SuaraSumsel.id - Malam makin larut pada 20 Maret 2020 lalu. Langkah kaki Mbah Kunargo menggebu saat akan menjemput sertifikat lahan yang diperjuangkan hampir dua puluh tahun terakhir. Pria berusia 82 tahun itu senang bukan kepalang.
Mimpinya memperjuangkan lahan yang sudah lama berkonflik dengan perusahaan kelapa sawit akhirnya terjawab. Saat itu, ia merasa kian lega meski harus melintasi jalan poros di Desa Suka Mukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan mendekati tengah malam.
Kala itu, dia pun sempat teringat pemberitaan pembagian sertifikat tanah oleh Presiden Jokowi pada warga. Kebijakan Jokowi yang diharapkan memberikan kepastian hukum pada petani.
“Senang saat itu, bentuk dan warna sertifikat juga sama seperti yang dibagikan Jokowi ke petani di televisi,” kenang Mbah Kunargo.
Baca Juga:Dapat Remisi Hari Raya Idul Fitri, 52 Napi di Sumsel Langsung Bebas
Pembagian sertifikat yang dialami Mbah Kunargo dan warga-warga lainnya memang agak ganjal. Dilaksanakan berlangsung hampir tengah malam. Situasi itu dimaklumi warga mengingat karena jarak desa yang cukup jauh dari Ibu Kota Kabupaten OKI, Kota Kayuagung.
“Warga sudah berkumpul termasuk Budiono, juga orang BPN dikenalkan dengan panggilan pak Luki,” terang Mbah Kunargo kepada Suara.com saat menemui di rumahnya, pada bulan Maret, lalu.
Budiono merupakan warga Desa Suka Mukti yang menjadi penghubung antara masyarakat dan perwakilan BPN dalam mengurus sertifikat tanah.
Di kepungan sinaran lampu sorot, warga yang sudah berkumpul diminta bertandatangan. Bubuhan tanda tangan dilakukan pada beberapa lembar kertas, seolah menjadi transaksi serah terima sertifikat.
Setelah mengenang momen itu, Mbah Kunargo akhirnya membuka tabir setoran Rp10 juta agar mendapatkan sertifikat BPN.
Baca Juga:Tiga Anggota Ditpolairud Polda Sumsel, Dibawa Kabur "Kapal Hantu" Penyeludupan Benih Lobster
Setelah lelah berkonflik lahan bertahun-tahun, bahkan berdemonstrasi berkali-kali selama hampir dua puluh tahun terakhir, Mbah Kunargo dan warga lain “terpaksa” menyetorkan uang Rp10 juta agar mendapat sertifikat tahan yang dia kelola.
Mbah Kunargo pun berjuang mengumpulkan uang Rp10 juta tersebut. Uang sebanyak itu dikumpulkan dengan rembuk pada istri dan anak. Meski tak gamblang menceritakan sumber uang Rp10 juta, namun pria empat anak ini berkesimpulan mengumpulkan uang sama halnya dengan perjuangannya selama ini.
Mbah Kunargo dan warga desa telah melewati perjalanan pahit memperjuangkan lahannya. Setelah demonstrasi berkali-kali ke kantor Bupati OKI dan DPRD OKI, tak juga bisa menggarap lahan tersebut.
Uang Rp10 juta yang diminta oleh perwakilan masyarakat, Budiono, diserahkan kepada pihak BPN sebagai syarat mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Besaran Rp10 juta ditetapkan oleh pihak BPN dengan nama program PTSL Mandiri.
Mbah Kunargo tidak sendiri, dia bersama 35 warga lainnya telah menyerahkan uang masing-masing Rp10 juta kepada Budiono dan perwakilan pihak BPN.
Kata Mbah Kunargo, baik Budiono dan perwakilan pihak BPN yang datang malam itu menjelaskan PTSL Mandiri ialah program pengurusan sertifikat yang dilakukan dengan jalur mandiri atau semacam pengusulan sertifikat sehingga pihak yang mengajukan diharuskan membayar biaya pengusulan.
“Tidak dijelaskan untuk apa-apa, Rp10 juta per sertifikasi PTSL,” kata Mbah yang menjadi peserta transmigrasi di desa tersebut sejak tahun 1981.
