Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 25 Juni 2021 | 12:26 WIB
Kiemas Muhammad Ali. Pengerajin senior songket Palembang [Tasmalinda/Suara.com]

SuaraSumsel.id - Sinar matahari yang terik siang itu, melengkapi harmoni berbagai ragam suara bertaut tautan di Dermaga Sungai Musi Palembang. Dari arah perairan, gemuruh bunyi mesin - mesin tempel kapal nelayan riuh rendah terdengar.

Yang tak kalah menarik, dari arah daratan ketak ketuk hentakan mesin pemintal benang pun tak kalah nyaring tertangkap telinga. Suara alat pemintal memang khas dibanding suara peralatan lain.

Suara dihasilkan putaran roda jeruji mesin yang diputar searah jarum jam, atau mesin tenun yang biasa disebut kedokan dan papan lusi yang digerakkan maju dan mundur.
 
Bunyi khas ini berasal dari satu rumah. Bagi warga setempat, pasti tau betul suara ini menandakan yang punya rumah ialah penenun songket.

Pasalnya di rumah-rumah panggung, rumah khas masyarakat perairan sungai di Palembang, bertabur mesin pemintal dan mesin tenun kedokan. Ini bukan profesi langka di sana, karena warisan keahlian turun temurun.

Baca Juga: Akhir Juni, Sumsel Terima Tambahan 208.700 Dosis Vaksin COVID-19

Benang bahan dasar songket [Tasmalinda/Suara.com]

Saat wartawan melongok ke rumah tersebut, tampak beberapa mesin tertutup plastik yang menandakan pemiliknya orang yang apik. Benang yang dipintal pun bukan benang biasa, benang pilihan yang dibeli dari Pulau Jawa untuk menghasilkan songket yang berkualitas.
 
Kemas Muhammad Ali, si pemilik rumah, saat ditemui seperti tampak tidak bersemangat. Saat ditanyakan, ia mengungkap, situasi pandemi Corona Virus (COVID-19) hampir dua tahun terakhir berimbas pada usaha pembuatan songketnya.
 
Pandemi telah membuat usaha songketnya tertatih. Dengan pembatasan ruang gerak masyarakat, jumlah kunjungan yang langsung ke rumahnya atau butik dan toko di Kawasan 35 Ilir Palembang menurun drastis.
 
Hal ini pula yang mengakibatkan serapan atau daya jual atas songket karyanya makin menurun. Toko dan butik pun kerap mengeluhkan hal ini dan menjadikan alasan mengapa tidak banyak menyerap kain songket buatannya.
 
Kondisi ini diungkap Ali ialah kondisi terburuk sepanjang ia melakoni usaha songket yang dikenal sebagai kearifan lokal masyarakat Palembang. Pria kelahiran 21 Oktober 1954 mengaku tengah mempertahankan usaha songket yang sudah dipelajarinya secara otodidak sejak tahun 1975. Selama lebih 40 tahun, songket ini pula menghidupi keluarganya.
 
“Tahun-tahun ini terberat, susah sekali jual songket. Beda sekali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, apalagi tahun-tahun saat songket terus dicari apalagi oleh wisatawan asing,” katanya ditemui medio Juni ini.
 
Ia mengungkapkan hasil songketnya sekitar tahun 1970-1980 an, banyak diburu oleh wisatawan luar negeri, seperti Malaysia dan negara Asia lainnya.Bahkan beberapa kali, wisatawan asal negara Jepang mencari songket kuno Palembang. Menurut mereka, songket kuno Palembang lebih bernilai karena nilai sejarahnya terutama motif yang sangat filosofis.
 
Sayangnya, diungkap Ali, ketenaran songket tidak seperti itu lagi.
 
Sebagai pembanding saja, jika lima tahun yang lalu dengan seluruh tahapan pembuatan songket, Ali bisa memperkerjakan 50 orang. Meski pada saat itu, terdapat juga pekerja lepas mengerjakan tahapan pembuatan songket.
 
Tapi saat ini, hanya bisa memperkerjakan paling banyak 15 orang. “Dari jumlah orang yang bekerja saja, bisa dirasakan, usaha songket tengah kesulitan,” kata ia ditemui medio, Juni ini.

Benang emas di songket kuno [Tasmalinda/Suara.com]

Sistem perdagangan yang dikenal istilah beli putus, membuat pengerajin sebagai produsen harus menanggung seluruh biaya produksi pembuatan kain songket.
 
Saat kunjungan wisatawan menurun, maka akan lebih banyak kain tersimpan sebagai persediaan di toko dan butik. Sehingga saat pengerajin membuat kain yang baru pun, kemungkinan tidak akan dibeli. “Pengerajin atau produsen, harus benar-benar siap dengan resiko. Saat sepi seperti ini, produsen atau pengerajin seperti kita ini yang paling terimbas,” keluh Ali.
 
Sistem transaksi beli putus ini pun membuat pengerajin makin tidak punya banyak pilihan, kecuali menurunkan jumlah produksi kain sebagai upaya menekan resiko yang mesti ditanggung.
 
“Karena jika kain tidak terserap toko, atau butik akan menjadi aset pengerajin. Sampai pada ada calon pembeli yang cocok atau bersedia membelinya langsung saat ke rumah. Tentu ditawar dengan harga lebih murah,” beber Ali.
 
Sebagai pengerajin songket yang sudah berpengalaman, Ali cukup terkenal. Dengan merek dagang Ali Songket, banyak pembeli yang datang langsung ke rumahnya yang terletak di jalan Langgar, 30 Ilir pun kerap didatangi pembeli.
 
Saat matahari kian bergerak ke ufuk barat, Ali kedatangan seorang pembeli. Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu berseru seru memanggil Ali, mulai dari depan rumah. Ia tampak bersemangat menanyakan ketersediaan songket yang ia incar beberapa bulan ini, songket bermotif bunga kecubung dengan warna hijau keemasan.
 
