“Sehingga keuntungan petani meningkat sebesar 70% atau sekitar Rp 7.000 per kilogram,” ucapnya.
Rata-rata produksi karet petani di lima UPPB ini adalah sekitar 100 kg per minggu sehingga produksi bokar dengan harga jual Rp 10.000 per kilogram, petani hanya memperoleh penghasilan sebesar lebih kurang Rp 1 juta per minggu atau setara dengan Rp 4 juta per bulan.
“Jika mereka memproduksi lateks pekat mereka memperolah tambahan pengahasilan sebesar 70% menjadi lebih kurang sebesar Rp 1,7 juta per minggu atau setara dengan Rp 6,8 juta per bulan,” ungkapnya.
Dari pengenalan ini, petani di lima UUPB akan beralih ke produksi lateks pekat dengan total produksi sekitar 50 ton perminggu. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan perputaran uang di wilatah tersebut mencapai Rp 350 juta per minggu atau sekitar Rp 1,4 miliar per bulan,
Baca Juga:Kementan Gandeng Mahasiswa dan Kampus Pertanian di Seluruh Indonesia
“Ini tentu akan mampu menggerakkan ekonomi masyarakat menjadi lebih produktif dan akan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik,” pungkasnya.
Dengan demikian produksi lateks pekat dapat menjadi harapan petani ke depannya, karena harga karet tidak hanya ditentukan oleh permintaan panrik crumb rubber yang sangat tidak stabil dan cenderung terus menurun dalam 5 tahun terakhir ini.
![Sosialisasi Teknologi Lateks Pekat [dok. Unsri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/12/23/99565-sosialisasi-teknologi-lateks-pekat-dok-unsri.jpg)
Produk lateks pekats nantinya dapat dikembangkan menjadi beberapa produk turunan yang dapat meningkatkan penghasilan petani, salah satu yang sudah disiapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Musi Banyuasin adalah dengan didirikannya pabrik aspal karet di kota Sekayu ibu kota Kabupaten Musi Banyuasin.