Belasan warga yang berkumpul di rumah Mbah Kunargo saat Suara.com berkunjung, juga mengungkap fakta yang sama.
Uang Rp10 juta tersebut dikumpulkan dalam satu kali transaksi untuk diserahkan pada perwakilan BPN.
“Warga hanya tanda tangan, tidak ada bukti serah terima yang kami terima. Uangnya diserahkan tunai, tidak melalui rekening khusus,” kata warga lainnya yang bernasib sama.
Warga ini pun mengakui jika pengusul program PTSL mandiri itu sebenarnya lebih dari 36 orang. Hanya saja, baru 36 warga ini yang mampu mengumpulkan uang Rp10 juta dalam waktu yang cepat.
“Sederhananya, kami ingin mengelola lahan tersebut kembali,” harap warga.
Pungutan sebesar yang disetorkan Mbah Kunargo dan 35 warga lainnya, jelas tidak sejalan dengan ketentuan pemerintah atas nama program PTSL.
Pada keputusan bersama tiga menteri, yakni Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi menyatakan, program PTSL tidak membebankan biaya pada pemilik lahan.
Keputusan bersama tiga menteri itu, tertuang pada peraturan tertanggal 22 Mei 2017 nomor 25/SKB/V/2017.
Pemilik lahan hanya dibebankan biaya persiapan, besaran biaya persiapan ditanggung masyarakat yang berada di zona Sumatera Selatan atau Sumsel hanya sebesar Rp200.000.
Besaran biaya persiapan yang berbeda berdasarkan zona wilayah ini dipergunakan sebagai persiapan dokumen, pengadaan patok dan materai, hingga kegiatan operasional petugas kelurahan/desa.
Masyarakat tidak dibebankan biaya lainnya, karena program PTSL dialokasikan Pemerintah melalui APBN.
Rasa lega Mbah Kunargo dan warga karena sudah memiliki sertifikat lahan, meski harus membayar uang Rp10 juta, ternyata tidak lama. Setelah tiga bulan dari pembagian tengah malam itu, sertifikat PTSL dibatalkan sepihak BPN Sumsel.
Kabar ini sontak membuat Mbah Kunargo kecewa. Rasa kecewa melebihi saat melihat tanah yang pernah diolahnya, malah ditanami sawit oleh PT Treekreasi Marga Mulya (PT.TMM).
Pihak BPN Sumsel melalui surat keputusan bertanda tangan Kepala BPN Sumsel, Pelopor dengan nomor surat 1120/Kep-16. MP02/XI/2021 membatalkan sertifikat Mbah Kunargo serta 35 sertifikat PTSL lainnya pada 7 Desember 2021.
“Rasanya kecewa, benar-benar tidak percaya, kenapa dibatalkan. Kecewa campur sedih, marah terus bertanya-tanya kenapa,” ujar pria dengan logat bahasa Jawa-nya.
Selembar surat berkop BPN Sumsel dibacakan saat rapat ditujukan pada tiga pihak, yakni perwakilan warga yang diwakili dengan nama Trimo dkk, Kepala BPN OKI dan perwakilan perusahaan PT. Treekreasi Marga Mulya (PT.TMM).
Surat itu membatalkan sertifikat PTSL BPN dengan nomor 2519/Suka Mukti sampai dengan 2554/Suka Mukti atas nama Trimo dkk yakni 36 sertifikat atau pada lahan seluas 71,79 hektar (ha).
Pembatalan sepihak sertifikat PTSL disebutkan karena alasan cacat administrasi. Mbah Kunargo dan puluhan warga lainnya pun kini mempertanyakan uang Rp10 juta yang telah disetorkan.
Indikasi Korupsi PTSL
Pernah mengadvokasi warga desa yang ditangkap polisi saat aksi pendudukan lahan berkonflik tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang menyebutkan indikasi tindak pidana korupsi di konflik lahan tersebut.
Direktur LBH Palembang, Juardan Gultom menjelaskan kasus pembatalan sertifikat yang dilakukan BPN harus ditarik mundur ke pungutan setoran Rp10 juta per sertifikat yang dibayar warga.
