur yang sama sekali belum dia gunakan pada hari itu, Kamis (19/1/2023). Bukan tanpa alasan, sebetulnya aktivitas tersebut dia lakukan sebagai bentuk kegelisahan karena belum ada satupun orang yang berniat mengunjungi salonnya untuk sekedar memangkas rambut.

JW bernasib serupa dengan Dek Wan. JW terpaksa mendirikan salon dengan luas bangunan 3 x 2 meter dengan modal tabungan pribadi. Selama 10 tahun terakhir dirinya sibuk dengan kegiatan kampanye di sana-sini, tapi kegiatan itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Dia kesulitan mengakses modal usaha dari para pemangku kepentingan politik di daerahnya.

Dinilai sebagai salah satu anggota Terong Biru (nama komunitas transpuan di desanya) yang memiliki daya pikat yang besar bagi masyarakat karena sikap lucu dan keunikannya, JW dapat dipastikan selalu hadir dalam barisan waria di Ogan Ilir yang terlibat kampanye calon kepala daerah disana. Tidak untuk diberikan tugas yang berat ataupun menyampaikan pidato-pidato panjang mengenai visi misi parpol ataupun caleg, JW mengaku hanya diminta untuk mempromosikan dan mengajak masyarakat untuk mau memilih pasangan calon atau partai yang menggelar acara tersebut.

“Kami dulunya sering mengikuti kampanye dari partai Golkar, kami diajak. Tugasnya untuk menghibur saja, kadang kalau tidak ada artisnya kami disuruh nyanyi . Kan dulu-dulunya mereka bersikap seolah-olah senang dengan kami, pada saat itulah kami diminta untuk promosi lewat lagu atau berpantun misalnya,” katanya kepada Suarasumsel.id

Diceritakan ia, peran waria di Kabupaten Ogan Ilir memang sangat dibutuhkan pada saat memasuki tahun politik guna kebutuhan kampanye, hal itu sudah mulai dilakukan beberapa partai sejak awal tahun 2000-an. Sehingga banyak sekali waria yang akhirnya membentuk komunitas transpuan di masing-masing desa, seperti yang berlaku pada komunitas Terong Biru yang dia gagas bersama beberapa rekan lainya di desa tersebut.

Komunitas Terong Biru awalnya hadir guna mengakomodir seluruh informasi yang berkaitan dengan kampanye parpol sebagai harapan waria yang tergabung di dalamnya dapat berbagi pekerjaan pada saat dibutuhkan oleh parpol-parpol yang akan melakukan kampanye pemilihan kepala daerah dan lain sebagainya.

Dorongan untuk menerima hak dasar bagi kelompok waria terus dilakukan JW dengan cara ini, baginya kesenangan yang dialirkan melalui kampanye menjadi asa agar para pemimpin yang terpilih nantinya mampu menciptakan kebijakan yang ramah akan kebutuhan waria, minimal keamanan dan kenyamanan hidup sebagai warga negara.

Bahkan sepanjang tahun 2014 lalu, masih dengan partai yang sama JW sempat diberangkatkan menuju ke kabupaten lain yang ada di Sumsel untuk rangkaian kegiatan kampanye, JW mengaku sangat senang, sebab dia selalu diikutkan dalam perjalanan politik pada waktu itu.

“Yang berangkat dari kami sekitar 5 sampai 7 orang untuk menghibur target kampanye mereka. Jadi saya ingat, waktu itu ada artis ibu kota juga, tapi saya lupa namanya. Kami dikasih kerudung dan baju sama orang partai ini dan jam tangan,” ucapnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, tepat disaat calon-calon itu telah berhasil meraih keinginannya sebagai kepala daerah atau jabatan legislatif lainnya, JW justru dilupakan begitu saja. Istilah habis manis sepah dibuang selalu dilekatkan JW kepada tokoh-tokoh yang dianggap mampu merubah stigma masyarakat tentang transpuan yang hidup di desa melalui kebijakan-kebijakannya kedepan.

