Nilai putusan ganti rugi itu sebenarnya belum seberapa jika dibandingkan dengan ganti rugi yang harus dibayarkan perusahaan Kelapa Sawit Kalista Alam yang mencapai Rp366 miliar dan terbukti merusak habitat orangutan Sumatera di Rawa Tripa, Aceh.
Meski begitu, keputusan Pengadilan Tinggi, nomor 51/PDT/2016/PT.PLG yang menghukum anak perusahaan PT.SM bisa menjadi sejarah positif dalam penegakan hukum kerusakan lingkungan di Indonesia.
Amar putusan Pengadilan Tinggi waktu itu mengacu pada penghitungan empat kerugian yang muncul dalam dakwaan (kerugiaan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla).
Perhitungan kerugian itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang memuat empat kerugian ekologis.
Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla mengakibat kerusakan pada tanah gambut akibat kehilangan fungsinya menyimpan air, kerugian akibat kehilangan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika.
Selain itu, kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon release) dan kerugian keempat adalah penghitungan atas kerugian ekonomi yang mengacu pada masa usia produktif tanah/lahan.
Namun Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada, Agung Wardana sempat mengkritik mengenai eksekusi hukum atas keputusan pengadilan atas perkara karhutla.
Menurut dia, eksekusi setelah keputusan hukum tetap menjadi kewenangan pengadilan. Pihak pengadilan akan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan data mengenai aset perusahaan yang akan dieksekusi.
“Untuk itu, KLHK harus meminta data dari perusahaan, dari PPATK untuk transaksi keuangannya dan dari BPN untuk data HGU. Masalahnya berlarut, jika perusahaan malah tidak korporatif memberikan data,” katanya dihubungi Suara.com, Senin (10/11/2020) lalu.
Baca Juga: Dimulai Hari Ini, Berikut Jadwal Operasi Pasar Minyak Goreng di Sumsel
Kekhawatiran dalam eksekusi hukum tersangka pelaku karhutla, adalah rendahnya nilai ganti rugi karena perusahaan menurunkan nilai aset yang dimiliki saat akan dieksekusi.
“Bisa jadi dalihnya, malah keringanan jumlah yang harus dibayarkan atau pembayaran dicicil,” sambung Agung.
Karena itu, Presiden harus bisa memastikan kementerian terkait berkoordinasi dalam pengumpulan data aset perusahaan.
Berita Terkait
-
Memoriam H Husni, Wali Kota dalam Pergolakan Reformasi 1998 di Palembang
-
Dimulai Hari Ini, Berikut Jadwal Operasi Pasar Minyak Goreng di Sumsel
-
Bisakah Vaksinasi COVID-19 Pengaruhi Siklus Menstruasi? Ini Kata Pakar
-
Ahok, Gibran, dan Risma Masuk Bursa Cagub, Ini Persiapan PDIP DKI untuk Pilkada 2024
-
Masih Telaah Laporan Dugaan KKN Anak Presiden, Nurul Ghufron: KPK Tidak Melihat Anak Siapa
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- Innalillahi, Aktor Epy Kusnandar Meninggal Dunia
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
Pilihan
-
Drama Sidang Haji Alim: Datang dengan Ambulans & Oksigen, Ratusan Pendukung Padati
-
KLH Sebut Tambang Milik Astra International Perparah Banjir Sumatera, Akan Ditindak
-
5 HP Memori 512 GB Paling Murah Desember 2025: Ideal untuk Gamer dan Content Creator Pemula
-
Roblox Ditunjuk Jadi Pemungut PPN Baru, Penerimaan Pajak Digital Tembus Rp43,75 T
-
Bank Indonesia Ambil Kendali Awasi Pasar Uang dan Valuta Asing, Ini Fungsinya
Terkini
-
Crazy Rich Palembang Haji Halim Diseret ke Meja Hijau, Dakwaan Rp127 Miliar Bikin Sidang Gempar
-
Lion Parcel Bikin UMKM Pempek Palembang Melesat, Pengiriman ke Seluruh Indonesia Makin Mudah
-
Respons Sigap BRI Bantu Pemulihan Korban Banjir di Sumatera Melalui Program BRI Peduli
-
Siapa Di Balik Kendali Toba Pulp Lestari Saat Ini?
-
10 HP Murah dengan Refresh Rate Layar 90Hz/120Hz, Scroll Jadi Mulus Banget