Menurut Ali, membeli songket sama halnya berinvestasi atau sebagai aset. Sama halnya seperti membeli perhiasan emas. Dengan harga kain songket di atas Rp 6 juta, pembeli ini yakin tengah berinvestasi dan bisa juga digunakan saat acara – acara khusus, seperti acara keluarga khas orang Palembang yang kerap menjadikan songket sebagai lambang pemiliknya.
 
“Sebulan lagi, aku datang ya, aku bayar lunas. Tolong dibuatin yang kayak (seperti) yang aku pengen pak,” ujarnya kepada Ali.
 
Ali menyanggupi keinginan pembelinya.
 
Beberapa motif diakui sudah sulit ditemukan pada kain songket saat ini, karena hanya pengerajin songket senior yang hapal apa dan bagaimana urutan motif kain songket yang dibenarkan.
 
“Secara filosofi sebagai kearifan lokal, songket sangat memiliki nilai. Dengan melihat motif saja, sebenarnya kita sudah mengetahui umur songket,” ujar Ali.

Ia mencontohkan urutan motif pada songket Palembang pada umumnya, yakni sehelai kain songket memulai urutan yang dimulai motif tumpal, ombak, apit, umpak, pucuk rebung, tawur dan kembali ke pucuk rebung, lalu kembali ke motif awal.
 
Urutan-urutan motif ini disebut aturan umum sebuah songket Palembang. Namun motif pengisi tengah kain itu yang menjadi pembeda.
 
Si pemakai perempuan pada umumnya diharuskan memilih songket dengan motif bunga atau lebih bercorak ramai, sedangkan si pemakai songket laki-laki dianjurkan menggunakan motif dengan motif lebih kaku dan tegas.
 
“Itu pakem umum, baik bagi penjual atau yang ingin membeli. Namun, bagi para penenun tua, mereka terlebih dahulu harus mengetahui siapa pemakai songket. Sehingga jika pembeli ingin minta dibuatkan songket, harus jelas siapa pemakainya. Jangan sampai salah motif dan peruntukkannya,” kata Ali.
 

Songket Palembang [Tasmalinda/Suara.com]

Pemilihan jenis songket ini penting bagi orang asli Palembang. Orang-orang asli Palembang sudah bisa menilai seseorang dari pilihan songket yang dipilihnya.
 
Menurut Ali, songket bukan hanya kearifan lokal, tapi memiliki filosofi hidup.
 
Di selembar kain songket yang memiliki ukuran baku 2,5 meter dan selendang berukuran 90 cm x 1,85 cm ada falsafah hidup tergambar, terkhusus pesan yang ingin disampaikan para raja atau kerajaan pada rakyatnya.
 
“Itu kenapa jika pada masa kerajaan atau kesultanan Palembang, pemilihan songket sangat penting. Antara raja, istri raja, dan orang – orang kerajaan lainnya memiliki pesan yang ingin disampaikan,” terang ia.
 
Karena itu pula, Ali keukeh mempertahankan motif songket yang padat dengan kilau benang emas sebagai ciri dan penanda khas songket Palembang dan tidak berniat mengubah atau berpindah ke songket jenis lainnya, yakni jenis songket yang lebih sedikit motif benang emasnya.
 
Saat bertransaksi dengan pilihan motif pun telah mencapai kesepakatan, semuanya dilakukan seperti dahulu. Dilakukan secara tunai dan disampaikan dengan cara bertemu langsung antara pembeli dan penjual.
 
Ali pun mengaku tidak begitu mengadopsi teknologi termasuk perbankan dalam transkasi usahanya. Bapak tiga anak ini blak-blakan mengaku masih menggunakan ponsel biasa agar tetap fokus menenun tanpa terganggu jika menggunakan smartphone atau telepon pintar.
 
Karena itu pula, Ali tidak menjual songket yang ia hasilkan lewat media lebih luas, seperti whatsApp atau market place yang sudah banyak pilihannya.
 
“Sama sekali belum pernah dan belum tahu caranya,” aku Ali.
 
Ali yang sudah dua kali menerima penghargaan produk unggulan daerah One Village One Product atau OVOP dari Menteri Perindustrian yang diberikan langsung Airlangga Hartanto pada tahun 2016 dan 2018, mengaku tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
 
“Awalnya dijanjikan akan pembinaan usaha, tapi sampai tahun 2021 belum ada,” sambung Ali. Kecintaan pada songket, diungkapkan Ali, tidak bisa setengah-setengah. Apalagi untuk menjadikan seorang pengerajin yang kemudian menekuni dan menjadikan songket sebagai identitas daerah.
 
Untuk menjadikan pengerajin songket dari usia anak muda saja tidak bisa cepat. Dari tiga anak Ali, hanya satu yang ikut menekuni usaha songket, tetapi belum bisa dikatakan terjun banyak. Menurut Ali, mencintai songket berarti mencintai nilai, bukan hanya nilai ekonomi namun nilai daerah, seperti nasionalisme.
 
“Saya pernah ditawarkan pengusaha Malaysia agar menjadi guru bagi pengerajin songket di sana, semua yang ditawarkan sangat menjanjikan. Digaji besar, hidup ditanggung, dan bisa mengembangkan songket di sana. Namun semua itu, saya tolak, saya teringat orang-orang yang mengajari saya songket dulu,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

(Tulisan ini mengikuti program Banking Journalism Academy yang diselenggarakan AJI Indonesia).

Baca Juga: Ribuan Istri di Sumsel Gugat Cerai Suami saat Pandemi, Pemicu dari Akhlak hingga Selingkuh

Bersambung ...

Load More