SuaraSumsel.id - Donasi almarhum Akidi Tio makin dipertanyakan publik. Banyak yang mempertanyakan uang dengan nilai fantastik Rp 2 triliun tersebut.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin pun menyampaikan pendapatnya. Ia mulanya mempertanyakan asal uang tersebut, lalu mempertanyakan logika pejabat negara.
Dilansir dari terkini.id, pada opini menulis, jika ada pihak yang gagal paham mempercayai keterangan keluarga Akidi Tio terkait donasi tersebut.
Mulanya, berangkat dari pertanyaan sederhana, yakni mempertanyakan siapa Akidi Tio, termasuk bidang usahanya. Setelah itu, dari mana uang sumbangan Akidi Tio tersebut.
Baca Juga:Sistem COD Kerap Bermasalah, Kadin Sumsel: Butuh Edukasi Transaksi E-Commerce
Selain itu, apakah lembaga perpajakan pernah memungut pajak dari harta Akidi Tio?
Dikatakan Hamid, Akidi Tio tidak memiliki jejak jelas di bidang usaha.
"Sehingga, sambung ia, guna mewujudkan halusinasi itu, maka sebaiknya meminjam tangan negara melalui pejabat dengan seribu janji. Namanya usaha,” tulisnya lagi.
Dia pun memperkirakan, motif para pejabat yang mempromosikan atau mengamini ucapan orang-orang seperti ahli waris Akidi Tio, adalah ingin dinilai sebagai pahlawan.
“Jawabannya singkat. Para pejabat ingin menjadi pahlawan, seolah diri mereka yang membantu meringankan beban rakyat," sambungnya lagi.
Baca Juga:Berdonasi Rp 2 T untuk Sumsel, Akidi Tio Memulai Bisnis dari Usaha Kecap
Duta Besar Republik Indonesia untuk Federasi Rusia sejak 8 April 2008 itu juga mengusulkan, agar bangsa Indonesia membuat aturan tentang para pejabat yang memperkenalkan dan mengamini segala ketidakbenaran seperti deretan fakta melecehkan akal sehat bangsa.
“Orang atau pihak yang menggunakan para pejabat untuk memaklumkan ketidakbenaran, juga harus juga diberi hukuman,” tulisnya lagi.
Menurut Hamid, harus ada ganjaran karena apa pun alasannya, memaklumkan ketidakbenaran kepada publik adalah public deception. Ini baru adil dan mendidik bangsa kita menjadi bangsa yang rasional.
Pernah Terjadi di Zaman Soeharto hingga SBY
Ia pun menyampaikan beberapa kejadian serupa yang terjadi di Indonesi pada masa sebelumnya.
“Belum terlampau lama ke belakang, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai filantropis dunia, telah mendeklarasikan ke publik bahwa ia menyumbang lebih seribu rumah di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja dilantakkan oleh bencana alam, likuifaksi," tulis ia.
Orang tersebut juga memaklumatkan bahwa ia menyumbang beberapa ribu unit rumah yang telah diterjang oleh badai gempa bumi di Nusa Tenggara Barat.
Hingga kini, sekian tahun kemudian, semua deklarasi itu, adalah hampa belaka.
Yang lebih hebat lagi, sang pemberi janji, diganjar dengan penghargaan Bintang Mahaputra. Hebat khan?” ujar Hamid.
Peristiwa di Era Bung Karno
Hamid menceritakan, pada masa Presiden Soekarno, era 50-an, sang presiden pernah menerima sepasang suami isteri di Istana Negara. Mereka adalah Raja Idris dan Ratu Markonah.
“Mereka mengklaim diri sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di Jambi. Mereka mendeklarasikan bisa membantu pembebasan Irian Barat," sambung ia.
Semua mengagumi kedua orang tersebut. Tepuk tangan dan senyum sumringah para pejabat di negeri ini terhambur lepas.
Berbunga-bunga. Hebat.
Kedok penipuan pun tersingkap beberapa hari kemudian. Raja Idris ternyata adalah pengayuh becak, sementara Ratu Markonah adalah pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah.
"Para pejabat terkibuli secara sistematis, yang sekaligus berarti, dua orang telah melecehkan daya nalar pejabat kita ketika itu. Kita pernah juga dikagetkan oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar," sambung ia.
Ia mengklaim bahwa ada harta karun besar yang bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang negara.
Harta tersebut berupa emas batangan, sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran, tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.
Heboh luar biasa. Rasa kagum muncul, adanya harapan dan optimisme pun kian berkecambah.
"Sebentar lagi Indonesia bebas dari utang," ujarnya.
Menko Kesra Ketika itu, Jusuf Kalla, meminta Said Agil datang menemuinya. Kementrian Agama di bawah kordinasi Kementerian Kesra.
Jusuf Kalla (JK) lalu memberi hitungan dengan enteng. Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, kurang lebih Rp 1500 trilyun.
Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi, panjang truk adalah 5 meter, maka dibutuhkan jejeran truk sepanjang 5 km,
"Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batutulis?, tanya Jusuf Kalla. Menteri Agama terdiam lesu.
Sekali lagi, akal sehat pejabat dipreteli. Logika berpikir para pejabat dianiaya.
Sayangnya, semua itu berdampak kepada masyarakat. Setidaknya, masyarakat mempercayai kebohongan yang sistematis seperti demikian.
Tahun 2007, sidang kabinet dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tiba-tiba saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, melapor dengan semangat berapi-api.
‘Bapak Presiden, sebentar lagi Indonesia akan memiliki tiga kilang minyak baru. Dua di antaranya di kampung Pak Wapres JK, yakni di Pulau Selayar dan Parepare,’ ujarnya.
Tak membutuhkan waktu terlampau lama, Wapres, Jusuf Kalla, langsung angkat bicara.
"Sebaiknya para menteri bila memberi laporan ke sidang kabinet, memeriksa betul akurasi data yang hendak disajikan," ujar Jusuf Kalla.
Mohon menggunakan logika yang benar. Ada dua persyaratan untuk membangun kilang minyak.
Pertama, harus dekat dengan sumber daya minyak. Kedua, dekat dengan pasar penjualan.
Kedua hal itu tidak ditemukan di Parepare dan Selayar. Parepare yang merupakan kampung Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, hanya tempat bertransaksi ikan terbang,
Dengan nada kecewa, Jusuf Kalla menguraikan lebih lanjut. Tidak mungkin pengusaha dari Kuwait yang Menteri ESDM sebutkan itu sebagai investor, akan membangun kilang minyak di tiga tempat di Indonesia.
‘Dari mana uangnya? Utang cicilan mobil Toyota di kantor saya di Makassar saja belum dilunasi,’ tegas Jusuf Kalla,” cerita Hamid Awaluddin dalam tulisannya.