Ia menuturkan, hingga saat ini, belum ada bahan utama pengganti kedelai untuk pembuatan tempe. "Alternatif saat ini belum ada, kami mau saja kalau kacang tanah bisa digunakan kami gunakan, tapi ini tidak bisa, hanya kedelai itulah satu- satunya," pungkasnya.
Dinas Perdagangan Sumatera Selatan (Disdag Sumsel) meminta produsen tempe untuk menyesuaikan produksi tempe dengan harga kedelai yang makin melejit.
"Biasanya kalau (kenaikan harga) kedelai, pedagang cepat menyesuaikan diri dengan mengurangi ukuran produksi seperti mengurangi ukuran tempe," ujar Kepala Disdag Sumsel, Ahmad Rizali.
Kenaikan harga kedelai bukan hal baru dan bukan pertama kali dihadapi para produsen tempe. Sehingga produsen tempe sudah terbiasa dan dianggap mampu cepat beradaptrasi dengan kondisi yang ada.
Baca Juga:Dilema Perajin Tahu Tempe di Sumsel: Tetap Produksi Meski Kedelai Mahal, demi Pertahankan Usaha
"Sulitnya mengendalikan harga kedelai tidak lepas dari ketergantungan impor kedelai yang tinggi sementara produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi," katanya.
Saat ini pemerintah daerah juga sedang mencari solusi untuk mengendalikan tingginya harga kedelai. Yakni upaya subsidi yang menjadi salah satu skema dalam pertimbangan menekan harga penjualan kedelai.
“Sedang dicari skema subsidinya. Tidak seperti minyak goreng, skema subsidi kedelai ini lebih susah karen bahan bakunya impor. Mungkin subsidinya dari bea impor," ujarnya.