Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Sabtu, 18 September 2021 | 19:07 WIB
Ditreskrimum Polda Sumsel menggelar press releas tindakan asusila yang dilakukan Oknum Pengawas dan pengajar ,Junaidi di halaman Ditreskrimum Polda Sumsel. Foto (welly jasrial tanjung).

SuaraSumsel.id - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel mencatat selama pandemik COVID-19 pencabulan terhadap santri pondok pesantren di Ogan Ilir menjadi kasus pedofilia terbesar dengan jumlah 26 korban.

"Kasus pedofilia yang menyebabkan korban anak laki-laki hingga 26 orang baru pertama kali terjadi," ungkap Kadis PPPA Sumsel, Henny Yulianti, Sabtu (18/9/2021).

Henny mencatat, dari data 2020 kasus kekerasan seksual atau pedofilia lebih banyak terjadi di lingkungan rumah tangga.
Meski kejadian ini terungkap terjadi di sebuah asrama pondok pesantren pihaknya belum mau mengambil kesimpulan mengenai penyebab pesantren menjadi sarang pedofilia.

"Ini kan oknum, kalau bicara potensi di manapun akan ada potensi. Karena yang namanya oknum bisa berada di mana saja Karena menginap di pondok potensi lebih besar dialami mereka namun kita tidak bisa menggeneralisasi pondok pesantren," ujarnya.

Baca Juga: Ramai Seruan Boikot, Ini Jumlah Subscriber YouTube Deddy Corbuzier Sekarang

Dinas PPPA saat ini fokus pada trauma healing terhadap puluhan santri yang sudah melapor menjadi korban Junaidi (22) oknum pengajar ponpes di Ogan Ilir.

Kejadian pencabulan di salah satu ponpes ini menjadi kejadian luar biasa mengingat jumlah korban yang cukup banyak.

"Kita harus apresiasi adalah anak tersebut berani menyampaikan kalau sudah menjadi korban. Karena itu butuh keberanian luar biasa dari mereka. Dan ada peran dari orang tua untuk melaporkan ke pihak berwajib," katanya.

Menurutnya, kasus ini tidak seharusnya mengeksploitasi anak (korban) secara besaran-besaran. Selain proses hukum yang berjalan, anak-anak ini juga harus mendapat pendampingan.

"Karena kita harus fokus terhadap kondisi psikologis mereka mulai dari sekarang sampai ke depannya," jelasnya.

Baca Juga: Mengapa Video Santri Tutup Telinga saat Dengar Musik Begitu Viral?

Henny menjelaskan, baik Dinas PPPA dan PPA Polda Sumsel terus berkoordinasi guna pendampingan psikolog. Setiap anak berbeda-beda proses treatmen yang diberikan tergantung kondisinya saat ini.
Untuk di UPTD pihaknya memiliki satu orang psikolog yang secara khusus memberikan pendampingan pada kasus kekerasan, pelecehan dan sebagainya.

"Untuk ke korban kita perlu pelan-pelan mendampingi. Karena memang ada korban yang belum bisa lugas bercerita (trauma). Pendampingan ini perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak," jelasnya.

Kementerian PPA sebelumnya sempat mengkhawatirkan kejadian seperti ini dapat terjadi.

Menurutnya, dalam agenda kerja Kementerian PPA di akhir tahun lalu sudah sempat mengingatkan pesantren di Sumsel untuk mengetahui hak anak dan yang tidak boleh dilakukan terhadap anak-anak.

"Sosialisasi untuk meminimalisir kejadian seperti ini terjadi. Awalnya ingin secara langsung namun karena pandemik jadi dilakukan sosialisasi secara virtual," jelas dia.

Terkait kasus pelecehan seksual ini, pihak Pemprov Sumsel akan mengevaluasi ponpes yang bersangkutan. Namun hasilnya tergantung assessment psikolog dan juga orang tua.

"Jadi kembali ke orang tua anak apakah masih mau menyekolahkan anaknya di sana," tutupnya.

Kasus Pedofil di Bayuasin

Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sumsel, Kombes Pol Hisar Siallagan mengatakan Junaidi (22) pelaku pedofil tidak mengalami gangguan jiwa.

Junaidi adalah pengajar Pondok Pesantren AT di Kabupaten Banyuasin yang menyodomi belasan Anak.

"Jadi dia bisa mempertanggungjawabkan perbuatan di mata hukum," ujar Hisar Siallagan,Sabtu (18/9/2021).

Menurut Hisar, saat ini yang paling penting adalah memberikan pendampingan kepada para korbannya. Pasalnya, dari 26 korban ini ada 11 orang yang sudah disodomi.

"Mereka ini butuh cepat penangganan trauma healing agar masa depannya tidak rusak bahkan bisa menjadi predator nantinya. Maka dari itu kami memghimbau dan mengajak Dinas Pemerdayaan Perempuan, Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel untuk membantu menyebuhkan trauma korban," ungkapnya.

"Selain itu juga, kami mengajak Dinas Sosial,LSM yang menanggani Perempuan dan Anak untuk membantu trauma healing kepada para korban. Sedangkan kami fokus penegakkan hukum," tambahnya.

Lanjut Hisar, anak - anak yang menjadi korban ini memiliki masa depan. Jadi pihaknya benar - benar menghimbau dan berharap kepada para instasi yang terkait untuk membantu memulihkan trauma mereka.

Pasalnya, sambung Hisar lagi para korban ini ada yang satu kali di Sodomi, dua kali bahkan sampai 10 kali.

"Nah yang 10 kali ini yang kami takutkan karena masa depannya bisa rusak maka dari itu butuh cepat penangganan trauma healing," tegasnya.

Ditanya mengenai apakah tersangka Junaidi ini pernah menjadi korban tindakan asusila ketika ia kecil, Hisar menuturkan dari hasil pemeriksaan Junaidi pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh tetangganya.

"Tetapi kami masih terus melakukan pemeriksaan terhadap tersangka Junaidi ini," pungkasnya.

(welly jasrial tanjung)

Load More