Dari situ dia mengatakan betul-betul sadar bahwa waria hanya dijadikan sebagai objek hiburan semata pada saat kampanye berlangsung, terlepas dari apapun kepentingan yang mereka bawa saat masuk ke dalam ranah politik, JW kembali menegaskan, seharusnya mereka dapat melihat kebutuhan masyarakat dengan lebih objektif.

Kekecewaan lainnya yang masih dirasakan JW pasca kampanye hingga sekarang yaitu, JW tidak pernah bisa menerima bantuan apapun karena dianggap memiliki kecenderungan suara pada salah satu parpol saja oleh pejabat desa di lingkungannya, anggapan itu pun akhirnya membuat dia harus kehilangan beberapa kali informasi terkait bantuan pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak pernah diketahuinya dari perangkat desa yang memiliki pandangan politik berbeda dari partai yang dikampanyekan JW.

“Dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah menerima bantuan apapun dari partai yang mengajak saya kampanye, bahkan bantuan dari kades saja saya tidak pernah dikasih tahu, katanya karena saya pasti sudah dapat bantuan dari partai. Jadi sekarang saya harus pontang-panting cari modal untuk salon, pinjam di bank sana sini,” ungkapnya dengan ekspresi kekecewaan yang terlihat sangat jelas.

Dirinya juga sering bertanya kepada tetangga tentang langkah-langkah penerima bantuan, namun pertanyaan-pertanyaanya justru kembali dilemparkan kepada kepala desa, tentu itu membuatnya semakin kelimpungan, berjuang demi mendapatkan kesejahteraan disana-sini.

“Ada juga kemarin ucapan mereka yang bilang, kalau bantuan ini bukan untuk yg seperti saya ini (transpuan). Tidak tahu mereka bercanda atau tidak, tapi itu membuat saya merasa terpinggirkan sebagai warga sini. Suka sedih lihat mereka bisa dapat bantuan, sedangkan saya tidak,” terusnya.

JW mengaku merupakan tulang punggung keluarga yang saat itu hidup bersama ibunya yang telah renta dan juga adiknya yang diketahui sebagai difabel.

Pendapatan yang diperoleh JW menjadi satu-satunya penunjang kebutuhan sandang dan pangan di keluarga kecilnya itu.

Dianggap Biang Bencana, Transpuan Terusir dari Tanah Kelahiran

Memilih untuk tampil secara terang-terangan sebagai transpuan sudah dilakukan JW sejak dirinya berusia 20 tahun, diakui oleh nya, perilaku femi yang ada pada dia begitu terasa saat JW masih kecil. Ketika teman laki-laki sebaya lebih memilih bermain sepak bola, justru JW akan lebih nyaman bila bermain dengan teman perempuan, dia terbiasa bermain boneka atau permainan lainnya yang identik dengan perempuan.

Saat kecil dia sering menerima tindakan bullying dari teman-temannya bahkan orang tua di masa itu, mereka mengatakan JW bukanlah manusia normal, beberapa diantaranya menyebut JW terlahir berbeda karena hukuman Tuhan kepada keluarganya.

“Tidak tahu ya hukuman apa maksud mereka, apa mereka begitu suci sampai hati menghina keluarga saya karena saya berperilaku berbeda dari mereka, hinaan mereka itu sampai sekarang masih melekat ke saya,” ucapnya sedih.

Tidak hanya berhenti sampai disitu, JW kembali diterpa masalah  saat dewasa. Stigma masyarakat di desa yang menganggap transpuan sebagai biang bencana dan sumber penyakit sosial membuatnya terancam diusir dari tanah kelahiran. 

Tidak tahu dari siapa ide pengusiran kepada transpuan di sana pertama kali disampaikan, akan tetapi JW melihat keterlibatan tokoh agama, tokoh masyarakat dan perangkat desa begitu kuat untuk menyingkirkan dia dan teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Terong Biru dari desa itu.

Dia kembali mempertanyakan andil parpol dan caleg-caleg yang pernah dikenalnya dalam rangkaian kampanye yang saat ini sudah duduk di kursi pemerintahan, hingga saat ini belum ada kebijakan yang membuat transpuan berada dalam lingkaran keamanan dan kenyamanan secara inklusif. Semua dia katakan masih berpetak-petak dan itu lahir dari hasutan Pemerintah yang membangun konstruksi buruk bagi transpuan.

