Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Kamis, 15 Mei 2025 | 20:06 WIB
pesangon pekerja sekolah islam terpadu di Palembang tak dibayar

SuaraSumsel.id - Sebanyak 12 mantan karyawan dari Yayasan Izzatuna, sebuah yayasan pengelola sekolah Islam ternama di Palembang, resmi melapor ke Polda Sumatera Selatan.

Langkah hukum ini diambil setelah mereka merasa diabaikan selama hampir tiga tahun terkait hak pesangon yang hingga kini belum dibayarkan.

Total nilai pesangon yang mereka tuntut mencapai Rp286 juta.

Ironisnya, gugatan mereka sebelumnya telah dimenangkan di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kelas 1A Palembang, bahkan telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan pihak yayasan.

Baca Juga: Harga Emas Perhiasan di Palembang Terjun Bebas, Segini Harganya Sekarang

Namun, hingga laporan ini dibuat, pengurus Yayasan Izzatuna Palembang tetap menolak menjalankan amar putusan tersebut.

“Semuanya sudah jelas dalam putusan hakim PHI Palembang nomor 77 tahun 2023. Hakim menyatakan bahwa yayasan harus membayar pesangon karena PHK dilakukan dengan alasan efisiensi. Tapi sampai sekarang, tak ada niat baik dari mereka,” ujar Rudi F Siregar, kuasa hukum dari para eks karyawan, didampingi tim hukumnya Bharata Agustina dan Julli Rachmanto.

Rudi menjelaskan bahwa para kliennya telah melalui semua proses hukum sejak 2022.

Dari sidang perdata hingga kasasi, mereka memegang kemenangan hukum yang sah. Namun tak kunjung menerima haknya, mereka pun menempuh jalur pidana.

Laporan ke Polda Sumsel ini didasarkan pada dugaan pelanggaran Pasal 156 ayat 1 Jo Pasal 185 ayat 1 UU RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Rudi menegaskan bahwa pihak yayasan telah melawan hukum dengan tidak melaksanakan putusan pengadilan.

Baca Juga: Cocok untuk Liburan Keluarga, Ini 5 Pilihan Hotel Murah di Palembang

Salah satu mantan karyawan, Hendrawan Mohammad Ilyas (40), yang dulunya menjabat sebagai 'mudir' (pengasuh pondok pesantren), mengaku pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan bertahap sejak 2022.

Selain dirinya, terdapat tenaga pengajar, petugas keamanan, hingga wakil bendahara yayasan yang ikut di-PHK.

"Ada yang sudah bekerja lagi, tapi ada juga yang masih menganggur sampai sekarang. Padahal beberapa dari kami sudah mengabdi belasan tahun, sejak 2007," kata Hendrawan dengan nada kecewa.

Kasus ini pun menjadi sorotan karena menyangkut lembaga pendidikan berbasis agama yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab sosial.

Namun kenyataannya, mereka justru terlibat sengketa tenaga kerja yang belum selesai hingga kini, bahkan setelah ketukan palu hakim.

Kini, para eks karyawan berharap pihak kepolisian bisa mengambil langkah tegas terhadap dugaan pidana yang dilakukan pengurus Yayasan sekolah islam di Palembang ini.

Mereka juga menyerukan agar lembaga-lembaga pendidikan lainnya belajar dari kasus ini—bahwa keadilan pekerja bukan sekadar urusan administratif, tetapi soal martabat dan kehidupan.

Ilustrasi pesangon sekolah islam di Palembang

Pengakuan mantan pekerja

Salah satu 12 eks karyawan tersebut adalah Hendrawan Mohammad Ilyas (40) yang saat itu menjabat sebagai ‘Mudi’ mengungkapkan PHK tersebut berlangsung secara bertahap sepanjang tahun 2022 silam.

“Kami telah melaporkan Ketua Yayasan Izzatuna Palembang atas dugaan melanggar Pasal 156 ayat 1 Jo Pasal 185 ayat 1 UU RI Nomor 6 tahun 2023 tentang peraturan pemerintah pengganti undang nomor 2 tahun 2022 tentang ciptakerja. Karena belum juga membayarkan pesangon klien kami dan rekannya selaku eks-karyawan Yayasan Izzatuna Palembang,” ungkap Rudi F Siregar selaku kuasa hukum mantan karyawan Yayasan sekolah islam.

Rudi menyebut sebelum akhirnya menempuh upaya hukum pidana, pihaknya menjalani serangkaian tahapan gugatan perdata di PHI sejak tahun 2022 silam.

Load More