Jika mengacu pada surat pembatalan sertifikat ditandatangani Kepala BPN Sumsel berarti sertifikat yang dibagikan tengah malam itu berkekuatan hukum. “Meski, kemudian dianulir sendiri oleh BPN,” tegasnya.
Surat bernomor 1120/KEP-16. MP02/XI/2021 yang tertuju pada warga yang diwakili Trimo dkk, Kepala BPN OKI dan perwakilan perusahaan menjadi penguat legalitas lahan warga yang berkonflik selama ini.
“Artinya BPN mengakui sertifikat, BPN mengakui legalitas lahan warga,” sambung Juardan.
Meskipun warga memperoleh sertifikat dengan membayar uang, maka perlu ditelusuri aliran uangnya. “Dengan mengusut aliran uang itu, bisa dilacak siapa penerima uang. Indikasi korupsinya ini, soal pungutan memperoleh legalitas negara atas lahan. Indikasi ini bisa dibuktikan,” kata Juardan.
Harusnya juga proses pembatalan 36 sertifikat lahan dilakukan melalui proses hukum peradilan sehingga memperoleh keputusan hukum tetap.
“Pembatalan sertifikat disebutkan dalam surat tersebut karena administrasi yang dilanggar, tetapi harus dibuktikan. Ya, di peradilan,” terang Juardan.
Mimpi Menggarap Lahan Pupus
Mbah Kunargo sudah tidak bisa lagi mengelola lahan yang pernah ditanam di awal program transmigrasi yang diikutinya di tahun 1981. Ia sudah tidak bisa lagi merasakan menanam, karena lahannya kini sudah tertanam sawit milik perusahaan.
Warga yang berkumpul di rumahnya Mbah Kunargo sama kecewanya.
Mereka tidak mengetahui lagi, harus menempuh cara apa agar bisa mengelola kembali lahan tersebut.
Mbah Kunargo mengenang, bagaimana ia dan warga berjuang sampai harus menduduki lahan sawit hampir selama dua bulan lamanya di tahun 2021 lalu.
Tepat di Oktober 2021, ratusan warga desa berkumpul, menggelar aksi pendudukan di lahan yang sudah tumbuh tanaman sawit. “Dua warga desa ditahan karena aksi tersebut,” kenang pria yang mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) ini.
Meski berumur 83 tahun, ia masih ingat betul belasan teman yang satu angkatan pada program Transmigrasi menggarap lahan di desa tersebut. Meski sebagian besar, penggarap sudah meninggal dunia sekaligus mewariskan polemik atas lahan pada anak dan cucu.
Mbah Kunargo merupakan masyarakat transmigrasi SKPC tiga di tahun 1981 yang diikuti oleh sebanyak 450 keluarga.
Mbah Kunargo dan ratusan warga mendapatkan jatah lahan seluas dua hektar yang dipergunakan untuk budidaya juga pemukiman dengan sertifikat lahan transmigrasi tahun 1984.
Warga diberi akses lahan pengembangan program transmigrasi. Lahan masih bertopografi hutan itu dibudidayakan. Warga menanam padi, palawija, tanaman jagung, sayur mayur, dan rempah-rempahan.
“Jenis tanaman apapun dicoba ditanam agar bisa menghidupi keluarga, warga pun membagi lokasi menanam dengan batas lahan yang disepakati bersama,” kenangnya.
Lahan pencanangan mencapai 774 hektar (Ha). Lahan ini pun oleh Camat saat itu, diberi alas hak berupa Surat Keterangan (SKT) yang dikeluarkan bertahap yakni mulai tahun 1983 hingga 1985.
Permasalahan muncul ketika Kepala Desa (Kades) Sunarto Hadi (almarhum) meminta warga mengumpulkan Surat Keterangan termasuk juga sertifikat tanah transmigrasi.
Sekitar tahun 1991, Sunarto ini ternyata membuat Surat Pengakuan Hak (SPH) tanah fiktif. Sunarto Hadi terbukti melakukan penjualan lahan dengan menerbitkan SPH fiktif seluas 230 Ha.