“Sering dapat ujaran kebencian dari masyarakat dan tokoh agama, rombongan kami dulu pernah mau diusir dari desa ini karena dianggap sebagai biang bencana sama ibu-ibu pengajian, karang taruna, dan perangkat desa kami dicaci maki. Mau diberantas, sampai kami takut mau berkunjung ke acara pesta, minder tidak berani jadi point center. Termasuk kades di zaman itu ikut mendukung untuk memberantas kami. Kami dinilai melanggar hukum agama dan menodai agama, kami dikucilkan. Pada saat itu, kemana caleg-caleg yang minta suara kami? Gak ada kan,” ujarnya dengan nada yang lebih tinggi.

Tidak ada harapan penting yang ingin disampaikan JW kali ini, sebab dia pun sudah merasa malas untuk berbicara lagi soal kepentingan politik praktis seperti yang telah dialaminya berkali-kali tapi dia menyampaikan pesan agar caleg-caleg dan parpol ini bisa sadar dan melek dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada transpuan.

“Jangan cuma memanfaatkan ketidakberdayaan kami untuk kampanye, habis manis sepah dibuang. Jangan saat kampanye saja melibatkan kami, karena kan waria ini dilihat hanya senangnya saja tapi mereka tidak melihat bentuk diskriminasi yang kami alami. Jangan pas kampanyenya saja dibutuhkan, kalau sudah jadi kami juga mau  diperhatikan seperti masyarakat pada umumnya,” tandas dia.

Arah Politik Jadi Penentu Kesejahteraan Transpuan 

Memiliki arah kepentingan politik yang selaras dengan visi misi partai politik (parpol)  tertentu masih menjadi penentu kesejahteraan transpuan yang ada di Sumsel, permasalahan demikian yang membuat nasib sejumlah transpuan masih terombang-ambing sampai sekarang.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumsel Nindi Novita, saat ditemui di kantornya yang beralamat di Jalan Punti Kayu I, Palembang, Senin (9/1/2023)

Diterangkan Nindi, PKBI merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan keluarga berencana di Indonesia, salah satu fungsi dari PKBI juga turut memberikan pendampingan hukum dan edukasi kepada sejumlah kelompok rentan seperti halnya transpuan.

"Terkadang yang menjadi masalah kenapa transpuan ini sering termarjinalkan ya karena parpol ini sendiri memiliki arah politik yang berbeda dari mereka, yang sama akan ditarik dan yang menarik akan dirangkul, sehingga kan objeknya juga akan berubah-ubah setiap waktu, mereka punya kepentingan masing-masing," katanya.

Maka tidak heran apabila kedekatan yang berlangsung antara parpol dan transpuan diibaratkan seperti fatamorgana yang disampaikannya terlihat begitu nyata namun sebenarnya yang terjadi justru hanyalah silap mata belaka.

Persoalan antara transpuan dan parpol bukanlah menjadi isu baru di Sumsel, meskipun tingkat diskriminasi secara non-verbal terhadap transpuan merosot jauh dibandingkan pada awal tahun 2000an, akan tetapi Nindi mengaku masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa menjadikan hak-hak dasar transpuan sama dengan masyarakat lainnya.

Terlibat langsung dalam pelaksanaan Kampanye dinilai Nindi tidak menjadi inti permasalahan yang dipusingkan kelompok waria di Sumsel khususnya Kota Palembang, fenomena itu justru terlihat sangat lumrah, bahkan transpuan di Palembang menjadikannya sebagai ladang pendapatan dan penunjang kebutuhan ekonomi yang rata-rata waria di Palembang didominasi warga pendatang dari kota-kota lain.

"Nah, yang dipermasalahkan mereka ini kan lagi-lagi soal bantuan, kadang bukan waria saja, kita yang dianggap mereka (parpol) normal misalnya juga kan ada yang luput dari janji-janji mereka. Artinya, perjuangan transpuan ini sama kok dengan kita, gak ada yang beda. Bantu kebutuhan ekonominya," ungkap dia.

