Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Sabtu, 21 September 2024 | 13:47 WIB
Hutan adat Tebat Benawa di Pagar Alam Sumatera Selatan

Peran Sungai Lematang setidaknya menghidupi dengan mengalir melintas pada lima kota dan kabupaten di Sumsel, yakni dari Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, kota Prabumulih dan kabupaten Muara Enim.

Budiono mengungkapkan luasan hutan adat Tebat Benawa mencapai 336 hektar (ha). Nama Tebat Benawa berasal dari kata Tebat atau danau kecil yang terdapat di hutan tersebut, sementara Benawa adalah nama pohon endemik yang hanya bisa dijumpai di hutan tersebut. 

“Pohon Benawa ini diceritakan secara turun temurun, jumlahnya hanya ada 1 dengan usia berpuluh tahun dan ukurannya sangat besar,” ucapnya.

Di hutan adat ini terdapat tiga mata air, yakni mata air Ringkeh, Ayek Puding dan Basemah, yang kemudian ketiganya mengalir ke Sungai Lematang. Hutan adat Tebat Benawa yang berada di kaki Bukit Patah disebutkan sejak tahun 1940 an sampai 1950 an mulai ditata untuk dialirkan ke pemukiman warga dusun.

Baca Juga: Eks JI Sumsel Evaluasi Paham Radikalisme, Komitmen Kembali ke NKRI

“Di Tebat (danau kecil), warga memelihara ikan, yang diperbolehkan diambil warga untuk dimakan,” ujarnya.

Di hutan ini diungkapkan Budiono masih banyak menyimpan pohon-pohon endemik iklim tropis. Seperti jenis pohon Medang, Rasamala, Meranti, sampai Kayu Lanang yang biasa digunakan sebagai pondasi dan bangunan rumah. 

“Banyak pohon yang ada di hutan ini, ada nama pohon jika bahasa daerah seperti pohon Tenam, Cemage, Mampat dan pohon-pohon asli (endemik)” ujarnya.

Hutan Adat Dijaga Puyang

Budiono menceritakan kerusakan hutan adat cenderung dilakukan warga datangan, mereka merambah dengan membuka hutan-hutan adat (hutan larangan), untuk berkebun. Peristiwa ini pernah terjadi antara tahun 1990 an atau di sekitar 1992.

Baca Juga: Fraksi-fraksi DPRD Prov Sumsel Sampaikan Pandangan Umum Raperda APBD TA 2025

Saat perambah datang dan merusak hutan adat, warga dengan cepat meresponnya. Warga desa pun menggelar rapat guna memberikan sanksi yang bertahap. Sanksi awalnya ialah berupa teguran langsung kepada masyarakat perambah tersebut, namun sayangnya teguran ini malah tidak diindahkan.

“Yang merusak, warga luar desa (datangan) mereka mencari lahan bertanam. Kami sepakat menegur, namun kemudian kami menindak dengan merusak langsung kebun mereka. Kami yakin jika dibiarkan akan semakin banyak yang datang dan merusak,” ucapnya tegas.

Beruntungnya setelah lahan dirusak warga maka masyarakat perambah pun pergi dengan sendirinya. “Kami membiasakan agar lebih berani mencegah demi adat dan lingkungan desa yang lestari. Karena kerusakan hutan adat akan membuat kerusakan pada banyak wilayah, bukan hanya desa Tebat Benawa dan pemekarannya desa Rempasai, karena hutan adat ini sumber penghidupan Basemah,” ujarnya menjelaskan.

Setelah peristiwa ini pun mendekati tahun 2004 sempat terjadi konflik Harimau Sumatera. Saat itu, Harimau Sumatera menyerang salah seorang perambah yang ingin membuka lahan di hutan adat untuk bertanam. “Kejadian ini makin membuat warga desa yakin, jika hutan adat pun dijaga puyang Harimau Sumatera jika tidak patuh,” ujarnya. 

Selain pohon endemik, hutan adat juga ditemui rotan sebagai vegetasi tutupan hutan. Rotan dan bambu ini pun diolah untuk kebutuhan rumah tangga, seperti wadah biji kopi, piring, gelas, tas, wadah ikan, keranjang, tudung saji.

Hutan adat Tebat Benawa di Pagar Alam Sumatera Selatan

Lekat Kenyakinan Dijaga Sesepuh

Load More