Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 09 Maret 2025 | 14:07 WIB
Perayaan Hari Perempuan Internasional 2025 di Palembang, Sumatera Selatan

SuaraSumsel.id - Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) 2025 di Sumatera Selatan menjadi momentum penting untuk membahas perjuangan perempuan di sektor pertanian. Solidaritas Perempuan Palembang bersama berbagai organisasi masyarakat sipil menggelar diskusi publik bertema "Petani & Feminis Populer", sebuah perlawanan kolektif terhadap penindasan.

Ketua Solidaritas Perempuan Palembang, Mutia Maharani menegaskan jika peringatan hari perempuan hendaknya bukan sekadar selebrasi tetapi juga menjadi ajang refleksi mendalam tentang realitas yang dihadapi perempuan petani.

"Gerakan feminis populer bukan hanya wacana di ruang publik, tetapi lahir dari realitas kehidupan petani perempuan yang terus mengalami penindasan. Kami ingin generasi muda memahami bahwa perjuangan ini bukan hanya milik petani perempuan, tetapi perjuangan kita semua," ujar Mutia dalam pembukaan diskusi.

Sepanjang tahun 2023-2024, kasus kekerasan terhadap petani perempuan akibat konflik sumber daya alam mengalami lonjakan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan survei Komisi Nasional Perempuan sebanyak 401.975 petani perempuan menjadi korban eksploitasi, penggusuran, hingga kriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka.

Baca Juga: Palembang Dikepung Banjir! Hujan Deras Semalaman Bikin Warga Panik

Situasi ini menunjukkan bahwa petani perempuan tidak hanya berhadapan dengan tantangan ekonomi, tetapi juga penindasan sistemik yang semakin memperburuk kondisi kehidupan mereka.

Sebagai respons terhadap realitas ini, gerakan petani internasional La Via Campesina mempromosikan Feminisme Petani Populer, sebuah konsep perjuangan yang mengakar kuat dalam realitas kelas pekerja pedesaan. Gerakan ini menawarkan solusi sistemik melawan eksploitasi dan ketimpangan gender di sektor agraria.

Mutia menjelaskan beberapa prinsip utama dalam feminisme populer yakni berakar di Pedesaan yang menekankan bahwa perjuangan ini berasal dari pengalaman nyata perempuan tani di lapangan.

"Perlu prinsip Identitas kolektif sebagai gerakan yang menolak dominasi kapitalisme dan patriarki di sektor agraria. Melawan penindasan kelas dan ras, yakni petani perempuan tidak hanya tertindas karena gender, tetapi juga oleh sistem kelas dan ras yang tidak adil," ujarnya menjelaskan.

Hubungan harmonis dengan alam dalam melawan eksploitasi sumber daya alam dan menolak perampasan tanah serta air oleh korporasi.

Baca Juga: Ini Jadwal Imsakiyah 9 Ramadan 1446 Hijriah untuk Palembang, Prabumulih, dan Lubuklinggau

"Prinsip pengakuan peran ganda perempuan, mengakui bahwa perempuan tidak hanya bekerja di sektor produktif, tetapi juga menanggung beban kerja domestik dan reproduktif, karena itu mendorong solidaritas antara perempuan, laki-laki, dan kelompok minoritas dalam melawan ketidakadilan," ucapnya.

Selain diskusi, kegiatan ini juga diisi kampanye di taman kota Kambang Iwak Park, dan aksi pertunjukan musik.

Diskusi publik Hari Perempuan Internasional di Palembang

Jalan Feminisme Populer La Via Campesina

Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia, JJ Polong menjabarkan perjalanan panjang menuju keadilan gender dalam Gerakan La Via Campesina (LVC) yang telah menjadi ruang perjuangan bagi perempuan tani di seluruh dunia.

"Sejak awal berdirinya pada tahun 1993, memperjuangkan hak-hak perempuan pedesaan, kesetaraan gender, serta kedaulatan pangan. Perkembangan signifikan terjadi pada Konferensi Internasional LVC di Tlaxcala, Meksiko (1996). Sejak saat itu, keterlibatan perempuan semakin kuat, ditandai dengan terbentuknya Komisi Perempuan Internasional (International Women Commission/IWC), yang kemudian berkembang menjadi Artikulasi Perempuan LVC," ujarnya.

