Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 20 September 2021 | 18:03 WIB
Ilustrasi pedofili [Shutterstock]

SuaraSumsel.id - Puluhan anak di Sumatera Selatan menjadi korban pelaku pedofil. Angkannya pun dipastikan mengalami peningakatan. Belum lama ini, polisi mengungkapkan peristiwa asusila di ranah Pondok Pesantren (Ponpes) di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Dengan kondisi ini, Pemerintah daerah hendaknya bisa memperkuat monitoring dan evaluasi sekaligus pendampingan kepada para korban terutama anak-anak yang membutuhkan pendampingan khusus.

Karena menurut Pemerhati Anak di Sumatera Selatan, Yenni Roslaini Izzi, setiap korban terutama anak-anak mengalami kekerasan seksual akan menghadapi trauma berbeda-beda.

"Ada trauma yang bisa disembuhkan dalam jangka pendek, namun terdapat juga anak-anak yang mengalami trauma berkepanjangan," terang Yenni.

Baca Juga: STOP PRESS! Alex Noerdin Mantan Gubernur Sumsel Ditahan Kejagung

"Karena itu, perlu adanya pendampingan pada pondok pesantren ini, baik kepada korban maupun anak-anak lain yang bukan menjadi korban, Meski Ponpes sendiri berada di bawah lembaga Kementrian Agama atau Kemenag Sumsel," ujar ia.

Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten hendaknya memberikan pendampingan kepada para korban. Mengingat, tidak semua lembaga pendidikan memahami mekanisme mendampingi anak-anak korban kekerasan seksual, termasuk pendampingan bagi keluargannya.

"Trauma ini harus diobati, dan menjadikan lingkungan Ponpes menjadi lebih sehat dan bersahabat kepada anak-anak setelah peristiwa tersebut," sambung Perwakilan Dewan Pendiidkan Sumatera Selatan ini.

Yenni juga menyebut anak-anak korban kekerasan seksual hendaknya mendapatkan perlakuan pengasuhan yang khusus dalam jangka waktu tertentu.

Mengingat usia mereka sangat muda dan masih memiliki masa depan.

Baca Juga: Sri Maya Atlet Atletik Sumsel Diunggulkan Raih Medali Emas PON XX

"Sehat secara psikis, karena kan mereka masih harus menjalani masa depan. Trauma itu beda-beda pada setiap korban, ada yang sampai menyimpannya menjadi luka sepanjang hidupnya. Ini harus didampingi, termasuk pihak keluarga, terutama orang tua,"imbuhnya.

Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).

Ponpes lembaga rentan kekerasan seksual

Diungkap Yenni, lembaga seperti halnya pondok pesantren termasuk cukup rentan mengalami kekerasan seksualitas baik bagi santri perempuan dan laki-laki.

Penyebab dominannya, tiga hal. Pertama, doktrin jika santri tidak boleh melawan guru dan ustadz dan ustadzah. 

Doktrin demikian bisa berakibat buruk, jika dilakukan oleh guru seperti halnya pelaku pedofil di Ogan Ilir tersebut.

"Dengan kuasa sebagai guru, ia menyuruh anak-anak dan melakukan kekerasan seksual di bawah ancaman atas nama guru dan orang yang tidak boleh dilawan," ucap Yenni.

"Ada doktrin baik yang harus dijalankan, namun jika doktrin itu dilakukan guru dan ustadz yang jahat, maka anak-anak akan lebih berpotensi jadi korban," ujar dia.

Apalagi, kata Dewan Pengurus WCC Palembang ini, ponpes pun tidak menyediakan mekanisme pengaduan yang berpihak pada korban.

"Saya belum menemukan ponpes yang menghidupkan mekanisme pengaduan santri, jika terjadi hal-hal seperti di Ponpes Ogan Ilir tersebut. Mekanisme pengaduan ini penting memberanikan santri melaporkan tindakan asusila yang dilakukan oleh oknum di pondok," terang Yenni.

Terpenting ditegaskan Yenni, dibutuhkan perisai mengenai pendidikan seks usia dini bagi anak-anak dan orang tua.

Pendidikan seks yang dimaksud bukan mengajarkan anak-anak pada hal negatif, namun pendidikan memberikan pemahamanan agar anak-anak mampu melindungi diri menjaga daerah tubuh yang sensitif.

"Pengetahuan seks dini, keberanian, hingga adanya tempat bagi anak-anak mengadu dan berkosultasi sangaat diperlukan pada lembaga pendidikan. Bukan saja di lembaga pendidiikan agama dengan pelajaran agama lebih banyak, namun juga pada lembaga pendidikan non agama" pungkas Yenni.

Pekan lalu, polisi mengungkap kasus seorang guru yang menjadi pelaku pefodil. Polisi mencatat, 26 santri menjadi korban.

Load More