SuaraSumsel.id - Provinsi Sumatera Selatan merealisasikan pendapatan negara senilai Rp8,52 triliun per 30 Juni 2021 atau mencapai 57,44 persen dari target yang bersumber dari pajak Rp7,4 triliun dan PNBP sebesar Rp1,1 triliun.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, pendapatan Sumsel mengalami kenaikan sebesar Rp2,96 triliun atau tumbuh 53,28 persen.
Data ini berdasrkan rilis pers yang diterima Antara dari Forum ALCo (Asset and Liabillites Committee) Sumatera Selatan beranggota seluruh Kantor Wilayah Kementerian Keuangan di Sumatera Selatan.
Kenaikan terbesar disumbang oleh Pajak Penghasilan sebesar Rp1,81 triliun atau lebih tinggi 68,15 persen dari tahun 2021 lalu.
Baca Juga:Jemaah Haji Asal Sumsel Tiba di Palembang Awal Agustus
Sementara realisasi belanja negara sebesar Rp17,8 triliun atau 43,87 persen dari pagu yang ditetapkan, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp5,4 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp12,4 triliun.
Belanja pemerintah pusat ini terdiri atas belanja pegawai Rp2,5 triliun, belanja barang Rp1,99 triliun, belanja modal Rp929,16 miliar, dan belanja sosial Rp5,97 miliar. Belanja ini mengalami penurunan sebesar Rp863 miliar atau turun 13,78 persen disebabkan secara pagu maupun realisasi yang lebih rendah dibandingkan tahun 2021.
Belanja modal tahun 2021 lebih tinggi dikarenakan terdapat beberapa proyek yang merupakan carry over dari tahun 2020.
Sementara belanja TKDD terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) Rp2,2 triliun, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp6,4 triliun, dan Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) Rp127,6 miliar.
Lalu Dana Insentif Daerah (DID) Rp69,07 miliar, DAK non Fisik Rp2,3 triliun, dan Dana Desa Rp1,2 miliar.
Baca Juga:Spotify Punya 188 Juta Pengguna Premium, tapi Tetap Rugi
Adapun realisasi TKDD ini mengalami penurunan sebesar Rp1,04 triliun atau lebih rendah 7,91 persen dari tahun lalu.
Pemulihan ekonomi di Sumsel masih berjalan on track, namun tetap perlu mewaspadai berbagai gejolak ekonomi baik yang berasal dari global maupun nasional.
Gejolak inflasi Sumsel pada periode ini juga menunjukkan lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional disebabkan adanya kenaikan harga volatile foods, utamanya karena terjadi gangguan pada di sisi penawaran (sentra produksi).
Lantaran Garis Kemiskinan (GK) disusun berdasarkan kelompok komoditas yang 74,34 persen di antaranya adalah kelompok makanan, maka pengendalian inflasi perlu perhatian berbagai pihak berkepentingan.
Pada periode ini, nilai tukar Rupiah juga mengalami tekanan seperti dialami mata uang regional lainnya seiring dengan ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif diberbagai negara.
Depresiasi nilai tukar yang terjadi memiliki sisi positif dan negatif bagi perekonomian Sumsel yang memiliki sejumlah komoditas ekspor andalan.
Namun terdapat risiko dari sisi impor, akan berpengaruh pada sisi biaya produksi karena saat ini impor Sumsel didominasi oleh Impor Bahan Baku dan Impor Barang Modal.
Pada kondisi berbagai tekanan, APBN harus terus berperan dalam menyerap tekanan-tekanan terhadap perekonomian (shock absorber) guna menjaga pemulihan ekonomi agar tetap berlanjut dan semakin kuat, menjaga daya beli masyarakat, dan mendukung konsolidasi fiskal.
Akselerasi belanja pemerintah perlu respon tepat dan cepat dalam menghadapi ketidakpastian global. Menjadi keharusan APBN 2022 tetap kuat, sehat, dan menjadi instrumen kebijakan yang sustainable dan kredibel.
Termasuk kinerja APBD perlu untuk terus didorong guna mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. (ANTARA)