Berdasarkan laporan PKBI selama dua periode pemilu yang terhitung sejak 2014 hingga 2019, hampir setengah dari populasi transpuan di Sumsel memiliki keterlibatan dalam kampanye politik. Sebagian besar proses kampanye tersebut terjadi karena kesepakatan yang dilakukan antara parpol dan transpuan.

Parpol yang melibatkan transpuan sebagai objek kampanye sekaligus partisipan akan memberikan penawaran sesuai keinginan dan kebutuhan dari kelompok tersebut, seperti yang sering dilakukan Partai Golkar sebagai bentuk penetrasi politik yang berbeda dari kebanyakan parpol lainnya.

“Kalau salah satu partai  ini malah dia punya sayap partai yang isinya itu transpuan semua, jadi waktu periode sebelumnya latar belakang gubernurnya dari partai tersebut, karena kesepakatan yang dibentuk sebelumnya maka semua kebutuhan transpuan yang tergabung dalam gerakan sayap partai itu akan terpenuhi, seperti bantuan alat salon,” ujarnya.

Kolaborasi yang selama ini dilakukan partai politik terhadap kelompok transpuan di Sumsel dalam pemilu dikatakannya tidak sama sekali melanggar aturan, sebab secara praktik saat ini masyarakat sangat banyak yang terlibat kampanye di tahun politik diantaranya lagi-lagi ada peran transpuan.

“Kalau di tahun 2014 lalu teman-teman pernah dimobilisasi, kalau ada acara tertentu mereka dilibatkan juga untuk hiburan. Artinya setiap menjelang Pilkada mereka juga dibutuhkan dan sangat juga dimanfaatkan untuk melakukan kolaborasi itu,” katanya.

Pendekatan seperti itu membuat transpuan terlihat percaya diri, dan dibuat seolah-olah kebutuhan transpuan akan terjamin dalam jangka waktu yang panjang, sementara transpuan yang terlibat dikatakan Nindi masih banyak yang tidak memahami, kalau kebijakan politik itu bersifat dinamis. Semua akan berubah tergantung siapa yang memegang tonggak kekuasaan.

Seperti permasalahan yang masuk dalam laporan transpuan di Sumsel kepada PKBI, kelompok ini seperti tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan hak untuk bisa memperoleh perhatian pemerintah khususnya dari parpol dan caleg. Sebab, selama satu periode terakhir, nasib transpuan yang tergabung dalam komunitas sayap Partai Golkar yang telah disebutkan Nindi sebelumnya, nampak terengah-engah untuk bisa melakukan elaborasi kepada pemerintah dengan latar belakang partai berbeda.

Salah satu perjuangan transpuan, lanjutnya, bagaimana agar bisa mendapatkan bantuan, mereka juga ingin ada usaha mandiri dengan bantuan atau modal dari pemerintah khususnya yang pernah mengajak mereka dalam berkegiatan kampanye. Hal ini tentu mendorong PKBI untuk mendorong kesejahteraan mereka.

“Jadi selain bantuan cash transfer, mereka (transpuan) ini sangat butuh pelatihan peningkatan kapasitas sesuai dengan bidang kerja yang mereka lakukan, missal yang bergerak di bidang fashion dan kecantikan, mereka butuh mengikuti kelas-kelas intensif, seharusnya daripada menjanjikan bantuan alat, mereka akan lebih butuh ini. Karena pesaing mereka sekarang kan banyak yang mengikuti pendidikan kecantikan internasional, dan ini membuat mereka jadi tidak seimbang dalam bersaing,” tutupnya.

Ilustrasi parpol - daftar lengkap parpol lolos verifikasi calon peserta Pemilu 2024 (Antara)
Ilustrasi parpol - daftar lengkap parpol lolos verifikasi calon peserta Pemilu 2024 (Antara)


Parpol Masih Menilai Transpuan Sosok Alami Penyimpangan 

Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Empat Lawang Al Jufri mengatakan keterlibatan transpuan pada agenda kampanye Partai Golkar di Sumsel merupakan bentuk kolaborasi yang bertujuan untuk turut mendorong kesejahteraan ekonomi kelompok yang kerap termarjinalkan itu.

