SuaraSumsel.id - “Sudah sampai ya, tidak tersesatkan?, tinggal ikutin jalan aspal. Mobilnya digeser sedikit ke kiri, ada banyak ranting di pohon-pohon tinggi ini. Biasanya, penduduk sini, sudah tahu di mana posisi parkir,” kata pria yang muncul dari jalan setapak di pintu masuk kaki bukit.
Sapaan nan ramah dilontarkan saat mengetahui ada kunjungan para tamu. Pria kelahiran 1963 ini mengetahui betul, jika kedatangan tersebut ialah orang asing alias bukan penduduk setempat.
Kedatangan pada malam hari bukan masalah. Karena ia telah menyediakan kamp yang juga merupakan tempat tinggal bersama keluarganya.
Kamp dengan kontruksi bangunan sebagian dari kayu ini bisa disinggahi pendatang untuk sekadar melepas lelah dari perjalanan selama delapan jam dari kota Palembang, Sumatera Selatan.
Banyak pohon karet, dan pohon hutan lainnya dengan ketinggian tertentu seolah menjadi pagar, pembatas jalan, dan barisan penerima para tamu di kaki bukit.
Tulisan Bukit Cogong ialah penanda telah memasuki kawasan bukit besar yang berada di sebelah barat lanskap Sumatera bagian Selatan ini.
![Pintu masuk di kaki Bukit Cogong [Tasmalinda/suara.com}](https://media.suara.com/pictures/original/2021/07/19/20001-pintu-masuk-di-kaki-bukit-cogong-tasmalindasuaracom.jpg)
Malam itu, angin pun bertiup sedang. Petanda musim kemarau, namun udara masih lembab. Kelembapan khas hutan tropis milik Indonesia.
Dengan penerangan yang cukup, sungguhan kopi hasil bumi bukit penyangga Taman Nasional Kerinci Sebelat atau TN Kerinci Sebelat ini pun pelengkap teman bertamu.
Sang penerima tamu, ialah Koordinator Hutan Kemasyarakatan (HKM) Bukit Cogong, Nibuansyah.
Meski begitu, siapa bisa sangka sejak dekade tahun 1970 an, hutan di bukit ini kerap dirambah termasuk oleh sosok Nibuansyah ini.
Menyambut tamunya, ia bersemangat bercerita mengenai masa lalunya tersebut. Kelompok perambah hutan di Bukit Lanskap Cogong. Nada bicaranya semangat mesti mengenang masa kelam.
Awalnya, mereka membuka pemukiman sekaligus pertanian. Tentu, bermula di kaki bukit dan namun lambat laut menyisir bagian atas bukit.
Ia pun membongkar cerita rayuan pemodal yang membutuhkan banyak balok kayu ke Pulau Jawa. Saat itu, perambahan dilakukan juga didukung hak kelola pesirah atau marga.
Dahulu puluhan keluarga transmigrasi Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas tidak punya lahan garapan. Mereka mengusulkan hak kelola pada pesirah pada lahan adat Padu Raksa di Bukit Cogong.
Sampai akhirnya di 1963, permohonan itu dipenuhi dengan lahan kelola 105 hektar (ha). Beberapa waktu selanjutnya datang pula warga program transmigrasi yang mengelola lahan 50 hektar lainnya.
Baca Juga:Karyawan Hotel dan Restoran di Sumsel Banyak Belum Divaksin COVID-19, Ini Langkah PHRI
Makin ramai penduduk, maka terbentuk pemukiman diberi nama Desa Sukakarya. “Saya generasi kedua di sini. Orang tua saya datang sekitar 1961. Tiga tahun kemudian, saya lahir di desa ini. Kami membuka lahan, beramai-ramai jual kayu,” aku bapak tiga anak ini.
Sekitar tahun 1970 an, kayu hutan ditawar sangat menggiurkan dan mahal. Untuk Kayu Tembesu (Fagraea fragran Roxb) dihargai tinggi karena dibutuhkan bagi pembangunan di Pulau Jawa.
Rayuan yang semakin kencang membuat masyarakat pun makin banyak yang mengambil kayu hutan. “Saya juga perambah, waktu itu,” aku Nibuansyah ini.
