Dalam satu tahun terakhir harga karet sangat fluktuatif dari harga Rp 6.000 sampai harga Rp 11.000 per kilogram. Dalam tiga bulan terakhir harga karet stabil di kisaran harga Rp 10.000 per kilogram.
“Dari hasil analisis sederhana, petani memproduksi slab tebal, mereka memerlukan tenaga kerja per minggu untuk penyadapan selama 5 hari dari pukul 07.00 – 11.00 dan pengambilan karet yang sudah beku dari dalam mangkok dilakukan hanya satu kali pada hari ke 5, pengumpulan hasil karet ini memerlukan waktu lebih kurang sekitar 1 jam,” terangnya.
Jika memproduksi lateks pekat, petani harus mengambil getah karet setiap hari dan tidak lebih dari dari satu jam setelah penyadapan agar lateksnya tidak beku, sehingga memproduksi lateks pekat, dengan memerlukan tambahan waktu satu jam per hari selama 4 hari.
![Sosialisasi Teknologi Lateks Pekat [Dok.Unsri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/12/23/64914-sosialisasi-teknologi-lateks-pekat-dokunsri.jpg)
“Harga lateks pekat saat ini sekitar Rp 20.000 per kilogram dan diharapkan terus meningkat seiring berkembangnya industri pengolahan karet berbahan baku lateks pekat ke depannya. Jadi ada selisih harga sekitar Rp 10.000 per kilogram jika beralih dari memproduksi slab tebal atau bokar ke lateks pekat,” terang ia.
Baca Juga:Kementan Gandeng Mahasiswa dan Kampus Pertanian di Seluruh Indonesia
Dari hasil perhitungan diperlukan biaya tambahan untuk tenaga kerja dan bahan kimia sekitar 30% atau sebesar Rp 3.000 per kilogram jika petani memproduksi lateks pekat.
“Sehingga keuntungan petani meningkat sebesar 70% atau sekitar Rp 7.000 per kilogram,” ucapnya.
Rata-rata produksi karet petani di lima UPPB ini adalah sekitar 100 kg per minggu sehingga produksi bokar dengan harga jual Rp 10.000 per kilogram, petani hanya memperoleh penghasilan sebesar lebih kurang Rp 1 juta per minggu atau setara dengan Rp 4 juta per bulan.
“Jika mereka memproduksi lateks pekat mereka memperolah tambahan pengahasilan sebesar 70% menjadi lebih kurang sebesar Rp 1,7 juta per minggu atau setara dengan Rp 6,8 juta per bulan,” ungkapnya.
Dari pengenalan ini, petani di lima UUPB akan beralih ke produksi lateks pekat dengan total produksi sekitar 50 ton perminggu. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan perputaran uang di wilatah tersebut mencapai Rp 350 juta per minggu atau sekitar Rp 1,4 miliar per bulan,
Baca Juga:Tim Ekpedisi Mapala Unsri Sukses Gapai Puncak Elbrus di Rusia
“Ini tentu akan mampu menggerakkan ekonomi masyarakat menjadi lebih produktif dan akan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik,” pungkasnya.