Dia menganggap sebagai partai yang memiliki pengalaman melibatkan kelompok minoritas, Golkar telah menjadi corong bagi transpuan dalam menyampaikan aspirasi, dia juga mengatakan sampai sejauh ini Partai Golkar tidak pernah membatasi kelompok-kelompok dari berbagai latar belakang untuk bisa tergabung dalam pelaksanaan kampanye.

“Kami juga menyadari bahwa seluruhnya bisa diterima di Partai Golkar, untuk kelompok minoritas seperti waria dalam arti kalau memang mereka bergabung dalam partai golkar untuk memberikan aspirasi kenapa tidak, tapi bukan berarti kita mendukung untuk LGBT ya. Jadi dalam arti untuk menghibur selama kampanye dan juga membantu mendorong perekonomian mereka kenapa tidak?” katanya saat dihubungi Suara.com

Meskipun tidak seluruh DPD Partai Golkar di Sumsel melakukan kampanye dengan melibatkan transpuan, namun pada beberapa wilayah agenda kampanye seperti itu bahkan telah menjadi program tahunan. 

Kelompok transpuan ini dilibatkan sebagai Master of Ceremony (MC) dengan kreasi mereka dalam rangka menghibur, beberapa diantaranya diberikan kesempatan menyampaikan aspirasi.

“Kalau secara umum tidak semua tempat, hanya kabupaten dan kota tertentu, karena mereka ini ada kelompok masing-masing. Tapi, kalau di Empat Lawang, kami memang memberikan kebebasan kepada mereka untuk ikut kampanye, meramaikan kegiatan kami dan menyampaikan keinginan untuk bantuan misalnya,” sambung dia.

Saat disinggung mengenai bantuan yang tidak berlanjut pasca kampanye, David menerangkan bahwa kebijakan bantuan yang dimaksud oleh transpuan tersebut memang bukan menjadi tanggung jawab penuh partai politik, sebab yang memiliki kebijakan dalam penyaluran bantuan secara penuh yakni Pemerintah.

Partai politik memang hanya memfasilitasi program bantuan dari divisi DPD Partai Golkar berupa modal usaha, hal ini diharapkan dapat sedikit membantu kebutuhan ekonomi bagi para transpuan khususnya yang terlibat dalam kegiatan kampanye.

“Sebenarnya terkait bantuan itu kembali lagi ke disnaker dan dinsos, karena kita sebagai partai akan mengiring kebijakan dari kepala daerah. Pengaruh dari kebijakan pemerintah yang menjabat, bukan dari partainya. Kalau kita kan memberikan bantuan kepada mereka biasanya dalam bentuk UMKM, jadi mungkin kita bisa memberikan bantuan permodalan, alat dll. Karena kelompok mereka ini tertentu, ada yang bergerak di bidang salon, menjahit dan lainnya,” terangnya.

David sangat berharap, kolaborasi terhadap kelompok waria yang dilakukan Partai Golkar sedikitnya dapat membuat kelompok ini terbantu dan selebihnya dapat meningkatkan kapasitas menuju arah yang lebih baik, seperti turut mendorong laju perekonomian daerah masing-masing dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

“Kami akan berusaha memfasilitasi kebutuhan perekonomian mereka,” lanjutnya.

Sedangkan saat ditanya mengenai perilaku diskriminasi yang kerap menimpa transpuan, David menyampaikan sebagai warga negara, kelompok tersebut juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya sesuai peraturan yang tertuang dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjunjung tinggi perlindungan, pengakuan, jaminan dan perlakuan hukum yang adil.

Diskriminasi terhadap transpuan di Sumsel saat ini diakuinya telah mengalami penurunan kasus, hal itu sebagai salah satu bentuk keberhasilan dari sejumlah organisasi dan partai politik yang kerap menarik kelompok transpuan dalam beragam agenda untuk meyakinkan masyarakat agar bisa melibatkan waria dalam aktivitas perekonomian.

Namun, meski begitu dirinya secara pribadi juga tidak memungkiri masih banyak pula masyarakat di Indonesia yang enggan menerima sikap mereka yang dipandang menyimpang dari ajaran agama, adat dan norma yang berkembang.

