Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 29 April 2022 | 13:52 WIB
Kisah Nenek dan Kakek di Palembang yang tinggal di rumah reyot [Suara.com/Melati Arsika Putri]

SuaraSumsel.id - Sepasang suami istri lansia di Palembang Sumatera Selatan atau Sumsel tinggal di sebuah rumah berdinding kayu yang tampak reyot dan sudah dimakan rayap.

Mbah Sawinah begitulah wanita lansia itu memperkenalkan dirinya kepada Suara.com. Sambutan ramah dengan senyuman ia lontarkan saat membukakan pintu.

Di depan halaman rumahnya, Mba Sawinah bercerita saat pertama kali tinggal di Jalan Tanjung Raya Rt 23 Rw 05 Kelurahan Sukodadi, Kecamatan Sukarami, tepatnya di dekat Langgar al-Ikhlas. Saat itu, sekitar rumahnya masih dipenuhi pohon-pohon besar.

"Dari rumah gedong belum ada, mbah sudah d isini. Masih ada ular berkeliaran. Ini pondok tua, sekarang sudah banyak yang bolong. Seperti inilah pondok mbah ini," ujarnya sembari menunjuk rumah miliknya, Kamis (28/4/2022).

Baca Juga: Pemudik Mulai Padati Pulau Sumatera, Ini Prakiraan Cuaca Sumsel Jumat 29 April 2022

Bersama suaminya, Mbah Suparman, mereka tinggal sedari tahun 1975. Awalnya, mereka diberikan tanah oleh kreyo atau lurah zaman dulu untuk dimiliki seumur hidup.

"Dibangun rumah ini sama suamiku, jadilah tempat kami tinggal sampai sekarang. Ini (sembari menunjuk pohon kapuk randu di sebelah kiri rumah) dari masih kecil sampai tumbuh sebesar ini, usianya sama kayak rumah mbah," sampainya.

Selama 47 tahun dihuni, rumah milik Mbah Sawinah dan Mbah Suparman jarang dilakukan renovasi. Bahkan saat ini, pinggiran kayu bagian sudut rumahnya sudah berlubang kecil. Begitu juga bagian atap, hanya dilapisi triplek untuk mencegah kebocoran saat hujan.

"Mau dibangun duitnya dari mana, rumah yang lain gedong semua rumah saya seperti ini gak apa-apa sebenarnya. Asalkan jangan bocor semua. Kalau hujan harus siapkan baskom dan panci di bagian dalam ini, biar nampung airnya," lanjutnya.

Apalagi saat ini keluhan sakit di bagian lututnya kian terasa ketika berjalan. Sehingga membuatnya sering berhenti, bahkan untuk sampai ke warung di dekat langgar bisa puluhan kali berhenti.

Baca Juga: Ekspor Minyak Goreng Dilarang Mulai Hari Ini, Harga TBS Sawit Sumsel Terjun Bebas Rp1.000 Per Kilogram

"Saya bejalan masih kuat, tapi sakit disini, maaf ya (sembari menyingkap kainnya hingga batas lutut) yang ini sakit menyut-menyut, jadinya mudah capek," ucap Mba Sawinah menunjukkan bagian belakang lututnya yang sering sakit.

"Kadang mau tarawih itu kepingin sekali, tapi kaki gak kuat lagi. Alhamdulillah, masih bisa puasa. Mbah ini sudah gak bisa bekerja lagi, kaki ini nah sakit. Jadi di rumah aja," tambahnya.

Sebelum mengalami sakit di bagian kaki, Mba Sawinah masih sanggup berusaha mencari rezeki membuat atap dari alang-alang. Dirinya pun memanfaatkan belara (bahasa jawa) atau pelepah daun kelapa kering untuk dijadikan sapu lidi.

Sementara sang suami bekerja sebagai pencetak batu bata dulunya. Namun saat ini Mbah Suparman sering mengalami sakit pinggang dan bermasalah dalam hal pendengaran. 

Melihat kondisi sepasang suami istri renta ini membuat warga sekitar iba dan memberikan bantuan semampu mereka. Tak henti-hentinya, Mba Sawinah berterima kasih ketika Ia menceritakan para tetangganya yang berbaik hati membagi rejeki kepada mereka.

Mba Sawinah bukanlah asli Palembang, melainkan perantau dari Tanah Abang Jakarta. Ketika ditanya usia, dirinya menjawab sudah hidup sejak zaman penjajahan Jepang.

Kala itu, Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Sementara Mbah Sawinah masih seorang gadis belia berumur 10 tahun. Terkenang dengan jelas saat dirinya hidup berdampingan Nippon.

"Umur saya gak tahu, saya sudah hidup dari zaman Jepang. Itu saya sekolah masih kecil. Sepulang sekolah, saya sering minta roti kepada tuan Jepang, dikasih rotinya, saya bagi ke kawan-kawan. Saya bilang minta lagi ke tuan Jepang, dijawab sama dia, iyah, iyah, iyah," ucap Sawinah menirukan logat tentara Jepang.

Terkenang Sawinah saat kecil mengenakan celana yang terbuat dari karet tipis. Dirinya menyebut celana tersebut dengan nama 'celana monyet'. Tak hanya itu, Ia pun bercerita ketika menggunakan alas kaki dari pelepah jantung pisang.

"Itu yang buat tuan Jepang. Saya dulu bandel kecilnya, pulang sekolah pernah disabet sama tuan Jepang pakai kayu besar. Sudah itu saya tidak mau sekolah lagi," kenangnya.

Tak hanya sering dipecut tentara Jepang, dirinya bercerita sempat diajak tidur bersama tentara Jepang, namun ia segera menolak dan pulang ke rumahnya.

"Tidur di sini ya sama saya, gitu katanya. Saya jawab, gak mau tuan saya mau pulang. Rumah saya dibolongin sama dia, supaya kedinginan. Zaman Jepang dulu bukan main ini, ibu saya itu tukang cuci dulunya," lanjutnya.

Walau sudah di umur senja, cara Mbah Sawinah bercerita masih begitu lantang dan terstruktur. Kerap kali juga Ia melontarkan kelakar atau candaan di sela-sela mengingat masa lalunya. Gelak tawa mewarnai percakapan sore itu.

Di tempat yang sama, salah satu warga terdekat Mbah Sawinah yang juga pengurus Langgar Al-Ikhlas, Selamet Berowi membenarkan kondisi Mba Sawinah dan Mba Suparman bukanlah termasuk orang yang berkecukupan.

"Saya tinggal di sini tahun 1986, mereka berdua suami istri itu emang orang yang gak punya. Pekerjaan suaminya itu menanam pisang, ubi, ngangon ayam. Namanya ubi dan pisang mana cukup, gak tetap juga pekerjaannya. Dari masyarakat sekitar sini yang memberi untuk Mba Parman dan Mbah Sawinah," ujarnya.

Dirinya juga mengatakan, Mba Sawinah dan Mba Suparman tidak dikaruniai seorang anak sehingga diusia tua ini mereka menyibukkan diri mengurus tanaman dan ternak.

Selamet mengaku salut dengan Mba Sawinah dan Mba Suparman. Walaupun kondisi serba kekurangan, diakui Selamet mereka berdua masih menyempatkan untuk berbagi dengan tetangga terkhusus anak yatim piatu.

"Kalau buah pisang atau ubi miliknya itu panen, mereka suka bagi-bagi ke warga. Mereka sering bermasyarakat, sudah renta sekarang ini gak begitu aktif lagi. Mba Sawinah ini walau susah dia tetap peduli sama orang lain," pungkasnya.

Kontributor: Melati Warsika Putri

Load More