Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Selasa, 08 Juni 2021 | 18:44 WIB
Pengerajin purun di OKI Sumatera Selatan [Fitria/Suara.com] Bahan Baku Berlimpah, Kearifan Lokal Purun Sumsel Butuh Pasar

SuaraSumsel.id - Menganyam purun yang merupakan komoditas ekosistem gambut memang tidak mudah. Seperti diungkap masyarakat pengerajin di Desa Geronggang, Pedamaran Timur, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Selain bertani karet dan sawit, di desa tersebut terdapat 20 kelompok masyarakat pengrajin Purun. Mereka berjumlah 15-25 orang.

Desa Geronggang tidak merasakan kekurangan pengrajin apalagi bahan baku. Sayangnya, kearifan local yang turun temurun ini sangat membutuhkan pasar yang lebih luas.

"Menjadi masalah pemasaran tidak luas hanya online dan Sumsel sehingga ekonomi warga kurang terbantu," ungkap salah satu pengrajin Purun, Bambang Siswo Sujiwanyo, Senin (6/7/2021).

Baca Juga: Jangan Keliru, Ini Tahapan Pendaftaran PPDB Sumsel 2021

Terlebih proses produksi purun tidak bisa dibilang mudah, Bambang memaparkan tahapannya mulai dari memanen purun yang basah karena hidup di lahan gambut sehingga harus dijemur selama satu hari saat cuaca panas.

"Kemudian ditumbuk dengan alat tradisional yang namanya antam, tapi harus orang yang ahli jika tidak, maka Purun bisa pecah dan susah untuk dianyam,"jelasnya.

Kalau telah ditumbuk, Purun bisa diolah atau jika ingin menghasilkan warna maka Purun direbus dahulu. Selanjutnya, tahap terakhir purun dibelah menjadi beberapa bagian. Dibelah dengan menggunakan kuku atau pemula menggunakan alat seperti garpu.

"Harga perwarna itu satu juta perkilogram yang akan menghasilan dua gulungan besar anyaman atau setara dengan 200-300 tikar, mangkanya Purun berwarna juga lebih mahal," sambung ia.

Kendala lain timbul jika terjadi hujan, Bambang mengaku saat cuaca hujan dirinya mengalami kesulitan untuk mendapatkan purun kualitas sangat baik alias premium.

Baca Juga: Wajib Ingat, Ini Jadwal PPDB SMA di Sumsel Tahun 2021

"Purun kualitas ini tentu memiliki keunggulan dari yang biasa, karena memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih halus sehingga produk yang dihasilkan akan semakin mahal," ucanya.

Para pengrajin juga turut melakukan penanaman purun di lahan gambut Desa Pulau Geronggang. Wanita dan Lelaki bekerjasama melakukan penanaman kembali pada tanaman tersebut agar dipanen dua bulan lagi atau ketika tingginya sudah mencapai 1,5 meter.

Di tempat tersebut,  Cik Noni juga memiliki keresahan tersendiri menjadi pengrajin purun, wanita paruh baya tersebut mengungkapkan dirinya terus belajar menyesuaikan dengan pengrajin yang lain untuk membuat inovasi.
Mempelanjari hal baru, diakuinya tidak mudah.

"Kami yang tua-tua ini cuma pandai menganyam tikar purun. Jika yang masih muda bisa belajar melalui internet atau ikut pendampingan," ujar ia.

Pengerajin purun di OKI, Sumatera Selatan [Fitria/Suara.com]

Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Industri OKI Herliansyah Hilaludin menggungkapkan, pihaknya ingin membantu meningkatkan kualitas anyaman Purun sehingga dapat memasarkan lebih jauh. Selama ini bukan tidak memiliki pasar, namun dianggapnya terbatas hanya momen tertentu.

"Yang kita butuhkan saat ini adalah mentor kemudian yang bisa mengarahkan untuk mengekspor,"katanya.

Bupati Ogan Komering Ilir atau OKI juga telah mengeluarkan surat edaran nomor 1 tahun 2020 yang berisi himbauan untuk memakai produk dari kerajinan purun sebagai bentuk kepedulian pada potensi budaya dan kearifan lokal.

"Edaran mengintervensi penggunaan kreasi purun di perkantoran seperti kotak tisu, bingkai kaca, wadah alat kantor dan lainnya," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut juga, Eco Fashion Indonesia memperkenalkan paduan kreasi tas purun, kulit dari pengrajin Garut, Jawa Barat serta tali tenun khas batak, Sumatera Utara menjadi produk yang ciamik dan bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Tak hanya Desa Geronggang, Pedamaran Timur Kabupaten OKI, Sumsel, Kalimatan Selatan juga memiliki produksi purun yang berkualitas di Indonesia.
 
 
Kontributor: Fitria 

Load More