SuaraSumsel.id - Kasus penganiayaan sekaligus pengeroyokan yang dilakukan UIN Raden Fatah Palembang tengah ramai diperbincangkan masyarakat.
Mahasiswa dari Fakultas Adab dan dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang menjadi korban saaat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Unit Kegiatan Mahasiswa Khusus (UKMK) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) kampus UIN Raden Fatah Palembang. Diketahui keluarga korban jika diksar tersebut dilakukan tanpa izin dari pihak kampus.
Berikut sejumlah fakta dari peristiwa yang kini mengakibatkan mahasiswa tersebut trauma dan menjalani pengobatan di rumah sakit.
1. Bermula dari adanya berita yang disebar di group WhatsApp
Baca Juga:Truk Angkut Batu Bara Kelebihan Muatan Tabrak Rumah Tetangga Wabup OKI Sumsel, Sopir Melarikan Diri
Terungkap motif oknum melakukan tindak penganiayaan dan pengeroyokan terhadap korban dipicu akibat korban yang diduga menyebarkan berita di grup WhatsApp.
Melalui video yang berdurasi 54 detik tersebut, korban A yang saat ini tengah mendapatkan perawatan intensif di RS Hermina Jakabaring Palembang mengakui ada informasi internal dari UKMK Litbang.
“Saya mengaku bahwa saya telah menyebarkan informasi internal dari UKMK Litbang dan tidak dibenarkan,” ujarnya.
Sementara itu, Rusdi selaku ayah korban mengatakan bahwa dirinya ikut mendengar adanya kabar bahwa sang anak menyebarkan berita, namun untuk tingkat kebenarannya ia sendir tidak dapat memastikan.
“Mungkin memang ikut menyebarkan berita adanya pungli dari kegiatan tersebut, tapi tidak tahu juga itu benar atau tidak. Dengar-dengar selain uang, ada juga minta sembako,” tutur Rusdi sembari menahan tangis.
Baca Juga:BMKG: Cuaca Sumsel Hari Ini, Potensi Hujan Disertai Petir di Sebagian Wilayah
2. Oknum pelaku berjumlah lebih dari 10 orang
Saat dimintai keterangan, ayah korban menyebutkan bahwa sang anak telah dianiaya dan dikeroyok oleh oknum sesama panitia berjumlah lebih dari 10 orang.
“Tidak tega saya membayangkan kejadiannya, anak saya sehari semalam dianiaya. Matanya dicolok, dagunya disulut pakai rokok dan ditelanjangi. Pelakunya itu lebih dari 10 orang, ada dari senior ada juga yang satu angkatan dengan anak saya. Ironisnya anak saya ditelanjangi didepan perempuan juga,” katanya.
3. Korban mengalami luka fisik dan mental
Lebih lanjut, Rusdi mengungkapkan traumatik yang dialami sang anak atas kejadian penganiayaan dan pengeroyokan tersebut.
“Dia itu anak baik, dari kecil tidak pernah buat ulah. Sampai di tingkat mahasiswa ini baru ini kejadiannya separah ini, dia dianiaya sampai tidak mau lanjut kuliah lagi. Mau jadi apa anak saya nanti kalau dia tidak kuliah? Sampai sekarang masih trauma,” ujar Rusdi sambil menangis.
4. Panitia melaksanakan kegiatan diksar tanpa izin dari kampus
Rusdi sangat menyayangkan peristiwa yang menimpa anaknya tersebut, dijelaskan Rusdi bahwa kegiatan diksar tersebut dilaksanakan tanpa adanya surat izin dari pihak kampus.
“Kami sempat melapor ke Polsek Gandus dan memang berakhir damai pada saat itu, tapi kami tidak tahu makanya berakhir damai. Dan yang saya tahu, diksarnya itu tidak ada izinnya,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Dekan III Fisip UIN Raden Fatah Palembang sekaligus ketua tim investigasi kasus penganiayaan dan pengeroyokan mahasiswa, Kun Ediyanto mengatakan pihaknya masih akan terus mencari data dan bukti yang dibutuhkan.
“Terkait izin dari kegiatan diksar tersebut, kami akan melakukan pengecekan apakah benar kegiatan dilakukan tanpa izin atau tidak. Kami masih terus mengumpulkan data dan nanti akan dipanggil pihak-pihak yang berkaitan,” lanjutnya.
5. Korban tidak ingin melanjutkan kuliah
Dijelaskan oleh Rusdi bahwa saat ini anaknya masih mengalami syok berat dan trauma, hal ini karena tekanan dan ancaman dari para pelaku.
“Anak saya sampai tidak mau kembali kuliah karena ketakutan dan dia sempat diancam akan dibunuh kalau sampai melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian,” tuturnya.
Saat ini korban membutuhkan pendampingan seorang psikolog untuk membuatnya pulih dari tasa trauma yang dikhawatirkan akan berkelanjutan.
“Kalau saat ini kita masih fokus ke pemulihannya fisiknya dulu, karena kalau sekarang dipaksa juga percuma. Mungkin nanti kita membutuhkan psikolog untuk melakukan pendampingan agar bisa mengurangi rasa trauma dan berharap anak saya mau kembali melanjutkan kuliahnya,” tutupnya.
Kontributor: Siti Umnah