“Jadi kalau saya sendiri sangat menerima mereka dalam tanda kutip membantu kesejahteraan ekonomi, tapi kalau untuk pengakuan terhadap gaya hidup mereka sebagai transgender yang tentunya bertolak belakang dengan ajaran agama, adat dan norma yang selama ini tumbuh di Indonesia jadi masih sangat sulit untuk dibenarkan,” akunya.

Pancasila sebagai ideologi dan pedoman negara Indonesia, David juga mengatakan apabila perilaku dan orientasi seksual yang terjadi pada transpuan sangat bertentangan, “Pada sila pertama Pancasila disebutkan Ketuhanan yang Maha Esa, sepemahaman saya agama jelas menentang ini dan artinya apapun ketentuan dan aturan Tuhan dalam suatu agama harus dijalankan dengan baik dan tidak boleh ditentang, antara Pancasila dan Agama ini sangat erat korelasinya, ini pandangan saya pribadi ya. Tapi kalau bahas soal legalitasnya secara luas saya tidak berani berkata lebih lanjut,” ujarnya.

Hal ini juga dia katakan berdasarkan pengalamannya selama menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Empat Lawang sekaligus Sekretaris DPRD Sumsel yang mengatakan belum pernah ada desakan dari transpuan atas pengakuan perilaku mereka, melain mereka hanya meminta agar kebutuhan perekonomian mereka dapat terpenuhi sebagai warga negara.

Dia juga membantah bahwa Partai Golkar hanya menjadikan transpuan sebagai objek kampanye setiap kali memasuki tahun politik, sebab sampai saat ini Golkar masih terus mendengarkan aspirasi transpuan layaknya masyarakat pada umumnya, bahkan Golkar juga terus mengedukasi kelompok transpuan dalam mengembangkan kapasitas diri agar dapat lebih mandiri dalam menjalani usaha mereka.

“Selama mereka hadir sebagai warga negara yang memperjuangkan perekonomian kami akan fasilitasi, tapi kalau berbicara soal legalitasnya kami masih belum bisa kasih jawaban lebih. Sebab ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah, kami tetap akan berkolaborasi dengan transpuan dan memastikan diskriminasi dari masyarakat berkurang, contohnya sekarang tidak sedikit warga yang menggunakan jasa salon transpuan kan?” pungkasnya.

Ilustrasi Kampanye. [Foto: Padangkita.com]
Ilustrasi Kampanye. [Foto: Padangkita.com]

Praktik Diskriminasi Parpol Terhadap Transpuan Tak Berkurang Pasca Kampanye

Rentannya keterlibatan transpuan yang menjadi objek kampanye parpol di Sumatera Selatan (Sumsel) turut dikomentari pengamat politik dan sosial di Sumsel Bagindo Togar, yang menilai sikap kemayu, centil, ganjen dan ramai yang selalu melekat pada diri kebanyakan transpuan menjadi alasan utama bagi sejumlah parpol untuk memanfaatkannya.

Menurutnya di dalam dinamika politik segala sesuatu yang terjadi tentu ada rupa dan harga yang harus dibayar, begitu pula lah yang menjadi materi utama yang selalu dibawa dalam agenda besar kampanye. Partai politik tidak hanya memanfaatkan keunikan dari diri transpuan saja, akan tetapi isu marjinal memang masih menjadi pembahasan panjang yang terus diangkat oleh rata-rata parpol dengan membangun narasi seolah-olah mereka begitu peduli dengan kelompok-kelompok tersebut.

Padahal realitanya parpol hanya menjadikan kelompok transpuan sebagai objek kampanye tanpa memberikan garis tegas kepada publik agar praktik diskriminasi terhadap kelompok ini dapat berkurang atau bahkan dihilangkan. Sehingga parpol dinilai gagal dalam mengedukasi publik agar berhenti melakukan tindakan-tindakan yang mengancam kehidupan transpuan dalam bentuk apapun itu.

