Fakta subjektif ini begitu aneh menurut Alex. Bagaimana mungkin seorang Michael Sablon yang sukses merevolusi sepakbola Belgia jadi nomor satu di dunia harus ikuti budaya Singapura, negeri rangking 148 FIFA? Lalu “haruskah Sablon beradaptasi dengan kepelatihan sepakbola Singapura yang masih menerapkan metode tahun 80-an?” kritiknya.
Akhir tulisan Alex menjadi gong yang sangat sentimental. Dengan puitis, ia mengutip Mary Ann yang mengatakan “Melihat langsung bulan bersinar berbeda dengan melihatnya dari belahan bumi yang lain.” Ya, Sablon bukan cuma melihat langsung bulan.
Ia juga hidup bersama sinar bulan tersebut, bukankah sebaiknya praktisi lokal mengikuti Sablon?.
"Tulisan Alex menjadi menginspirasi saya untuk merenda cerita pada konteks sepakbola Indonesia," sambung Coach Yoyo.
Baca Juga: KONI Sumsel Jaring Ketua Umum, Ditentukan Oleh 87 Voters
Cerita berawal dari Bernard Schumm, Direktur Teknik PSSI di era 90-an. Schumm membawa ide revolusioner.
Salah satunya adalah pesepakbola haram melakukan static stretching. Pelatih asal Jerman itu mengatakan stretching hanya buang-buang waktu.
Ide Schumm sulit diterima oleh pelatih lokal.
"Ketika itu static stretching masih menjadi budaya di kepelatihan sepakbola kita. Schum secara objektif telah jelaskan alasan ilmiah kerugian static stretching untuk sepakbola. Tapi penjelasan objektif tersebut terus dibantah oleh penjelasan subjektif tak masuk akal. Kalimat “Schumm benar, tapi stretching sudah menjadi budaya pemain kita,” menjadi pembenar paling popular.
Era Schumm berlanjut ke Peter Withe asal Inggris. Di awal 2000an menukangi tim nasional, Withe mencoba menerapkan sistim pertahanan Zona Marking.
Baca Juga: Kemarau Berakhir, Heli Pemadam Karhutla Sumsel Pulang Ke Rusia Dan Australia
Implementasinya dengan menghilangkan libero dan main flat back four. Lagi-lagi ide baru ini dikritik banyak praktisi lokal. Umumnya semua merasa ide Withe sangat bagus. Tapi tidak cocok dengan budaya sepakbola Indonesia yang terbiasa main libero.
Withe yang digadang oleh PSSI untuk “mengajarkan” sepakbola yang benar mulai mengalah. Ia pun akhirnya kembali mainkan sistim trio bek di belakang.
Seingat penulis, sebenarnya Withe mengakali public. Ia bilang kembali ke gaya lama. Padahal implementasinya, Withe tetap memainkan zona marking dengan modifikasi flat back three.
Kejadian paling gres adalah kiprah Pieter Huistra, Dirtek PSSI yang sempat membesut PBR di Piala Jendral Sudirman.
"Meneer Belanda ini menjadi bahan pergunjingan publik sepakbola kita, setelah gagal total bersama PBR. Cacian “sepakbola Indonesia jangan dipaksa mengikuti gaya sepakbola Belanda!” menjadi begitu popular.
Semua pihak anehnya seolah seperti menyetujui asumsi sesat tersebut. Seolah jika Pieter ingin berhasil, ia harus mengikuti gaya bermain Indonesia.
Berita Terkait
-
Pelatih Hendri Susilo Bakal Rombak Pemain Sriwijaya FC: Butuh Kekuatan Baru
-
Tiket Bagi Suporter Sriwijaya FC di Stadion Jakabaring Turun Rp5000 Menjadi Rp55000
-
Pertanyakan Transparansi, Singa Mania: Suporter Ingin Beli Saham Buat Bantu Klub
-
Profil Hendri Susilo, Pelatih Baru Sriwijaya FC: Mantan Pelatih Persiraja Berdarah Padang
-
Manajemen Sriwijaya FC Tunjuk Hendri Susilo Gantikan Coach Yoyo, Ini Sederet Prestasinya
Terpopuler
- Istri Menteri UMKM Bukan Pejabat, Diduga Seenaknya Minta Fasilitas Negara untuk Tur Eropa
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas MPV 1500cc: Usia 5 Tahun Ada yang Cuma Rp90 Jutaan
- 5 Rekomendasi Pompa Air Terbaik yang Tidak Berisik dan Hemat Listrik
- Diperiksa KPK atas Kasus Korupsi, Berapa Harga Umrah dan Haji di Travel Ustaz Khalid Basalamah?
- 5 AC Portable Mini untuk Kamar Harga Rp300 Ribuan: Lebih Simple, Dinginnya Nampol!
Pilihan
Terkini
-
5 Desain Rumah Minimalis dengan Rooftop yang Stylish dan Fungsional
-
5 Rekomendasi Desain Taman Depan Rumah Subsidi yang Estetis dan Hemat
-
STOP KREDIT! Ini Cara Beli Mobil Pertama Tanpa Riba dan Utang
-
Daftar 10 Link DANA Kaget Terbaru 4 Juli 2025, Cari Cuan Tetap Waspada Penipuan Saldo Digital!
-
Hemat Jutaan! Ini Dia Trik Jitu Bangun Rumah Tipe 36 dari Nol Tanpa Ngutang!