Kades Sunarto Hadi terbukti bersalah sehingga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ilir (OKI) memberhentikannya dari jabatan. Hanya aja, tindakan kades ini tidak diproses hukum.
Permasalahannya makin kompleks ketika lahan-lahan yang sudah dibuat Surat Penguasaan Hak (SPH) fiktif oleh Sunarto Hadi, tidak dikembalikan pada warga termasuk mbah Kunargo dkk ini.
Padahal lahan-lahan tersebut sudah dibudidaya serta membentuk pemukiman. Bupati kala itu, Ishak Mekki memerintahkan Kades pengganti, Triyanto menyelesaikan persoalan dengan memetakan lagi, lahan-lahan yang sudah digarap masyarakat.
Kades Triyanto ternyata tidak menyelesaikan amanat tugas tersebut.
“Surat tugas ini baru diketahui beberapa tahun kemudian, saat lahan digarap perusahaan,” terang warga lainnya. Sepanjang periode itu, warga juga menduduki lahan perusahaan di tahun 2006.
Bersamaan sertifikat lahan yang dibagikan BPN, perusahaan memasang plang menyatakan batasan dan luasan lahan HGU mereka.
“Perusahaan pasang plang-plang menyatakan jika lahan tersebut ber HGU nomor 11/HGU/BPN/1997,” ujar kuasa hukum masyarakat desa, Pius Situmorang beberapa waktu lalu.
Pemasangan plang informasi HGU ini, ditegaskan Pius juga janggal. Misalnya dari tahun HGU yang ditulis 1997, serta nomor HGU yang baru diketahui ternyata berubah-ubah kemudian.
“HGU sempat dikatakan nomor 1, nomor 11 hingga nomor 45. Ini baru diketahui warga usai pembubaran paksa saat pendudukan lahan tersebut,” terang Pius.
Sosok Budiono yang menjadi saksi kunci mengenai pembuatan sertifikat PTSL BPN, ditangkap polisi pada akhir Februari 2022 lalu.
Dia ditangkap dengan kasus pemalsuan tanda tangan Kades Sutarman pada pengurusan sertifikat PTSL serta masih menjalani proses persiapan persidangan.
Kepala BPN OKI, Mohammad Zamili melalui jawaban tertulisnya menegaskan, BPN tidak membenarkan adanya program PTSL dengan pungutan Rp10 juta per sertifikat.
Ia membenarkan jika lahan warga Desa Suka Mukti pernah masuk program PTSL berdasarkan surat keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten OKI tertanggal 20 Maret bernomor PTSL 01/HM/PTSL/BPN-16.02/2022 tentang Pemberian Hak Milik Atas Nama Trimo dkk.
Jumlah sertifikat tersebut diberikan kepada 36 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan 71,97 Hektar.
“Jika ada biaya, di luar ketentuan mengenai PTSL, silakan ditanyakan pada pihak-pihak yang menarik biaya itu,” ujar Zamili.
Zamili pun menjelaskan penyebab pembatalan akibat cacat administrasi pada surat sertifikat BPN Sumsel, karena kepemilikan sertifikat yang berbeda pada lokasi yang sama.
Berdasarkan peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 21 tahun 2022 pasal 34, tentang penanganan dan penyelesaian kasus pertahanan tidak dibenarkan adanya kepemilikan berbeda pada lahan yang sama.
Zamili pun menerangkan mengenai sosok orang BPN yang disebut warga bernama Pak Luki itu tidak pernah ada.
“Berdasarkan data kepegawaian di kantor BPN OKI, tidak ada nama tersebut,” kata Zamili sembari mengungkapkan jika status lahan yang dipermasalahkan warga berstatus HGU milik perusahaan, PT TMM.
Mbah Kunargo tak hentinya tertegun. Keinginannya bersama puluhan warga lainnya menggarap sekaligus memiliki lahan sudah benar-benar hanya mimpi. Lahan itu sudah bukan milik mereka lagi.
Tulisan ini merupakan karya jurnalistik mengikuti fellowship yang diselenggarakan AJI Indonesia, bertema Korupsi Sumber Daya Alam.