Tidak hanya bukit Cogong, dua bukit lainnya yakni Bukit Gantan dan Bukit Botak menjadi korban perambahan.
Dua bukit ini juga bagian penyangga TN Kerinci Sebelat meski saat ini sudah terbelah oleh jalan lintas tengah Sumatera.
![Nibuansyah (kiri) bersama Ujang Syahruddin, masyarakat di Bukit Cogong [Tasmalinda/suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/07/19/32593-nibuansyah-kiri-bersama-ujang-syahruddin-masyarakat-di-bukit-cogong-tasmalindasuaracom.jpg)
Ketiga bukit ini berdekatan, seolah membentuk pagar lindung di gugusan bukit bagian barat Sumatera Selatan ini.
Lambat laun, bukit kian gersang dan gundul. Sempat di dekade berikutnya bencana longsor seolah senang bertamu kala musim hujan. Beberapa lapisan tanah bergerak menuruni yang mengancam pemukiman dan lahan pertanian milik masyarakat di kaki bukit.
Ia mengaku tidak hapal betul seberapa sering bencana longsor telah terjadi sepanjang tahun setelah pembalakkan dan perambahan besar-besaran tersebut.
Namun data diperoleh, proses perambahan masih terjadi sampai tahun 1980 an. Setelah itu, masyarakat kemudian menanam tanaman musiman.
Desa Sukakarya mengalami banjir besar dan longsor tahun 1993. Pada 1997, Desa ini pun pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan atau karhutla nan hebat.
Nibuansyah hanya teringat pada ketakutan bukit akan longsor dan berdampak merugikan. Pengalaman banjir dan longsor di tahun 1993 ini ibarat mimpi buruk bagi Nibuansyah.
Tidak ada korban jiwa pada peristiwa itu, namun pergerakkan bukit mengubah topografi sekaligus merusak apa yang sudah ditanam. Banyak kerugian dialami.
Dari peristiwa ini, Nibuansyah tergerak menjadi salah satu motor penggerak pemulihan kawasan bukit.
![Sumber mata air di Bukit Cogong [Tasmalinda/suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/07/19/87009-sumber-mata-air-di-bukit-cogong-tasmalindasuaracom.jpg)
Manurut ia, tidak mudah mengajak dan mengubah perilaku masyarakat menyelamatkan hutan. Apalagi berbicara mengenai peran hutan sebagai sumber oksigen manusia bernafas.
Meski minuman kopi yang disajikan di kamp, lambat laun menyusut dari dalam gelas. Nibuansyah belum lelah berbagi kisah masa lalunya. Tulisan di pucuk pintu masuk kamp itu berbahasa daerah,
“Sekato Sepemendangan. Ke hulu Kinen Ke hilir Ujar Jawi,” sangat berfilosofi.
Ia mengungkap, pepatah itu sebagai pedoman hidupnya kini, terutama bagaimana menjaga kawasan hutan Bukit Cogong.
![Pemondokan di pendakian Bukit Cogong [Tasmalinda/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/07/19/63632-pemondokan-di-pendakian-bukit-cogong-tasmalindasuaracom.jpg)
“Termasuk bagaimana generasi muda saat ini yang harus menjadi pelestari alam bukan hanya pecinta alam. Jika cinta saja, kadang lupa melestarikan. Jika melestarikan, tentu cinta hutan dan alam,” imbuh ia.
Kata Nibuansyah, banyak pengunjung yang datang ke kawasan hutan, tapi lupa melestarikan hutan.
“Masyarakat setempat atau masyarakat pengunjung hanya ingin menikmati, namun belum melestarikan Bukit Cogong sebagai kekayaan daerah,” sambung ia.
Penyuka musik lawas ini mengungkapkan perlu komunikasi khusus menyampaikan peran dan fungsi hutan, baik pada anggota Hutan Kemasyarakatan (HKM) terkhusus bagi pengunjung.
Bersambung..
Baca Juga:Sumsel Genjot Produksi Padi lewat Program Optimalisasi dan Intensifikasi Lahan