“Kelompok marjinal ini mereka (parpol)  pakai sebagai simbolisasi, mereka akan memanfaatkan keunikan, ketidakberdayaan, dan kesedihan untuk dibawa sebagai bahan kampanye, terkadang kelompok ini bisa dilibatkan langsung, di sanalah parpol ini bersikap ramah dengan transpuan, diberi janji. Tapi setelah jadi, mereka lupa,” katanya saat dihubungi melalui panggilan Suara, Minggu (29/1/2023)

Tidak hanya berhenti sampai disitu, nihilnya aturan tertulis yang menyebutkan bahwa kegiatan kampanye demikian tidak masuk dalam kategori hukum apapun, membuat akhirnya parpol dan caleg terus menggelorakan model kampanye seperti itu dengan tujuan untuk menarik lebih banyak simpatisan yang menganggap partai tersebut begitu merakyat dan mendukung ketidakseimbangan hak warga negara yang sejatinya terus terjadi berulang-ulang di Indonesia.

“Kalau berdasarkan aturannya kan mereka hanya dilarang melakukan kampanye di rumah ibadah dan tempat-tempat pendidikan kan, tapi kalau aturan tidak boleh melibatkan kampanye itu tidak ada, ini semua soal kesepakatan. Sehingga ini membuat mereka lebih leluasa. Bahkan minimnya pemahaman transpuan soal politik juga menjadi alasan lain, jadi kena semua kalau begini kan?” terangnya.

Hal ini membuktikan bahwa aspek moral dalam politik masih sangat jarang menjadi perhatian bagi parpol yang dianggap lebih mementingkan eksistensi, dengan demikian Bagindo mengaku tidak heran apabila banyak sekali transpuan yang tertipu dengan janji-janji partai yang katanya akan membentuk kebijakan-kebijakan pro kebebasan bagi mereka.

“Aspek moral politik itu belum menjadi tujuan utama. Meskipun aspek moral itu ada dalam tujuan-tujuan politik itu sendiri, akan tetapi pada prosesnya itu tidak terwujud dengan baik,” ucap dia.

Berdasarkan sejarahnya, Bagindo menceritakan kembali awal mula taktik kampanye seperti ini mulai dilakukan parpol di Indonesia, perebutan citra serta label partai yang mengedepankan kepentingan rakyat kecil memang sudah berlaku sejak awal revolusi, yang di mana peralihan masa-masa kepemimpinan orde baru menjadi demokrasi, lalu dimanfaatkan oleh partai yang eksis di zaman itu.

Partai-partai tersebut mulai menciptakan label-label pro rakyat yang kemudian memanfaatkan masyarakat pinggiran, kaum-kaum-kaum marjinal, masyarakat dengan ekonomi rendah sebagai objek kampanye, jadi tidak jarang apabila sampai hari ini masih banyak sekali masyarakat yang pro terhadap satu partai dari tahun ke tahun.

Cara seperti itu, lalu terus diadopsi oleh pemegang kepentingan di dalam partai politik yang sekarang mulai ramai bermunculan, “Mereka juga tentunya akan memanfaatkan isu-isu yang tengah berkembang, misal ada statemen penolakan terhadap waria, ini akan menjadi peluang bagi salah satu partai untuk mengangkat nama transpuan sebagai objek, nanti kalau sudah jadi ditinggalkan dan akan mencari bahan lain,” ungkapnya.

Melalui fenomena itulah, akhirnya Bagindo memberikan solusi kepada transpuan agar dapat lebih selektif pada saat terlibat dalam kegiatan kampanye, sebab transpuan pun memiliki hak yang sama di mata hukum, tidak ada pembedanya. Mereka, dikatakan  Bagindo memiliki kesempatan yang seimbang dengan masyarakat lain, misalnya dalam hal menerima bantuan, memberikan hak suara, bahkan melakukan protes.

“Semua dari mereka ini sama saja, jadi akan lebih baik juga kalau mulai sekarang transpuan ini lebih berhati-hati saat terlibat dalam kampanye, karena politik ini banyak palsunya termasuk janji-janji yang dituangkan aktor-aktor politik. Sementara itu, pemerintah tentu harusnya dapat menyikapi ini, berikan edukasi bagi transpuan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas diri, biar tidak bergantung sama parpol,” tandas dia.

Penulis: Mita Rosnita

Karya jurnalistik ini merupakan Story Grant Jurnalisme Keberagaman yang mendapat dukungan dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini