SuaraSumsel.id - Nama Residen Abdul Rozak terpatri menjadi nama jalan di kota Palembang, Sumatera Selatan. Meski demikian, belum banyak yang mengetahui sosok pahlawan berdarah Komering ini.
Lahir dan besar di Rasuan, Ogan Komering Ilir Timur membuatnya mewakili sosok pejuang dari daratan Komering. Di usia yang tidak muda lagi, ia pun dikenal sebagai sosok birokrat yang bergerilya dari organisasi satu ke organisasi lainnya.
Sosok pejuang yang disebut sebagai pejuang senior ini tidak segan berkumpul dan berjuang dengan pejuang yang lebih muda di bawahnya.
Abdul Rozak kelahiran tahun 1891. Jika dibandingkan dengan Soekarno pun, ia lebih tua 10 tahun.
Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya canggung atau malah berhenti berjuang. Hidup di keluarga pesirah, Abdul Rozak lebih banyak belajar otodidak sekaligus menduduki beberapa jabatan penting.
Dua tahun ia menjadi mantri blasting di Tebing Tinggi, dua tahun kemudian di tahun 1914-1916 ia menjadi mantri polisi di Suralangun Rawas, dan dari 1919-1925, ia menjadi demang di beberapa tempat di Sumatera Selatan.
Dari segi pendidikan, sejarawan Universitas Sriwijaya, Syafruddin Yusuf mengungkapkan Abdul Rozal tidak berpendidikan tinggi.
Ia lebih suka belajar secara otodidik di organisasi-organisasi kepemudaan dan partai di Sumatera Selatan.
Di masa kependudukan Jepang, ia pun aktif di Partai Indonesia Raya, meski setelah kemerdekaan, ia bersama AK Gani membesarkan Partai Nasional Indonesia atau PNI di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1942, Abdul Rozak juga sempat ditahan tentara Jepang.
Ia mengalami penyiksaan di penjara, sama seperti halnya tawanan perang lainnya. Namun tidak berlangsung lama.
Abdul Rozak ditahan dan disiksa hanya beberapa bulan dan kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan kembali menduduki jabaran pemerintah Muaraenim.
Kembali bersama AK Gani, ia memimpin Palembang Hokokai. Kedua tokoh ini bisa diibaratkan seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta untuk Sumatera Selatan.
Kedua menjadi pasangan pejuang yang saling melengkapi dari penjajahan jamanJepang. Abdul Rozak lebih banyak berkontribusi atas pengalaman birokratnya.
Peran keduanya, baik AK Gani dan Abdul Rozak di keresidenan Palembang sangat penting yakni menyusun konsep pemerintahan bangsa Indonesia, mengumumkan kemerdekaan, dan pembentukan pemerintah lokal dalam keresidenan Palembang.
Sebegai negara yang baru terbentuk, dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman guna membentuk stuktur pemerintahan baru di tingkat daerah.
“Pertimbangan AK Gani sangat tepat menempatkannya sebagai Wakil Kepala Pemerintahan. Jika melihat penjuang lainnya yang lebih berpendidikan misalnya dr M. Isa, yang berpendidikan dokter gigi. AK Gani lebih memilih Abdul Rozak karena pengalaman birokratnya,” terang Syafruddin.
Perannya menyebarluaskan kemerdekaan.Penyebarluasan berita kemerdekaan menjadi sangat mendesak setelah Proklamasi 1945. Karena itu, AK Gani memilih Abdul Rozak sebab keterikatan birokrat hingga tingkat marga.
Selain itu, pemilihan Abdul Rozak karena telah dikenal sebagai sosok pemimpin selama ini.
Dengan jejaring tersebut, Abdul Rozak berperan menyebarluaskan berita kemerdekaan hingga pelosok daerah.
Abdul Rozak pun memanggil tokoh-tokoh lokal ke Palembang dalam menyebarluaskan berita kemerdekaan hingga menyerahkan kepercayaan kepada tokoh-tokoh lokal membentuk pemerintahannya.
Baca Juga:Penyidik Polda Sumsel Gelar Perkara Kasus Sumbangan Rp 2 T, Heryanti Bakal Dijemput Paksa
Baru pada 25 Agustus 1945, berlangsung pengibaran bendera merah putih kantor Liedeng, yang juga dihadiri perwakilan tokoh-tokoh lokal.
“Menariknya meski belum ada SK dari pemerintahan Indonesia baru sebagai pimpinan keresidenan, rakyat sudah melegitimasikan kedua pemimpin ini,” ujar ia.
Pada menyusun pemerintahan paska kemerdekaan, AK Gani pernah ditunjuk menjadi Gubernur Muda Sub Provinsi Sumatera Selatan.
Posisi kepala keresidenan Palembang kemudian dialihkan kepada Dokter M Isa, dan kembali memilih Abdul Rozak sebagai wakilnya.
Pilihan wakilnya ialah Abdul Rozak, karena sangat paham dan menguasai jajaran birokrat pemerintahan lokal.
“Itu kenapa sosok Abdul Rozak sulit tergantikan. Lalu pusat pemerintahan Residen A Rozak pindah ke Lahat, sedangkan Gubernur muda Sumsel pindah ke Lubuk Linggau. Hal ini dilakukan guna memecah konsentrasi pengungsian itu. Tidak lain mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Selatan,” pungkasnya.
Setelah peristiwa ini, kembali bergejolak perlawanan kemerdekaan seperti Agresi Belanda I, perang lima hari lima malam, agresi militer Belanda II yang mengharuskan penokohan Abdul Rozak kembali ke marga-marga, guna menguatkan perjuangan di tingkat lokal.
Perjalanan hidupnya pun cukup panjang. Abdul Rozak wafat 17 Maret 1982 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukit Siguntang.