Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Rabu, 12 Januari 2022 | 06:45 WIB
Kebakaran hutan di kawasan Tulung Selapan, Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir), Sumatera Selatan, Senin. PT SM dalam Laporan Kaesang dan Gibran, Ungkit Karhutla Terparah di Sumsel (27/07).

Nilai putusan ganti rugi itu sebenarnya belum seberapa jika dibandingkan dengan ganti rugi yang harus dibayarkan perusahaan Kelapa Sawit Kalista Alam yang mencapai Rp366 miliar dan terbukti merusak habitat orangutan Sumatera di Rawa Tripa, Aceh.

Meski begitu, keputusan Pengadilan Tinggi, nomor 51/PDT/2016/PT.PLG yang menghukum anak perusahaan PT.SM bisa menjadi sejarah positif dalam penegakan hukum kerusakan lingkungan di Indonesia.

Amar putusan Pengadilan Tinggi waktu itu mengacu pada penghitungan empat kerugian yang muncul dalam dakwaan (kerugiaan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla).

Perhitungan kerugian itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang memuat empat kerugian ekologis.

Baca Juga: Dimulai Hari Ini, Berikut Jadwal Operasi Pasar Minyak Goreng di Sumsel

Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla mengakibat kerusakan pada tanah gambut akibat kehilangan fungsinya menyimpan air, kerugian akibat kehilangan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika.

Selain itu, kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon release) dan kerugian keempat adalah penghitungan atas kerugian ekonomi yang mengacu pada masa usia produktif tanah/lahan.

Namun Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada, Agung Wardana sempat mengkritik mengenai eksekusi hukum atas keputusan pengadilan atas perkara karhutla.

Menurut dia, eksekusi setelah keputusan hukum tetap menjadi kewenangan pengadilan. Pihak pengadilan akan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan data mengenai aset perusahaan yang akan dieksekusi.

“Untuk itu, KLHK harus meminta data dari perusahaan, dari PPATK untuk transaksi keuangannya dan dari BPN untuk data HGU. Masalahnya berlarut, jika perusahaan malah tidak korporatif memberikan data,” katanya dihubungi Suara.com, Senin (10/11/2020) lalu.

Baca Juga: Bocah 9 Tahun di Sumsel Dicabuli Ayah Tiri, Terungkap Karena Sang Paman

Kekhawatiran dalam eksekusi hukum tersangka pelaku karhutla, adalah rendahnya nilai ganti rugi karena perusahaan menurunkan nilai aset yang dimiliki saat akan dieksekusi.

“Bisa jadi dalihnya, malah keringanan jumlah yang harus dibayarkan atau pembayaran dicicil,” sambung Agung.

Karena itu, Presiden harus bisa memastikan kementerian terkait  berkoordinasi dalam pengumpulan data aset perusahaan.

Load More