Feminisme tani populer yang diperjuangkan LVC bukan sekadar gerakan perempuan, tetapi juga strategi politik untuk transformasi struktural. Gerakan ini menekankan pentingnya kedaulatan pangan sebagai pilar utama untuk menciptakan kesejahteraan bagi perempuan pedesaan.

"Kedaulatan pangan bukan hanya tentang hak untuk memproduksi dan mengakses makanan, tetapi juga melawan model agribisnis kapitalis yang seringkali merugikan perempuan dan lingkungan," ucapnya.

Dalam perjuangannya, sejumlah tantangan utama yang dihadapi seperti sistem patriarki yang membatasi peran perempuan dalam pertanian, monopoli agribisnis yang menggantikan pertanian tradisional dengan praktik eksploitasi.

"Lalu kekerasan gender, baik dalam rumah tangga maupun di ranah sosial dan politik," ucapnya.

Salah satu pencapaian terbesar LVC adalah pengesahan Deklarasi Hak-Hak Petani oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2018. Deklarasi ini mengakui hak-hak perempuan tani, termasuk akses terhadap tanah, perlindungan dari kekerasan berbasis gender, dan hak atas kesehatan serta pendidikan. Ini merupakan tonggak penting dalam perjuangan perempuan tani guna memperoleh hak yang setara di sektor pertanian.

"Namun, tantangan tetap ada. Kapitalisme terus memperluas pengaruhnya di pedesaan, sementara banyak perempuan yang masih dikriminalisasi karena mempertahankan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam," ucapnya.

Sejak tahun 2008, LVC meluncurkan kampanye global "Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan". Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan pedesaan dan pekerja tani, sekaligus mendorong kebijakan yang lebih adil dan melindungi hak-hak perempuan.

Perjuangan Perempuan Seri Bandung, Ogan Ilir

Dalam diskusi tersebut juga menghadirkan para perempuan Desa Seri Bandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) yang  hingga kini terus berjuang merebut tanahnya yang diserobot oleh perusahaan nasional PTPN VII.

Dalam laporan Solidaritas Perempuan (SP) sebelumnya mengungkapkan 22 desa di Kabupaten Ogan Ilir bersengketa dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII unit Cinta Manis. Lahan yang menjadi sengketa antara masyarakat petani Ogan Ilir dengan pihak PTPN XIV, pada awalnya merupakan tanah pertanian yang dikuasai dan digarap masyarakat setempat.

SP mendata tanah yang menjadi perkebunan tebu oleh PTPN VII telah diolah masyarakat sejak tahun 1980-1983, namun HGU I seluas 6.512 ha baru diterbitkan sekitar tahun 1995. Sementara HGU II seluas 8.866,75 Ha baru diterbitkan tahun 2016. 

PTPN VII Cinta manis malah telah menggarap sekitar 20.089 ha lahan pertanian yang dikuasai oleh masyarakat setempat. Lahan tersebut terdiri dari tiga lokasi, masing-masing seluas 7.289 ha, 9500 ha dan 3.500 ha. 

Pada tahun 2016, Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) kembali menerbitkan SK HGU di atas lahan yang masih berkonflik, dengan Nomor: 2/HGU/Kem–ATR/BPN/2016 tentang Pemberian Hak Guna Usaha atas Nama Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis, seluas 8.866,75 Ha yang terletak di Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. 

Diuraikan dalam peta Bidang Tanah Nomor 35/OKI/2003 tanggal 29 Desember 2003 (direvisi tanggal 16 Juni 2008) NIB.04.16.00.00.00001 malah berada di Desa Ketiau, Desa Beti, Desa Tanjung Atap dan Desa Seri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

Pada September 2017, warga menuntut adanya peninjauan ulang HGU PTPN VII Cinta Manis saat beraudiensi dengan Kementerian ATR/BPN. "Kami sudah hampir 40 tahun kehilangan akses tanah akibat diserobot perusahaan, situasi ini membuat ekonomi sulit, sehingga yang paling merasakan ialah kami, perempuan ini," ujar Zubaidah pilu.

Load More