Menikah di Bulan Ramadhan Menjadi Tradisi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Banyak yang menikah di bulan Ramadhan dan menjadikannya tradisi yang dinilai pahala.

Tasmalinda
Minggu, 17 April 2022 | 13:43 WIB
Menikah di Bulan Ramadhan Menjadi Tradisi, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Ilustrasi menikah di bulan Ramadhan [Pexels]

SuaraSumsel.id - Sebuah pertanyaan disampaikan mengenai hukumnya menikah di bulan Ramadhan. Mengingat menikah di bulan Ramadhan, juga kerap menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat muslim.

Dalam jawaban pertanyaan pembaca di website NU, diterangkan jika pada dasarnya tidak ada petunjuk yang jelas dalam Alquran dan hadist yang memerintahkan dalam kategori wajib atau sunnah dengan sangat jelas anjuran yang sangat jelas untuk melangsungkan pernikahan pada waktu atau bulan tertentu.

"Juga tidak ada larangan melangsungkan pernikahan pada waktu dan bulan tertentu, kecuali saat ihram (haji/umrah)," sambungnya.

Para ulama Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menganjurkan akad nikah dilangsungkan di bulan Syawal berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An-Nasa’i:

Baca Juga:Diisi Mayoritas Napi Narkoba, 4 Lapas di Sumsel Adakan Program Rehabilitasi Narkoba

Artinya, ”Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, dan membangun rumah tangga (berhubungan badan) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah isteri-isteri Rasulullah SAW yang lebih mendapatkan tempat di sisi beliau daripada saya? Perawi berkata, ‘Aisyah RA senang bila berhubungan badan suami istri dilakukan di bulan Syawal,’” (HR Muslim dari Aisyah RA)

Imam Nawawi menjelaskan hadits ini:

Artinya,”Dalam hadits ini terdapat anjuran (istihbâb) menikah, dan menikahkan serta berhubungan badan suami istri di bulan Syawal. Bahkan para ulama kami (mazhab Syafiiyah) telah menetapkan anjuran/kesunahan tersebut, dan mereka menggunakan dalil hadits ini. ‘Aisyah dengan perkataannya ini bermaksud menolak tradisi Jahiliyah, dan anggapan sebagian orang awam mengenai kemakruhan nikah, menikahkan dan berhubungan badan di bulan Syawal. Padahal hal ini salah, tidak ada dasarnya, tetapi merupakan tradisi Jahiliyah. Sebabnya mereka (orang-orang Jahiliyah) meramalkan keburukan dengan menghindari nikah, menikahkan dan berhubungan badan di bulan Syawal, karena di dalam nama Syawal terjadi kematian, sial atau keburukan,” (Lihat An-Nawawi, Shahîh Muslim bi-Syarhin Nawawi [Al-Azhar, Al-Mathba’ah Al-Mishriyah: 1929], juz 9, halaman 209).

Selain ketentuan bulan tersebut, yang penting diperhatikan adalah hari yang disunnahkan untuk akad nikah, yaitu hari Jumat, waktu sore harinya atau malam Jumat.

Pada hari Jumat adalah hari mulia, ”hari raya” umat Islam, dan penuh keberkahan, merupakan waktu istijâbah (terkabulkan doa), serta diamalkan para ulama salaf, dan pernikahan memang dimaksudkan untuk keberkahan, berdasarkan hadits:

Baca Juga:Atlet Senam Sumsel Batal Ikut Sea Games Hanoi karena Pemerintah tak Punya Dana, KONI Kecewa

Artinya, ”Laksanakan pernikahan di sore/malam hari, yakni hari Jumat, karena itu merupakan waktu yang paling besar berkahnya,” (HR Abu Hafsh dari Abu Hurairah r.a.) (Lihat Abû Ishâq Ibn Muflih Al-Hanbalî, Al-Mubdi‘ Syarhul Muqni‘ [Beirut, Dârul Fikr: 1997], juz 6, halaman 92-93).

Kebiasaan masyarakat melangsungkan pernikahan pada bulan Ramadhan, misalnya di daerah Bojonegoro Jawa Timur dan sekitarnya, yang dikenal ”Malam Songo” (pernikahan pada malam ke-29 Ramadhan) tidaklah bertentangan dengan ajaran dan ketentuan Islam.

Tidak adanya perintah atau larangan mengenai bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan ini bisa menjadi faktor atau alasan adanya kebiasaan atau tradisi melangsungkan pernikahan di bulan Ramadhan, yang dimaksudkan untuk memperoleh keberkahan.

Kebiasaan tersebut terkait pula dengan tradisi di tanah air, Lebaran Hari Raya Idul Fitri umumnya diperingati lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Adha (Bulan Haji), sehingga dimaksudkan pula agar pasangan suami istri bisa leluasa merayakan lebaran dengan silaturahim, halal bihalal, rekreasi, dan sebagainya.

Kebiasaan tersebut masuk ke dalam kategori kaidah fikih al-‘Âdatu muhakkamah, yakni adat atau kebiasaan dalam masyarakat bisa dijadikan hukum.

Selama tidak bertentangan dengan ajaran atau ketentuan dalam Islam. Menjadi lebih istimewa, bila pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Ramadhan itu pun bertepatan dengan hari Jumat, hari mulia dan penuh berkah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini